Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Apakah Proses Pembuktian dalam Kasus KDRT Sama dengan Kekerasan pada Umumnya?

Proses pembuktian dalam kasus KDRT berbeda dengan kasus kekerasan pada umumnya. Hal itu karena ketentuan dalam UU PKDRT.

7 Maret 2025 | 12.00 WIB

Ilustrasi kekerasan. Shutterstock
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi kekerasan. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HALO kakak di Klinik Hukum Perempuan, saya mau tanya tentang proses pembuktian terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) apakah sama dengan proses pembuktian terhadap kasus-kasus kekerasan pada umumnya? (Adinda, Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jawab:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Halo Adinda, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami akan mencoba menjawab dua pertanyaan yang ditanyakan di atas. Sebelum itu, kami akan sedikit menjelaskan tentang KDRT sebagai sebuah bentuk kekerasan yang khusus yang banyak menimpa perempuan sebagai korban terjadi di ruang-ruang privat serta intim dalam keluarga.

Semenjak pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Indonesia telah mengakui KDRT sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Hal lainnya, para korban KDRT yang kebanyakan perempuan harus mendapat pelindungan dari negara atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Hal ini juga dimandatkan oleh CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Undang-undang ini juga sebagai wujud penerapan prinsip pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

Ilustrasi kekerasan. Shutterstock

Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1 butir ke-1 Undang-Undang PKDRT, definisi KDRT adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Sedangkan definisi penghapusan KDRT/PKDRT, sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1 butir ke-2 UU PKDRT, berbunyi “Jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.”

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang PKDRT menjelaskan ruang lingkup dari undang-undang ini meliputi:
a. Suami, istri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Karena itu, dengan melihat karakteristik dari kasus-kasus KDRT yang terjadi di ruang-ruang privat dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan yang intim, proses penyelesaian terhadap kasus-kasus KDRT juga memerlukan tindakan serta upaya yang berbeda dengan penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan pada umumnya. Hal ini terlihat dari proses pembuktian yang diterapkan seperti tercantum dalam Pasal 55 Undang-Undang PKDRT, yang berbunyi “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”

Ketentuan dalam Pasal 55 Undang-Undang PKDRT ini menjadi terobosan hukum dalam sistem hukum Indonesia, khususnya untuk sistem hukum acara. Pasal tersebut mengakui satu keterangan saksi/saksi korban dalam proses pembuktian. Hal itu berbeda dengan ketentuan hukum acara pada umumnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut tertulis alat bukti yang sah, ialah “(a). keterangan saksi; (b). keterangan ahli; (c). surat; (d). petunjuk; (e). keterangan terdakwa”.

Mengenai kesaksian, dalam Pasal 185 KUHAP ayat 1 huruf a tertulis ”Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan.” Sedangkan dalam Pasal 185 ayat 2 KUHAP tertulis “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”

Maksud dari keterangan saksi di muka persidangan sebagai alat bukti adalah keterangan saksi di muka penyidik bukan alat bukti. Selain itu, Pasal KUHAP mengandung prinsip unus testis nullus testis, yang berarti “satu saksi bukan saksi”. Saksi sendiri, jika merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

KUHAP ternyata tidak bisa memformulasikan peristiwa pidana dan membuat terang terjadinya sebuah tindak pidana KDRT. Teori pidananya, sebagian besar kasus KDRT terjadi di ruang-ruang privat atau tertutup. Dengan demikian, pembuktian atas kasus-kasus KDRT sangat minim alat bukti dan minim saksi. Karena itu, kehadiran UU PKDRT menjadi bagian penting serta mendobrak sistem hukum yang ada. Hal ini kemudian menjustifikasi lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Sistem pembuktian, ketika keterangan saksi menjadi formula penting untuk menentukan peristiwa pidana yang ditetapkan oleh UU PKDRT, menjadi terobosan hukum dalam pembuktian untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebab, sistem hukum yang diterapkan dalam KUHAP belum berpihak kepada korban (khususnya perempuan sebagai korban). Ketentuan yang ada dalam KUHAP belum memberikan ruang terhadap perempuan ketika berhadapan dengan hukum. Akibatnya, masih banyak aparat penegak hukum yang juga belum memiliki sensitivitas dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Ilustrasi kekerasan. Shutterstock

Hambatan terbesar dari sedikitnya pengaduan tentang kasus KDRT yang dapat diputus di pengadilan adalah belum terimplementasikannya secara maksimal ketentuan dalam pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Salah satu pasal dari UU PKDRT yang sampai sekarang belum dapat terimplementasikan secara baik adalah ketentuan dari Pasal 55 UU PKDRT, yaitu tentang pembuktian, ketika satu saksi/saksi korban dan satu alat bukti yang sah sudah dapat menghukum terdakwa. Banyak aparat penegak hukum beranggapan bahwa kesaksian tidak bisa hanya menghadirkan satu saksi/saksi korban.

Karena itu, dengan adanya Undang-Undang PKDRT, sangat diharapkan perubahan cara pandang atau perspektif dari aparat penegak hukum di Indonesia. Sebab, melalui UU PKDRT, aparat penegak hukum dapat menerapkan sistem hukum yang berpihak kepada para korban. Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1 poin ke-2 UU PKDRT ditetapkan tentang pengertian dari PKDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. Undang-Undang PKDRT merupakan pembaruan hukum yang berpihak kepada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum di masyarakat.

Dalam Undang-Undang PKDRT ini telah diatur secara lengkap soal pembuktian dan kesaksian. Pengaturannya sudah sangat khusus untuk kasus-kasus KDRT. Aturan untuk pembuktian dan kesaksian terhadap kasus KDRT sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 55 UU PKDRT.

Demikian jawaban kami dari Klinik Hukum Perempuan, semoga bermanfaat. Semoga kasus-kasus KDRT yang masih sangat banyak terjadi dapat ditangani atau diproses dengan menggunakan ketentuan hukum yang ada dalam UU PKDRT. Hal yang terpenting adalah para korban KDRT dapat memperoleh pelindungan hukum secara adil oleh para aparat penegak hukum.

Danielle Johanna P. Samsoeri, S.H., M.Si. 
Advokat Probono LBH APIK Jakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus