Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Undang-Undang Pilkada mengharuskan pelantikan pejabat dilakukan tiga bulan sebelum pilkada.
Sebanyak 51 pejabat Kabupaten Pasaman Barat yang sudah dilantik dikembalikan ke jabatan semula.
Pelarangan mutasi jabatan oleh kepala daerah bertujuan menghindari konflik kepentingan.
JAKARTA – Sebanyak 51 pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, sedang dilanda gundah. Sebab, baru saja mereka dilantik untuk menempati posisi baru, tapi pelantikan itu harus dibatalkan karena telah melanggar aturan tentang pilkada. “Mereka secara otomatis kembali ke posisi jabatan semula," kata pelaksana tugas Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Pasaman Barat, Adrianto, kepada Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun pejabat-pejabat yang pelantikannya dibatalkan itu meliputi 11 orang golongan eselon III, 16 orang golongan IV, serta 24 kepala SDN dan SMPN. Mereka dilantik oleh Bupati Pasaman Barat Hamsuardi pada 22 Maret 2024. Pada hari yang sama, Bupati membatalkan pelantikan melalui putusan notorious 800.1.3.3/44/BKPSDM/2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pelantikan pejabat bisa dilakukan sebelum masuk 60 hari menjelang pilkada. “Maka terakhir pelantikan pejabat dibolehkan pada 21 Maret 2024,” kata Adrianto.
Pasal 71 ayat 3 itu berbunyi, “Gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.”
Adrianto mengklaim kesalahan dalam menentukan waktu pelantikan ini bukan disengaja. “Kami salah menghitung jarak waktu yang ditentukan undang-undang,” katanya. Sebagai bentuk ketaatan pada aturan, kata Adrianto, semua surat keputusan pelantikan atau pengangkatan 51 pejabat pun dibatalkan.
Bupati Pasaman Barat Hamsuardi. Dok. Humas Pasaman Barat
Kesalahan yang terjadi di Pasaman Barat terjadi juga di Kabupaten Pesisir Selatan. Sebanyak 266 pejabat yang telah dilantik terpaksa dibatalkan karena melanggar UU Nomor 10/2016 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024.
Tempo berupaya meminta penjelasan dari Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman Barat Hendra Putra ihwal pelantikan yang dibatalkan itu. Namun hingga semalam, Hendra tidak menjawab panggilan telepon maupun pesan instan yang dikirim melalui nomor telepon selularnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, mengatakan pembatalan pelantikan 51 pejabat Kabupaten Pasaman Barat itu karena menyesuaikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Masalahnya pun timbul karena mutasi oleh Bupati Pasaman Barat dilakukan dekat dengan momentum pilkada.
Padahal mutasi atau rotasi pejabat oleh kepala daerah memang bisa dilakukan selama memenuhi syarat formil. Seharusnya, kata Ilhamdi, kepala daerah juga mengukur waktu pelantikan pejabat agar tidak bentrok dengan ketentuan pemilu. "Saya rasa semua kepala daerah tahu aturan ini, tapi banyak juga berkukuh. Akhirnya dibatalkan,” tuturnya.
Ilhamdi berpendapat, tidak tertutup kemungkinan yang terjadi di Pasaman Barat—juga di Pesisir Selatan—memang disengaja. Pendapat ini dia sampaikan mengingat langgam perpolitikan di Tanah Air bisa seperti ini juga. “Kemungkinan ada lobi politik yang dilakukan oleh kepala daerah yang akan maju lagi dalam kontestasi pemilu,” katanya. “Sudah tahu hal ini salah, tapi tetap dilakukan dengan dalih politik.”
Untuk menghindari pelantikan pejabat di “waktu terlarang”, Badan Pengawas Pemilu Nusa Tenggara Timur telah mengeluarkan imbauan kepada kepala daerah agar tidak memutasi aparatur sipil negara (ASN) menjelang pilkada 2024. Imbauan disampaikan secara tertulis pada 22 Maret 2024.
Ketua Bawaslu NTT Nonato Da Purificacao Sarmento mengatakan imbauan tersebut dibuat untuk menghindari konflik kepentingan di daerah. Larangan ini pun berlaku selama enam bulan menjelang pilkada dimulai.
Ketentuan itu juga tertulis dalam Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. “Jika dihitung-hitung, maka sudah berlaku dari tanggal 22 Maret lalu larangan itu," ucap Nonato.
Namun, dalam sejumlah pemberitaan, penjabat Gubernur NTT, Ayodhia G.L. Kalake, justru melantik 27 pejabat baru golongan eselon II di lingkup Pemerintah Provinsi NTT pada 27 Maret 2024. Nonato belum memastikan tindak lanjut yang akan diambil.
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute Karyono Wibowo menuturkan pembatalan 51 pejabat di Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat sudah tepat. Selain ketaatan, untuk menghindari potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan. “Pasalnya, pengangkatan pejabat menjelang pilkada berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik elektoral,” kata Karyono.
Menurut dia, dalam kontestasi politik sering dijumpai adanya relasi kuasa yang bekerja senyap maupun terang-terangan untuk kepentingan pihak yang sedang berkuasa. Karena itu, regulasi soal larangan mengangkat pejabat menjelang pilkada merupakan langkah maju.
Namun pada praktiknya, kata Karyono, tidak cukup untuk membendung penyalahgunaan wewenang karena selalu ada celah dalam instrumen kekuasaan. Gerak-geriknya pun terselubung dan bisa dikemas dengan kebijakan semu yang sulit dijerat oleh regulasi. Dalam kasus pembatalan pelantikan menjelang pilkada, Karyono memberi catatan bahwa sebelumnya harus teliti. “Itu bisa disebut sebagai kelalaian,” tuturnya.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, berpendapat serupa. Paling tidak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota berlaku untuk mencegah dan mengantisipasi sikap yang tidak semestinya dari pejabat di lingkungan pemerintah daerah.
Pelarangan mutasi jabatan oleh kepala daerah pun untuk menghindari konflik kepentingan. “Tentu penerapan ini mempertimbangkan etik dan moral,” kata Ujang.
FACHRI HAMZAH (PADANG) | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo