Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Hwang

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA tak tertarik jadi pahlawan," kata dokter itu. Mungkin tidak. Tapi pada suatu malam Korea yang dingin di bulan Januari 187, dokter itu, Hwang Juck-Joon, menyaksikan sesuatu yang harus disaksikannya dan menemukan sesuatu yang kemudian akan mencelakakannya. Polisi memanggilnya. Ia diminta memeriksa jasad seorang mahasiswa yang berumur 21 tahun. Anak muda itu mati ketika sedang dalam pemeriksaan polisi. Hwang Juck-Joon - ia salah satu dari sedikit ahli patologi di Korea Selatan memang waktu itu bekerja di Lembaga Nasional Penyidikan Ilmiah, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam posisinya di situ, ia secara rutin diminta oleh pihak kepolisian untuk membantu mereka dalam menjejaki kejahatan. Ketika malam itu ia harus memeriksa tubuh mahasiswa yang mati itu, ia menemukan ada pendarahan di dalam. Kesimpulannya: anak muda itu, Park Jong-Chul, seorang aktivis yang terlibat dalam pelbagai demonstrasi, mati karena siksaan. Park, yang oleh para interogator polisi sedang diusut "hubungan-hubungan politiknya", dengan jelas tewas tercekik. Yang rupanya mengherankan dr. Hwang ialah bahwa apa yang diumumkan oleh yang berwewenang mengenai kematian Park Jong-Chul ternyata tidak sama dengan hasil penemuannya. Menurut pengumuman resmi, si mahasiswa mati "karena syok". Tapi ada yang tak bisa ditidurkan dalam diri Hwang. Mungkin itu yang disebut hati nurani. Dokter yang berumur 40 tahun itu, yang umumnya bukan orang yang suka merecoki lembaganya, kemudian berbislk kepada seorang temannya, seorang wartawan, tentang apa sebenarnya yang ditemukannya di malam dingin Januari itu. Dr. Hwang -- menurut pengakuannya kemudian - tak menduga bahwa temannya, sang wartawan, akan memuat kesaksiannya. Ia mengira bahwa semua hal yang diungkapkannya tentang kematian Park Jong-Chul hanya akan dicatat sebagai rekaman historis. Tetapi temannya rupanya berpendapat lain: sebab-musabab kematian Park yang sebenarnya harus dibongkar. Bagaimanapun pembunuhan telah terjadi. Kesewenang-wenangan yang penuh kekerasan telah dilakukan terhadap seorang yang tak berdaya. Apa yang menimpa dengan ngeri hari ini pada Park - Jika dibiarkan begitu saja - pada suatu hari nanti akan bisa terjadi pada siapa saja, dan akan didiamkan juga seperti biasa. Lalu tulisan itu pun terbit. Dan ketika hasil kesimpulan yang sebenarnya dari hasil otopsi akhirnya tersiar luas, masyarakat pun tahu: pihak yang berwewenang bukan saja telah membunuh seorang warga negara. Mereka juga telah berdusta kepada khalayak ramai. Tak ayal - demikianlah tulisan Clyde Haberman dalam International Herald ribune - suatu lingkungan protes pun terciptalah. Terutama dari kalangan kelas menengah. Dari sini gelombang demonstrasi berkecamuk, melingkar-lingkar, tak putus-putusnya. Untung, pemerintah Korea Selatan, di bawah Presiden Chun Doo-Hwan, bukanlah pemerintah dari batu. Suatu penyelidikan dilakukan untuk mengusut sebenarnya apa yang terjadi pada Park Jong-Chul. Di sini barangkali Hwang juga dimintai keterangan. Akhirnya pemerintah pun mengakui: Park mati karena disiksa polisi. Selama anak muda ini diperiksa, kepalanya diserusukkan ke dalam bak air berkali-kali. Suatu ketika tenggorokannya terjepit ke tepi bak itu Park tercekik, dan bagian dalam leher retak. Ia tewas. Para pembunuhnya kemudian dihukum. Lima polisi yang menjalankan interogasi terhadap Park dipenjarakan antara 5 dan 15 tahun. Direktur jenderal yang memimpin markas besar kepolisian, Kang Min Chang, dijatuhi hukuman dengan masa percobaan karena menyuruh bawahannya menutup-nutupi kasus ini. Itu semua tak menyebabkan dr. Hwang dimaklumkan sebagai pemenang. "Saya harus mengundurkan diri," katanya. Ia telah menyebabkan para atasannya kehilangan muka, dan, menurut etik masyarakatnya, ia tak bisa terus bekerja di kantor itu. Juga ia takut. Tiap hari toh ia harus berhubungan dengan polisi, karena tugasnya. Dan Hwang merasa terancam. Ia sering menerima telepon yang menggertaknya, hingga ia harus berganti nomor telepon - dan berhenti bekerja. Ia kini menganggur. "Saya tak tertarik jadi pahlawan," katanya. "Terus terang, mungkin saya ini orang yang dungu." Barangkali ia orang yang dungu, dalam arti orang yang tak memikirkan akibatnya bagi nasibnya sendiri ketika ia harus mendengarkan hati nurani yang berdegup keras-keras. Tapi bersalahkah Hwang, jika ia jadi contoh yang rendah hati bahwa masih ada jiwa yang begitu mulia di tengah ketakutan ? Dia mungkin bukan pahlawan. Pemerintahan Chun yang mengoreksi dirinya sendiri dengan cepat iuga bukan pahlawan. Tap baik sang dokter maupun sang presiden sengaja atau tak sengaja - telah mengangkat bangsa itu ke suatu taraf yang lebih tinggi. Hwang ladi penganggur dan pemenntah Chun akhirnya jatuh. Tapi kini siapa bisa mengatakan bangsa orea bukan bangsa yang tangguh di hadapan kebenaran? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus