Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARI telunjuk kaki bocah lelaki itu bengkok dan menempel di atas jempolnya. Ketika berdiri, anak berusia satu setengah tahun itu harus dipegangi. Dari balik bajunya yang tersingkap, bekas luka bakar terlihat memenuhi perut sisi kiri si bocah.
"Jonathan Miracle," kata Sartini, 36 tahun, mengenalkan nama anaknya di ruang Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. "Anak saya begitu karena disiksa," Sartini menambahkan.
Meski terlihat lemas, Jonathan tak rewel. Anak itu pasrah saja ketika seorang polisi wanita mencoba menggendong dia. Sedangkan Sartini, selama hampir satu setengah jam, memberikan keterangan kepada seorang polisi wanita lainnya.
Hari itu polisi kembali memeriksa Sartini untuk melengkapi laporan dia sebelumnya. Selasa malam pekan lalu, Sartini melaporkan majikannya, Adi Cahyono. Menurut Sartini, Adi sering menganiaya Jonathan.
Hingga Jumat pekan lalu, polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Menurut Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Komisaris M. Retnowati, polisi masih mengumpulkan bukti dan memanggil sejumlah saksi, termasuk saksi pelapor. "Kalau saksi langsung agak sulit dicari karena Sartini dan anaknya benar-benar dikurung," ujar Retno.
Polisi juga masih menunggu hasil visum dan observasi kesehatan Jonathan. Sartini dan Jonathan telah menjalani visum di Rumah Sakit Umum Daerah Sardjito, Yogyakarta. Kini Jonathan mendapat perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara, Sleman. Dalam waktu dekat, polisi akan menggelar perkara untuk memastikan adanya tindak pidana dan calon tersangka.
SARTINI mulai bekerja untuk keluarga Adi Cahyono pada Oktober 2014. Waktu itu ia baru pulang setelah merantau dari Kalimantan. Di sana Sartini juga menjadi pekerja rumah tangga. "Tak jelas mengapa dia pulang dari Kalimantan," kata Surani, ibu Sartini, di rumahnya di Pucangsawit, Jebres, Solo, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu.
Surani masih ingat, baru empat hari menganggur, Sartini mendapat majikan baru di Klaten. Sang majikan tak lain adalah Adi. Sejak bekerja di Klaten, menurut Surani, anaknya jarang pulang. Sesekali ke Jebres, Sartini hanya singgah sekitar 30 menit. Biasanya Sartini pulang pada malam hari. "Dia selalu diantar majikannya," ujar Surani. Majikan yang dia gambarkan sebagai pria bertato itu biasanya hanya menunggu di dalam mobil.
Dua tahun bekerja di keluarga Adi, Sartini sebelas kali diajak pindah rumah dari Klaten, Solo, Sukoharjo, sampai Bantul. Sartini tak tahu mengapa keluarga Adi sering berpindah tempat tinggal. Terakhir, keluarga Adi pindah ke rumah kontrakan di Jalan Parangtritis, Samalo, Bantul, pada Agustus lalu. Ini boyongan kedua kalinya keluarga itu ke Bantul.
Menurut Sartini, Jonathan mulai menjadi bulan-bulanan kemarahan Adi sejak Februari lalu, ketika keluarga itu masih tinggal di rumah kontrakan di Klaten. Adi mudah tersulut amarahnya sejak toko perkakas pertanian dan bangunan yang dia kelola sepi pembeli. "Dia menyebut anak saya pembawa sial," kata Sartini.
Sartini bercerita, suatu hari Adi pernah menceburkan Jonathan ke mesin cuci. Di lain waktu, Adi memasukkan anak balita itu ke lemari es. "Sampai sekarang, dia jadi ketakutan kalau melihat kulkas atau mesin cuci," ujar Sartini.
Menurut Sartini, majikannya juga pernah menyiramkan air kopi panas ke kemaluan Jonathan. Di lain hari, lelaki 35 tahun itu pernah menyentuhkan ujung besi panas ke tubuh Jonathan sehingga meninggalkan bekas luka bakar. Yang membuat Sartini ikut ngilu, si tuan katanya pernah mencabut gigi Jonathan dengan tang. Adapun kaki si bocah hingga kini cacat karena pernah diikat gelang karet semalam penuh.
Berbilang bulan Sartini tak sanggup melawan. Ia takut ancaman majikannya menjadi kenyataan. "Dia bilang akan bunuh saya bila berani melawan," kata Sartini. "Mulut saya beberapa kali dipukul." Sartini pun tidak bisa mengobati luka pada tubuh anaknya karena tak diperbolehkan ke luar rumah. Istri Adi, Meliya Kusuma Dewi, menurut Sartini, tak bisa berbuat apa-apa ketika melihat kelakuan suaminya.
Akhirnya Sartini tak tahan juga. Ia kabur membawa anaknya dari rumah Adi pada 18 Oktober lalu. Kala itu, Adi dan istrinya tak ada di rumah. Adapun anak kedua Adi yang baru berusia 10 tahun sedang tidur siang. Lewat pintu belakang, Sartini menggendong Jonathan menyelinap keluar dari rumah.
Berjalan sekitar dua kilometer, Sartini sampai di kawasan sentra kerajinan kulit Manding. Di sana ia bertemu dengan seorang pengamen. Sartini bertanya bagaimana caranya pergi ke Solo. "Saya bingung dan tak punya uang," ujar Sartini. Ia tak ingat lagi kapan terakhir kali menerima gaji dari majikannya.
Si pengamen memberi Sartini ongkos untuk naik angkutan umum jurusan Terminal Giwangan, Yogyakarta. Dari Giwangan, Sartini tadinya hendak naik bus untuk pulang ke Solo. Namun, di terminal, ia berubah pikiran.
Sartini memilih kabur dulu ke rumah kerabatnya di Klaten. Ia tak berani langsung pulang ke Solo karena khawatir disusul majikannya. Surani baru tahu nasib buruk anaknya ketika Sartini pulang ke Solo, Sabtu dua pekan lalu. Kepulangan Sartini kali ini pun mengejutkan keluarga karena dia membawa bayi. Soalnya, menurut Surani, suami Sartini meninggal lima tahun lalu.
Selama ini, menurut Surani, anaknya tak pernah bercerita banyak tentang keseharian dan pekerjaan dia di rumah majikannya. Sartini pun tak mengabari keluarga ketika melahirkan Jonathan. Sewaktu orang tua dan kerabat mengorek cerita, Sartini menjawab pertanyaan mereka dengan tangisan. Setelah tiga pekan bersembunyi dan menenangkan diri, didampingi beberapa kerabatnya, Sartini akhirnya nekat melaporkan Adi ke polisi.
Rabu pekan lalu, Tempo menyambangi rumah kontrakan Adi di ruas jalan menuju Pantai Parangtritis itu. Namun rumah sekaligus toko perkakas milik Adi tampak sepi. Pintu terali bercat biru dengan tulisan "Toko Aneka Jaya Teknik" tertutup rapat.
Ketika Tempo mengetuk pintu belakang rumah, keluar seorang anak lelaki berumur sekitar 10 tahun. Menurut anak itu, ayah dan ibunya tak ada di rumah. "Ayah ke Jakarta," ucap si anak. Ditanya ke mana ibunya, anak itu menjawab, "Tak tahu." Yang ada di rumah, kata dia, hanya neneknya. Namun si nenek tak mau menerima tamu.
Sujarah, ketua rukun tetangga setempat, membenarkan bahwa rumah kontrakan tersebut ditinggali keluarga Adi. Mereka mengontrak rumah itu sejak tiga bulan lalu. Selain untuk tempat tinggal, rumah itu dijadikan toko alat teknik persawahan dan bahan bangunan. Adi dan istrinya kerap menawarkan barang dagangannya ke tetangga dan warga di sekitar Samalo.
Sujarah tak tahu banyak asal-usul keluarga Adi. Ketika pertama kali datang, yang melapor ke pengurus RT adalah Meliya, istri Adi. "Yang dilaporkan hanya suami-istri dan empat anaknya," ujar Sujarah. "Nenek dan asisten rumah tangga tidak dilaporkan." Sujarah pernah beberapa kali melihat Sartini keluar dari rumah Adi. Tapi ia tak tahu bahwa Sartini punya anak yang menjadi korban kekerasan.
Belakangan, menurut Sujarah, rumah kontrakan Adi beberapa kali didatangi orang tak dikenal. Pernah suatu waktu enam orang datang sekaligus. Mereka mengaku berasal dari Solo untuk menagih utang. Kepada Sujarah, rombongan penagih menyebut Adi membeli barang untuk mengisi tokonya dengan bilyet giro bodong. "Saya dikasih fotokopi surat tagihannya," kata Sujarah.
Linda Trianita (Jakarta), Muh Syaifullah (Yogyakarta), Ahmad Rafiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo