ULAH seperti Jali itu kerap terdengar. Di Tulungagung, Jawa Timur, misalnya, Maret silam, Warni menyetubuhi istrinya, Ningsih, yang sudah menjadi mayat. Menurut Sawitri Supardi, 49 tahun, ketua Jurusan Psikologi Klinis Universitas Padjajaran, Bandung, orang seperti Jali cenderung melampiaskan dorongan seksualnya kepada lawannya yang kurang berdaya. Terlebih lagi jika korbannya menjadi mayat. Jali menganggap bahwa korban tak bakal memprotes ataupun melawan. "Ia merasa super akan keperkasaannya. Ia mampu mencapai kepuasan yang bisa diulang tanpa protes dari korban," katanya kepada Ida Farida dari TEMPO. Sawitri pernah menangani kasus semacam itu enam tahun lalu. Jali atau yang lainnya itu memang mengalami gejala krisis rasa super. Mereka beranggapan bakal dilecehkan jika melakukan hubungan seks dengan perempuan hidup. Orang semacam itu menderita nekrofilia. Penderitanya punya kepribadian psikopat. "Mereka mengalami hambatan dalam melakukan kontak sosial dengan lawan jenisnya," tutur Sawitri. Mereka hanya mampu berkomunikasi jika kontak berlangsung searah. Kelainan begitu lebih banyak karena faktor bawaan sejak lahir. Kebanyakan penderita nekrofilia adalah lelaki belum beristri. Semasa kecil, mereka biasanya bertingkah laku cenderung sadistis. Setelah besar, mereka kelihatan lebih banyak diam, tak bertingkah aneh. Tapi pada saat dorongan seksnya muncul, perilakunya menjadi tak terkendali. Apalagi jika korbannya melawan atau meronta, mereka menjadi agresif dan tak segan membunuh. Sebab itu, kebanyakan mereka berusia muda dan punya kekuatan fisik untuk menaklukkan korban. Upaya merehabilitasi keadaan si penderita, menurut Sawitri, tak lain dengan memperbaiki cara pelaku berkomunikasi dengan lawan jenisnya dan bisa menempatkan dirinya sebaik mungkin di lingkungannya. Terapi ini mau tak mau memang harus dilakukan dengan merawatnya di rumah sakit jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini