Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mutasi toga-toga dari Gajah Mada

9 dari 20 hakim pn jakarta pusat dimutasikan. ada yang menduga karena soal perkara yang ditangani di pn jakarta pusat. mereka dimutasikan ke daerah-daerah & diharapkan menularkan pengalamannya.

20 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan iklan. Sembilan dari 20 hakim PN Jakarta Pusat mendapat paket Lebaran khusus: dimutasikan termasuk Socbandi, ketuanya. Proses perpindahan masih berlangsung belakangan ini. Bahkan seorang hakim wanita (lihat Kesaksian Seorang "Adik") baru saja selesai diperiksa oleh Irjen Depkeh. Mutasi hampir separuh jumlah hakim di pengadilan kelas tertinggi, IA, terhitung sangat jarang. Di PN Jakarta Pusat, tempat yang sering disebut "basah", sendiri mutasi hampir setengah gerobak dua kali ini terjadi. Pertama, 191, tcrjadi mutasi yang ramai pula, sebagai hasil opstib, gerakan penertiban aparatur negara. Bahkan empat hakim senior, termasuk ketuanya, dirumahkan. Menyusul tertangkapnya Hakim Heru Gunawan ketlka menerima suap. Banyak yang menduga, dasar mutasi tak berbeda dari yang dulu. Sebab, sebagian hakim "terbuang" ke pos yang, bila dihitung dari kelas pengadilannnya, bukan merupakan promosi. Imam Soekarno, ketua majelis perkara subversi kasus Tanjungpriok, dimutasikan menjadi ketua pengadilan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Sementara itu, Ali Budiarto, anggota majelis di perkara Jenderal (Purnawirawan) Dharsono, dipindahkan menjadi ketua pengadilan di Sungguminasa, Sulawesi Selatan. Lalu Achmad S. Intan menjadi wakil ketua di Kalianda, Lampung Selatan. Seorang senior, Oemar Sanusi, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, yang pernah menangani kasus Nur Usman, antara lain, memilih percepatan pensiun. "Saya sudah capek," katanya. Sri Ati Santoso dipindahkan menjadi ketua pengadilan di sebuah kota kecil di P. Bali, Bangli. Hakim Sri dikenal dalam kasus PT Berca. Dua pemegang saham PT itu menggugat direktur utama dan istrinya. Sri, dalam waktu hanya sejam, mengabulkan permohonan penggugat untuk menjatuhkan putusan sela - sebelum vonis akhir melarang tergugat menjalankan PT itu. Sri, oleh beberapa pihak, juga dianggap mengubah putusan sela, yang tak mempunyai kekutan tetap,menjadi berkekuatan tetap. Artinya, putusan bisa dilaksanakan walau perkara masih diperiksa hakim. Sri Ati membantah, tapi Hakim Agung Pengawas Jakarta, R. Soebijantono, turun tangan, melarang pelaksanaan putusan. Sebuah sumber menyebutkan, karena perkara itulah dia dimutasikan. "Wah. saya tidak tahu," jawab Sri Ati tentang kabar tersebut. Terhitung bernasib baik M. Hatta. Dialah, pada Maret tahun ini, yang menjatuhkan vonis kontroversial dalam kasus perdata Arthaloka. Ia menghukum PT Taspen (Tabungan Asuransi rensiun) membayar ganti rugi kepada sebuah perusahaan Widodo Sukarno, sebesar Rp 17 milyar. Padahal, dalam perkara pidana, yang diketuai Oemar Sanusi, Widodo justru dianggap mengkorupsi uang Taspen dan divonis 14 tahun. Hakim ini dipindahkan sebagai Kctua PN Salatigi, Jawa Tengah. Kena mutasi karena perkara ini? Ia membantah. "Jabatan baru itu 'kan promosi, dan saya senang." Yang juga masih di Jawa yaitu B.E.D. Siregar, ketua majelis dalam perkara H.M. Fatwa. Ia menjadi ketua Pengadilan Negeri Bondowoso. Tapi ada sumber yang menganggap jabatan barunya itu justru hukuman. Sebab, sebelum menjadi hakim di Jakarta Siregar sudah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Serang, yang kelasnya sama dengan Pengadilan Ncgeri Bondowoso, IB. Lain lagi nasib Setiawan. yang cuma diputar di Jakarta, menjadi staf hakim agung di Mahkamah Agung. Tapi mutasinya ini mengharuskannya melepaskan toga hakim. Yang benar-benar beruntung mungkin hanyalah ketua pengadilan, Soebandi, 60 tahun. Hakim yang kini menduda karena istrinya meninggal gara-gara operasi plastik ini akan menjadi hakim tinggi di Palembang. Maka, pensiunnya, yang seharusnya jatuh di tahun ini, ditunda tiga tahun lagi. Soebandi membantah anak buahnya dimutasikan gara-gara soal perkara, "Mutasi itu berdasarkan peraturan, tidak benar bila dihubungkan dengan soal perkara." Bantahan yang sama dikcmukakan oleh hampir semua pejabat tinggi hukum. Dirjen Peradilan Umum, Rusli, membantah keras, mutasi itu dihubungkan dengan kesalahan hakim. "Mereka itu memang sudah waktunya mutasi, kok. Kalau memang ada kecurigaan, tentunya bukan mutasi, tapi kami usut bahkan mungkin dituntut," ujar Rusli. Wakil Ketua Mahkamah Agung, Purwoto S. Gandasubrata, menganggap mutasi para hakim bawahan ini selain sebagai hal rutin. "Hakim pusat dianggap berpengalaman menangani perkara besar." katanya. "Dengan mutasi, diharapkan mereka menularkan pengalaman ke rekan rekan." Menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh pun, ketika berhalal-bihalal, mutasi hakim Jakarta Pusat itu bagian dari mutasi hakim seluruh Indonesia. "Tapi," katanya, "karena hakim Jakarta, orang ribut." Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus