Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA pertengahan Desember 2023, Bambang Yulistyo Tedjo mendapati rekannya mengerang kesakitan akibat penyakit asam lambung atau gastroesophageal reflux disease (GERD). Pendiri Yayasan Aksi Keadilan Indonesia, organisasi pendamping korban narkotik, itu lantas memanggil mobil ambulans agar temannya segera diboyong ke rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selagi menunggu ambulans datang, Tedjo menyeduh beberapa sendok bubuk daun kratom. Ia berupaya memberi pertolongan pertama untuk kawannya. Beberapa menit setelah meminum seduhan itu, sang teman mengaku rasa nyeri di dada dan perutnya berangsur hilang. “Sampai kini ia rutin mengkonsumsi kratom dan sudah tidak menggunakan obat-obatan lagi untuk sakit GERD-nya,” ujar Tedjo pada 5 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tedjo mengklaim juga memiliki riwayat penyakit GERD. Ia mengaku sakitnya tak pernah kambuh lagi karena rutin mengkonsumsi seduhan bubuk daun kratom sejak sebulan terakhir. Ia mengenal bubuk berwarna kehijauan dan kemerahan itu dari temannya yang sesama aktivis pendamping narkotik di Forum Akar Rumput Indonesia. Selama ini Yayasan Aksi Keadilan dan Forum Akar Rumput berduet memberi pendampingan hukum kepada pencandu narkotik dan psikotropika.
Daun kratom memiliki nama Latin Mitragyna speciosa. Bentuk daunnya mirip daun jambu klutuk dan banyak ditemukan di Pulau Kalimantan. Awalnya pohon kratom digunakan sebagai tanaman untuk menguatkan tepi sungai atau tebing agar tak longsor. Belakangan, baru diketahui konsumsi daun kratom memiliki efek menenangkan. Ia diberi julukan daun surga asal Kalimantan. “Kratom digunakan sebagai pengganti opium,” kata mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Heru Winarko.
Pada akhir Desember 2023, BNN mengumumkan Indonesia sudah kedatangan 93 jenis narkotik dan obat berbahaya (narkoba) baru (new psychoactive substance/NPS). Sebanyak 90 narkoba sudah dimasukkan ke daftar narkoba lewat peraturan Menteri Kesehatan.
Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Marthinus Hukom (tengah) menyampaikan paparan hasil kinerja BNN selama 2023 di Jakarta, 28 Desember 2023/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Masih ada tiga lain yang belum dimasukkan, yaitu ketamin, Alpha-propylaminopentiophenone (bahan sintetis mirip katinon, zat yang ada di daun khat), dan Mitragyna speciosa atau daun kratom. “Kami melalui komite gabungan kementerian dan lembaga telah memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan agar tiga zat tersebut segera dimasukkan sebagai zat terlarang,” ucap Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono.
Tedjo menolak kratom dimasukkan ke daftar narkotik. Ia mengklaim kratom telah menolong banyak temannya yang memiliki ketergantungan obat-obatan. Temannya yang mengalami kecanduan heroin, metadon, dumolid, atau ganja sintetis, kata Tedjo, berangsur pulih setelah mengkonsumsi kratom.
Namun ia mengakui kratom memiliki efek yang sama dengan opium jika dikonsumsi secara berlebihan. Itu sebabnya ia mengusulkan agar penggunaannya dibatasi, bukan dilarang. Ia belum pernah melihat ada orang yang mengalami kecanduan kratom. “Kami menyebut daun kratom ini mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah,” tutur Tedjo. Masalah yang dia maksud adalah efek kecanduan seperti yang biasa ditemukan dalam konsumsi narkotik.
Beberapa tahun belakangan, daun kratom telah mendunia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) melaporkan masifnya penggunaan kratom di Negeri Abang Sam. Mereka mengklaim menerima 36 laporan kematian akibat kratom pada periode 2010-2015.
Itu sebabnya FDA menggandeng Badan Federal Narkotika (DEA) untuk menghalau kratom. Kratom yang masuk ke Amerika diduga berasal Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Papua Nugini.
Mitragyna Speciosa atau Kratom/Indiana University Blooomington
Belasan negara lain lantas menyusul memberlakukan larangan peredaran kratom. Mereka di antaranya Australia, negara-negara Eropa, bahkan negara asal kratom seperti Thailand, Myanmar, dan Malaysia. Di Indonesia, tanaman kratom masih bebas diperjualbelikan. Hingga kini bubuk kratom untuk diseduh dan ekstrak yang berbentuk pil masih dijual bebas di berbagai media sosial dan lokapasar. Harganya mencapai Rp 50-135 ribu per ons.
Dalam laporannya, BNN menyebutkan kratom mengandung dua zat berbahaya, yakni mitraginin dan 7-hidroksimitraginin. Dua senyawa ini memiliki reseptor yang sama dengan opioid dalam otak sehingga diyakini mempunyai efek seperti opium. Zat ini yang membuat BNN mengusulkan kratom masuk ke daftar NPS.
Menurut Sulistyo Pudjo, BNN juga sudah berkoordinasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk meneliti kratom. Penelitian ini bertujuan melandasi pemerintah dalam mengambil kebijakan kratom bakal masuk sebagai zat terlarang atau tidak. “Para periset BRIN masih meneliti dan hasilnya bakal diumumkan,” ujar Sulistyo.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Ni Luh Putu Indi Dharmayanti menjelaskan, penelitian kratom dilakukan secara komprehensif untuk melihat aspek botani, fitokimia, farmakodinamik, farmakokinetik, genetik, hingga molekuler. Salah satu rujukan mereka adalah hasil penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menggolongkan kratom sebagai tanaman yang memiliki senyawa dengan efek morfin dan sedasi atau penurunan fungsi kesadaran. “Tujuan kami untuk mendukung dan melengkapi data ilmiah tanaman kratom,” ucap Ni Luh.
Sejauh ini, BRIN mendapati dua jenis tanaman kratom yang ditandai dengan urat daun berwarna merah dan urat hijau dengan ujung bergerigi. Tanaman Mitragyna ini dibagi menjadi sebelas genus yang tersebar di Asia dan Afrika. Tanaman tersebut di setiap negara memiliki kadar alkaloid—terkenal untuk penyebutan morfin, strychnine, kina, efedrin, dan nikotin—yang berbeda-beda. Misalnya di Thailand ditemukan 57 persen senyawa alkaloid per 745 lembar daun kratom.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya sedang membahas kratom dan dua NPS lain bersama BNN. Tapi dia tidak merinci isi pembahasan itu. “Usul zat-zat yang akan dimasukkan dibahas nanti saat harmonisasi antar-kementerian dan lainnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, Kementerian juga sudah meriset kratom. Mereka menemukan tradisi masyarakat mengkonsumsi kratom untuk obat sakit perut, diare, penyakit kulit, sakit kepala, bengkak, serta perawatan persalinan dan pengobatan gangguan haid, bahkan sebagai bahan ramuan penghalus wajah. Kementerian Kesehatan belum mendapati seseorang mengalami keracunan kratom kecuali jika kratom dikonsumsi dengan dicampur zat lain, seperti tanaman kecubung.
Di sisi lain, kratom memiliki nilai ekonomis bagi penduduk Kalimantan. Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat mengekspor kratom ke sejumlah negara. Sebagian masyarakat bahkan sudah mengganti tanaman kebun dengan kratom. Laporan ini juga dikuatkan catatan Badan Pusat Statistik dari tahun ke tahun yang menunjukkan peningkatan ekspor produk kratom ke berbagai negara. Pada 2023, angka ekspor mencapai 8.200 ton atau meningkat 87,90 persen dibanding pada tahun sebelumnya, yakni 4.300 ton.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pihaknya sedang menyiapkan tata niaga untuk terus menggenjot produksi dan ekspor komoditas kratom. Namun rencana ini perlu dibahas dengan kementerian dan lembaga lain. “Itu masih mau dikoordinasikan lagi. Kan, ada badan narkotik. Jadi bukan hanya kementerian,” ucapnya pada 4 Desember 2023. Budi memastikan pembahasan tata niaga kratom nanti akan dikoordinasi oleh Kantor Staf Presiden.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Didi Sumedi menyebutkan pemerintah akan membuat regulasi pengendalian dan perdagangan kratom. Langkah ini diambil karena pemerintah melihat peluang pasar yang besar untuk kebutuhan prekursor di banyak negara. Jika tak diatur, ini justru akan berdampak jatuhnya nilai ekonomi kratom. “Kalau terbuka, semua orang berlomba pindah ke komoditas kratom dan harganya biasanya jatuh kalau terlalu banyak produksinya,” katanya.
Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional, Heru Winarko, sepakat atas adanya rencana pengelolaan tata niaga zat NPS, termasuk kratom. Dengan adanya aturan itu, dia menjelaskan, pemerintah bisa mengawasi produksi, pengolahan, hingga penyalurannya kepada para pengguna NPS. “Model pengawasannya bisa seperti perdagangan bahan peledak yang dipantau sehingga bisa diketahui penjual dan siapa pembelinya,” ucapnya.
Bambang Yulistyo Tedjo mengingatkan pemerintah agar kratom tak memiliki nasib yang sama dengan ganja. Pada 1961, Konvensi Tunggal di PBB menempatkan ganja ke dalam kategori yang sama dengan heroin dan opioid. Penggunaannya dilarang di banyak negara, termasuk di Indonesia. Belakangan, ganja justru dilegalkan di banyak negara.
Alasannya antara lain untuk kepentingan riset dan kebutuhan medis. “Kalau regulasi kratom hanya untuk mengkriminalisasi dan nasibnya seperti ganja, ya menyedihkan,”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Daun Surga yang Terlarang"