Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) buka suara soal pembentukan Korps Pemberantasan Korupsi (Kortas Tipikor) Polri. ICW menilai bertambahnya institusi yang menangani masalah korupsi justru akan membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak maksimal dan berpotensi saling tabrak antar-institusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti ICW Seira Tamara mengatakan Indonesia telah memiliki lembaga yang fokus menangani isu korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung. Meski kinerja dua lembaga itu belum maksimal, bukan berarti solusinya adalah membuat lembaga baru lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sering kali permasalahan yang timbul dari dibentuknya institusi baru adalah tumpang tindih wewenang, tupoksi antar-lembaga juga menjadi berbenturan. Akhirnya berakibat pada proses eksekusi atau penyelenggaraan wewenang menjadi tidak maksimal,” ucapnya saat ditemui di Kantor ICW, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Jumat, 18 Oktober 2024.
Seira heran mengapa pemerintah menanggapi kinerja KPK yang belum baik dalam penanganan korupsi justru dengan membentuk institusi baru. Seira menyampaikan ia tak melihat ada relevansinya.
“Iya kita sepakat KPK belum baik, bahkan kita tahu ketuanya sudah ditetapkan tersangka. Tetapi dengan kinerja KPK yang belum baik itu, lalu dengan membangun institusi baru, itu kita belum ketemu relevansinya,” ucapnya.
Beleid tentang pembentukan Kortas Tipikor itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Oktober 2024 , yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2024 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Perpres itu disebutkan bahwa Kortastipidkor bertugas membantu Kapolri dalam membina, mencegah, menyelidiki, dan menyidik dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang, serta menelusuri dan mengamankan aset dari tindak pidana tersebut.
Pilihan Editor: KontraS Catat Ada 2.078 Kasus Serangan Kebebasan Sipil di Era Jokowi