Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pembunuh Bebas, Penduduk Protes

Pn lhok sukon membebaskan 3 terdakwa pembunuh fatimah. sekitar 30 tokoh masyarakat & 11 kepala desa di kec. baktiya, aceh utara, protes ke ma agar vonis itu dibatalkan. mereka siap menghukum langsung.

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT mulai berani memprotes putusan hakim. Sekitar 30 tokoh masyarakat dan 11 kepala desa di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, melayangkan protes ke Mahkamah Agung. Mereka menuntut agar vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Lhok Sukon mengenai pembebasan tiga terdakwa pembunuh gadis Fatimah dibatalkan. Protes bukan cuma datang dari luar sidang. Jaksa Jemadin Wahidy, yang menyeret terdakwa, 10 Juni lalu telah meneken akta kasasi. Memori kasasi jaksa atas keputusan bebas murni itu, sesuai dengan ketentuan, pekan ini dikirim ke MA. Jaksa Jemadin Wahidy yakin, seperti dalam tuduhan semula, bahwa terdakwa Rasyid, Zainal, dan Matsyah benarbenar telah membunuh Fatimah. "Buktinya, rekonstruksi pembunuhan itu mereka lakukan tanpa canggung," katanya pada TEMPO. Protes beberapa kades dan tokoh masyarakat itu bermula dari kejadian tragis yang menimpa Fatimah. Penduduk, 2 September, menemukan mayat gadis itu di hutan semak Cot Ara, 1 km dari Desa Matang Sijuek. Kasus ini, semula, nyaris tak terungkap. Tidak ada seorang saksi yang melihatnya. Gagasan datang dari A. Hanan bin Adam, 34 tahun, Sekretaris Desa Matang Sijuek. Ia mencurigai Rasyid bin Usman, 24 tahun. Alasan kecurigaan, boleh dibilang, sangat sederhana. Anak muda itu kelihatan selalu membuntuti polisi yang turun mengusut kasus gelap tersebut. Bagaikan detektif, Hanan pun berhasil merayu Rasyid. Pemuda yang ternyata pacar Fatimah itu, di depan polisi, akhirnya mengakui sebagai pembunuh. (TEMPO, 27 Februari 1988). Rasyid, menurut pemeriksaan polisi mengaku menghabisi nyawa Fatimah bersama dua temannya yaitu Zainal dan Matsyah. Motifnya, untuk membungkam Fatimah yang ternyata sudah hamil tujuh bulan akibat hubungan zinah dengan ketiga pemuda itu. Untuk itu, seperti pengakuan mereka kepada polisi, ketiganya sepakat menghabisi nyawa Fatimah 1 September 1987. Di persidangan, pengakuan kepada polisi itu mereka cabut. Ketiganya terpaksa mengaku karena diiming-iming polisi akan dilepaskan. "Bahkan mereka akan diberi modal usaha kalau mau menandatangani BAP," kata Ketua Majelis Hakim, Tjut Nilawati yang mengadili ketiga terdakwa. Hakim, dalam sidang, menggugurkan dakwaan dan menolak tuntutan jaksa yang minta dijatuhkan hukuman 10 tahun. Alasan hakim, sama sekali tidak ada saksi atas peristiwa itu. Juga, pembuktian dinilai tidak meyakinkan. Sementara itu, hakim bisa mendengar saksi alibi yaitu T.M. Hasan dan Ismail. Keduanya bersaksi, Matsyah justru salat bersama mereka pada peristiwa itu. Bahkan terdakwalah yang mengumandangkan azan magrib di meunasah (surau) saat itu. Namun, setelah ketiga terdakwa dibebaskan, reaksi keras datang dari masyarakat. Begitu Rasyid, Matsyah, dan Zainal muncul di kampungnya setelah vonis bebas 10 Mei, penduduk emosi. Mereka ramai-ramai menyerbu rumah kepala desa, M. Ali Daud. Dengan luapan kemarahan, mereka berpekik: "Apa kami harus menghukum mereka, jika hakim tak mau menghukumnya!" Dengan alasan kecewa atas putusan hakim itu, maka muncul surat protes yang mewakili sekitar 4.000 orang dari 11 desa di Matang Sijeuk dan sekitarnya. Dasarnya, pengakuan Rasyid kepada Hanan, sekretaris desa itu, dan hasil pemeriksaan polisi. Sumber TEMPO di Polsek Baktiya yang mengusut kasus itu pun heran atas bebasnya ketiga terdakwa. Polisi menyangkal telah memeras pengakuan Matsyah cs. dengan iming-iming akan dilepaskan. "Seperti halnya sewaktu rekonstruksi, mereka mengaku dengan lancar," kata sumber itu. Ketiga terdakwa yang luput dari tuntutan Jaksa itu kini menghilang dari desanya. Kecuali takut dari ancaman hukuman langsung masyarakat, ketiganya memang langsung dikucilkan tetangganya. Majelis hakim, tampaknya, tidak goyah dari vonis yang diketokkan. "Lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tak terbukti bersalah, ujar Mardi, anggota majelis. Bersihar Lubis & Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus