Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Julini Baru yang Asyik

Teater Koma kembali mementaskan Opera Kecoa. Pemeran baru Julini lumayan menghidupkan cerita.

21 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JULINI menyeret koper. Ia membuka payung oranyenya. Ia berjalan lenggak-lenggok. Wignya berkibar-kibar. Terdengar suara sempritan. Ada garukan. Julini pontang-panting. Lari sana-sini. Eitt... hampir terpeleset dia. Tapi waria itu tetap riang gembira. Tertawa-tawa. Dan ia ingin lagi dimanja-manja pacarnya, Roima.

Julini selama ini identik dengan Salim Bungsu. Dari pentas pertama Opera Kecoa sejak 1985 sampai 2003, Julini selalu diperankan Salim. Dan, karena Julini, nama Salim melambung sebagai aktor. Kepala Salim gundul. Dahinya lebar. Badannya cukup sterk. Tapi, tatkala ia mengenakan rok, lipstik, dan rambut palsu yang penuh aksesori warna-warni, luwesnya luar biasa. Tangannya saat berjalan melambai-lambai. Kakinya tiba-tiba sering tercongklang ke belakang atau jumpalitan setengah mau salto. Kocak, menggemaskan. Maka adalah tantangan besar bagi aktor yang menggantikan Salim.

Dan Joind Bayuwinanda ternyata bisa tak kalah centil. Ia mampu mengubah dirinya menjadi banci kenes. Suaranya kemayu, tapi sering kembali membesar seperti laki-laki. Juga saat menyanyi. Sutradara Teater Koma, Riantiarno, cukup berani memilih Joind sebagai pemeran utama. Joind sama sekali belum pernah terlibat dalam pementasan Koma.

Joind selama ini malang-melintang di Festival Teater Jakarta sebagai sutradara dan aktor Teater Amoeba, grup dari Universitas Mercu Buana, Jakarta. Terakhir ia memainkan monolog Tan Malaka, yang disutradarai Wan Sofwan. Pentasnya di Bandung sempat didatangi organisasi kemasyarakatan, yang menganggap monolog itu berbau kiri. Ia cukup mulus menyajikan adegan-adegan sunyi Tan. Solilokui-solilokui panjang tentang politik. Dari Tan menjadi Julini tentu sesuatu yang berbeda 180 derajat.

"Saya takut terpengaruh. Saya tak ingin meniru," ujar Joind, yang mengaku tidak khusus mempelajari akting Salim. "Saya cuma nonton beberapa menit saja video pementasan Opera Kecoa sebelumnya, setelah itu file-nya saya hapus biar saya bisa main dengan nalar sendiri," kata pria 46 tahun itu. Demi menjadi Julini, ia menghabiskan waktu dua pekan bergaul dengan banci-banci di Grogol, Jakarta. Awalnya Joind tak memberi tahu para bencong tersebut bahwa ia akan berperan sebagai Julini. Belakangan, para waria Grogol malah memberinya banyak masukan.

Joind menemukan bahwa menjadi banci lebih dari sekadar bergaya kemayu dengan suara dibindeng-bindengkan. Menurut dia, ada konflik identitas lebih dalam yang dihadapi kelompok transgender itu. "Banci enggak melulu banci. Kadang karakter laki-laki mereka tetap keluar juga. Emosi seperti itu yang saya sampaikan di panggung," ujar Joind. Selain memilih Joind, Riantiarno menampilkan aktor baru lain: Didi Hasyim. Didi selama ini dikenal sering menjadi aktor grup-grup teater dari Bulungan. Oleh Riantiarno, ia ditunjuk memerankan Kumis, preman, centeng pelacuran. Dan akting Didi tidak mengecewakan. Adegan-adegannya hidup.

Yang menjadi magnet "17 tahun ke atas" adalah bagian "hura-hura" dan protes para pelacur. Adegan-adegannya terasa lebih hot dan "mesum" daripada pentas Opera Kecoa pada 2003. Apalagi saat mereka menampilkan adegan senam kesegaran jasmani dan bernyanyi bareng-bareng. Ratna Riantiarno kembali menjadi Tarsih, muncikari, sebagaimana pentas pada 2003. Terasa betapa ia menjadi germo yang mata duitan saat Tarsih mengimbau anak-anaknya menaikkan tarif, karena ada pajak. Penonton ada yang mengira adegan ini menyindir tax amnesty. Padahal itu juga terdapat dalam pertunjukan sebelumnya. Adegan ini kontekstual tanpa terduga.

Pada pementasan 2003, Riantiarno menghadirkan aktor tamu kelas bintang. Butet Kertaradjasa menjadi pejabat yang jadi pelanggan Tuminah, bunga pelacuran. Ia selalu dipuaskan servis Tuminah. Pada Juli 2003 itu, yang menjadi Tuminah adalah Ria Irawan. Sekarang yang berperan sebagai pejabat adalah Budi Ros dan Tuti Hartati memainkan Tuminah. Namun permainan Budi dan Tuti lebih baik daripada duet Butet-Ria. Tatkala mereka berbicara kondom dan servis berbagai gaya yang tak monoton terasa lebih riil daripada Butet, yang dikomedi-komedikan.

Memang beberapa adegan tak bisa lepas dari klise. Entah kenapa sosok investor Jepang tetap dipilih berkostum kimono ala samurai Jepang. Pada 2003, sosok investor ini didampingi bodyguard pegulat sumo. Pegulat kini dihilangkan. Tapi entah kenapa kostum samurai tetap dipertahankan. Adegan pejabat dan investor bermain golf bila di zaman Orde Baru terasa sebuah kritik menggigit, tapi tidak untuk zaman sekarang. Juga adegan penggusuran yang masih stereotipe. Riantiarno tidak mempertimbangkan, misalnya, bagaimana cara petugas melakukan pengusiran pelacuran di warung remang-remang atau kafe dangdut Kali Jodo yang mungkin berbeda. Kemunculan tukang sulap yang diperankan Dana Hasan (pada 2003 dimainkan oleh Priyo S. Winardi), yang sering menginterupsi pentas untuk menjajakan obat semprot kecoa, tidak penting-penting amat dalam struktur pertunjukan.

Bagian yang tetap menggelikan adalah adegan patung-patung Jakarta. Julini mati. Ia tertembak peluru nyasar petugas. Ia dipatungkan. Ia dipahlawankan. Pada malam hari, patung Julini bergerak hidup dan ngerumpi dengan patung-patung ikon Jakarta, misalnya Patung Selamat Datang dan Patung Pak Tani. Ada nuansa getir di situ.

Para penonton terpingkal-pingkal menyaksikan Julini tersandung-sandung dikejar petugas. Para penonton juga mesem-mesem dan cekikikan tatkala melihat bagaimana Julini terluka perasaannya karena Roima, sang pacar (diperankan dengan lumayan oleh Bayu Dharmawan Saleh), berselingkuh dengan Tuminah. Yang menarik, para waria yang menonton pentas ini, menurut Joind, merasa dongkol terhadap mereka yang ngakak. "Mereka baper (bawa perasaan). Sudah tahu Julini terhina dan putus asa, malah diketawain," ujar Joind tentang reaksi teman-teman warianya.

Seno Joko Suyono, Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus