Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum menjawab eksepsi yang disampaikan tim penasihat hukum dari Staf Legal Counsel dari Energy Equity Epic Sengkang Pty. Ltd. (EEES), Kenny Wisha Sonda. Jaksa menyebut Kenny tidak bisa berlindung di balik Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, meskipun mengklaim sebagai advokat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Advokat atau legal counsel tidak memiliki imunitas absolut dalam menjalankan profesinya," kata Jaksa Nuli Nali Murti saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 12 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam UU Advokat, disebutkan seorang advokat tidak dapat dipidana atau digugat secara perdata dalam kepentingan membela kliennya. Namun, kata Nuli, hak imunitas itu tidak berlaku jika Kenny memberi instruksi yang melawan hukum kepada pihak perusahaan.
Kenny merupakan seseorang yang telah mengambil sumpah advokat pada 2008. Selanjutnya dia bekerja di EEES sebagai staf legal counsel dengan status masih sebagai advokat.
Dalam kasus ini, Kenny dituduh terlibat dalam penggelapan yang turut menyeret bosnya, yaitu General Manager Andi Riyanto, Finance Controller Elizabeth Minar Tambunan, serta Direktur sekaligus Pengendali Utama EEES Brian Jeffrey Allen. Penggelapan yang dimaksud berhubungan pada perjanjian kerja sama antara EEES dengan PT Energi Maju Abadi (EMA) pada 29 November 2018.
Jaksa menganggap Kenny sebagai orang yang dipercaya dan berpengaruh terhadap keputusan para atasannya, khususnya pada perjanjian dua perusahaan tersebut. "Terdakwa Kenny Wisha Sona memiliki posisi unik dalam EEES," ucap Jaksa Nuli Nali Murti.
Perjanjian itu membahas kerja sama pengelolaan blok eksplorasi gas alam di Sengkang, Sulawesi Selatan. Namun pihak PT EMA melaporkan pimpinan EEES ke Polres Metro Jakarta Selatan pada 2022.
Kemudian Kenny dituduh mengeluarkan opini hukum yang mengakibatkan mitra kerja sama EEES, yaitu PT Energi Maju Abadi (EMA), merugi sebesar US$ 31.468.649. Angka tersebut dianggap sebagai pendapatan PT EMA berdasarkan 49 participating interest yang seharusnya diberikan.
Tetapi, jaksa mendakwa Kenny atas tindak pidana penggelapan hanya dengan bukti percakapan e-mail antara Kenny dengan rekannya yang diteruskan kepada bosnya, Andi Riyanto. Inti dari percakapan itu adalah pendapatan belum bisa didistribusikan kepada PT EMA karena masih ada pinjaman EEES berdasarkan perjanjian kredit tahun 2014.
"Telah jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," tutur Jaksa Nuli Nali.
Kenny Wisha Sonda membantah atas perkara penggelapan yang didakwakan padanya. Menurut dia, tidak mungkin staf biasa bisa memberi pengaruh kepada jajaran pimpinan yang melakukan perjanjian langsung antarperusahaan.
Posisi dia saat itu sebagai staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris lebih baik dan mampu membaca perjanjian yang terikat secara hukum. Namun dalam posisinya ketika menjawab soal pembagian pendapatan PT EMA pada e-mail, itu bukan opini hukum.
"Opini hukum itu disertai dengan analisis pasal dan penjelasannya, tapi yang digunakan sebagai bukti pakai percakapan biasa pada e-mail," ucap Kenny saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin.
Dakwaan turut serta melakukan penggelapan, kata Kenny, juga tidak tepat karena tidak ada niat maupun hasil yang dinikmati. Percakapan dalam e-mail yang dipersoalkan hanya komunikasi biasa dan bukan memberi pengaruh pada atasannya.