Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Putri duyung lenyap, obat setan merayap

Daya tarik bali bagi turis bule ternyata dibumbui nikmatnya bisnis narkotik. ada mayat tercincang yang diduga tumbal sindikat. situasinya menantang polisi untuk lebih profesional.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMA kematian R.M. Atas Rifardi Sukarno Putro, alias Aldi, berlantun panjang. Obat yang disebut-sebut sebagai penyebab musibah di rumah Ria Irawan itu (lihat rubrik Kriminalitas) turut mencuatkan nama Bali dalam citra yang lain: sebagai pasar narkotik. Ini juga dibenarkan Kapolri Jenderal Banurusman kepada TEMPO dua pekan silam. Dan, hanya beberapa hari setelah tewasnya Aldi, obat setan itu, misalnya Ecstasy, raib peredarannya di Bali. Biasanya para pecandu bisa saja mendapatkannya di berbagai pub dan diskotek sepanjang Pantai Kuta, seperti disingkapkan dua pemuda -- sebut saja si Madat dan si Gelek. Tempat-tempat hiburan itu buka sejak senja sampai dini hari. Di sebuah klub, misalnya, 90% tamunya adalah turis bule serta muda-mudi pribumi. Ruangan 20 m x 25 m itu dipadati 100 tamu, 10 di antaranya anak muda gondrong. Ketika sebagian pelancong bule asyik ajojing, para pemuda tadi punya kesibukan lain, mejeng sambil memegang botol minuman keras. "Mereka nyambi jadi gigolo," kata Madat. Nyambi artinya kerja sambilan. Sedangkan kerja utamanya adalah bisik- bisik dengan cewek bule di lantai dansa, menjajakan si jelita atau snow -- kode atau sandi buat heroin dan morfin. Andainya tawarannya tak kunjung disambar, mereka membuka jurus permainan ranjang. Sambil leha-leha ini obrolan sering berkembang jadi urusan bisnis, seperti ekspor garmen, kerajinan, cenderamata. Sebaliknya, ada pula yang berkesudahan malang. Misalnya, tahun lampau ada cowok yang tamat riwayatnya di ujung pisau. Seperti umumnya pemakai, si Madat mengaku buta soal jaringan lalu lintas obat bius itu. Juga pemasoknya -- sebut saja si Alan, 24 tahun, asal Bandung -- seakan pendek ingatan ihwal mata rantai narkotik di Denpasar. Ia hanya membenarkan, begitu tersiar Aldi tewas, pengedar Ecstasy di Bali jadi panas dingin. Tapi tak berarti mereka jera. "Kami lebih hati-hati. Sekarang banyak intel di sini," katanya. Penghasilannya? "Hitung sendirilah. Tiap malam laku Rp 100.000," katanya. Dari situ si Alan berlaba 25% sampai 50%. Ganja paling laris. "Di Pantai Kuta ini ganja kan seperti barang legal saja," ujarnya. Ingat saja tahun 1970-80-an, saat hippies menjamur di Legian. Bagian Kuta yang berpasir putih itu dipenuhi duyung pirang -- cewek bule yang berbugil. Mereka mudah sekali menikmati ganja di warung tuak. Duyung bule itu lalu dilarang. Mereka beralih ke diskotek dan pub yang juga terdapat di hotel dan di berbagai tempat. Pasar narkotik ikut boyong ke situ. Sumber obat setan itu sering berasal dari turis ini, misalnya ketika Sylla Banoligiou tertangkap, tahun silam. Dari pelancong asal Mali di Afrika itu disita 600 gram heroin yang dititipkannya dalam safety box sebuah hotel. Dan awal Februari barusan, seorang turis Austria dengan heroinnya juga ditangkap di sebuah hotel. Ia mengaku cuma pemakai. "Itu lagu lama, agar hukumannya lebih ringan," kata sumber TEMPO di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara. Bahkan seorang marinir asing -- sebut saja Mister Bulshit -- lumayan beken di kalangan pengedar obat setan di Bali dan Jakarta. Kalau dia datang, kabar segera bertebar. "Ada kapal Bali merapat," begitu julukan buat si Bulshit. Boleh jadi, satu dua nama bisa dilacak, namun secara total lika-liku si obat setan tetap remang. Ini merupakan peluang untuk peran berbumbu muslihat. Ada pengedar yang menjerat kawan sendiri, sebab dia sebenarnya mata-mata yang berwajib. Atau ada lagi yang mengaku intel, sekonyong muncul di pub, menggerebek dan menemukan heroin dalam tas seorang turis. Menurut sebuah sumber, sebelum munculnya "sang petugas", kaki tangannya diam-diam menyusupkan obat setan itu ke dalam tas tamu. Tentu saja jebakan ini membuat korban kelabakan. Tapi, pst, pst, urusan bisa diatur. "Asal korban mau membayar sejumlah uang, ya, di situ juga," tutur sumber tadi. Mujur cuma diperas. Tapi sentana benar dijebak, mau mengadu ke mana dia? Bagaimana tentang jaringannya? Menurut sumber TEMPO, jaringannya masih dalam lingkaran kecil. Artinya, lumayan rapi, sehingga kalau ada seorang pengedar yang mata rantai ke atasnya putus, bisa disimpulkan dia itu mata-mata. Dan begitu ketahuan, kontan di-pites (dihabisi). "Prinsip mereka, lebih baik membunuh seorang daripada seluruh jaringan terbongkar," kata sumber tadi. Contohnya, ditemukan mayat tercincang tiga di Desa Bualu, Nusa Dua, pertengahan tahun lalu. Menilik korban masih berkalung emas, dan arlojinya utuh, polisi menduga pembantaian ini khas sindikat narkotik. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Nusa Tenggara, Letnan Kolonel Budiardja, korban sulit dikenali karena tak ada identitasnya. "Juga tak ada yang mengaku sebagai keluarga korban," kata Budiardja. Sejauh mana sudah Bali merupakan sarang obat setan, atau sebagai tempat transit, Budiardja agak ragu menjawab. "Kalau ada sindikat itu, target polisi adalah membekuk gembongnya, bukan cuma yang teri," ujar Budiardja. "Polisi tampaknya ditantang perlu bekerja lebih profesional," ulas seorang pengamat.Widi Yarmanto, Putu Wirata, dan Putu Fajar Arcana (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum