Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pendurhaka-pendurhaka

Abu, 25, menyembelih ayahnya, hasan, dan pak tuanya, rais, di malepang, sum-bar. abu jengkel tidak diberi hasil jualan kopi. di desa peninjauan amril membunuh ibunya karena korban tak memberi uang.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GOLOK yang terselip di pinggang bustar bergoyang-goyang disentuh pahanya. Dia tergesa-gesa ke Bukit Buai, di Desa Malepang, Kecamatan Pacung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan -- 210 km dari Padang. Di sanalah kebun kopi 1 hektar milik Hasan, ayah Abu. Setelah di situ, Abu, 25 tahun, duduk di bibir kebun. Ia menatap ayah dan ibunya yang sedang memetik kopi. Sesaat kemudian, kata Hasan, "Kalau penatmu sudah hilang, bantulah Ayah, Abu." Hasan selama ini sangat memanjakan Abu, karena ia anak tunggal. Tetapi Abu bangkit dengan teriakan, "Mana uang saya hasil jual kopi tempo hari?" Hasan, 60 tahun, menyabarkannya. Menurut si ayah, biarlah biji kopi dipanen habis dulu, dan hasilnya pasti untuk anak lanang-nya. Abu berkeras. Malah dia menuduh ayahnya tak adil. "Saya juga ikut menanam kopi ini, kenapa hasilnya tak diberikan padaku?". Rais, 65 tahun, suami kakak ibu Abu, yang sedang membantu memetik kopi, menengahi. "Janganlah begitu kepada ayahmu," kata Rais. Abu jengkel dan membentak Rais yang ia panggil Paktua itu. "Kau juga sekongkol dengan Ayah," tuding Abu. Dan ia menghunus golok. Hasan melerai. Abustar malah menebaskan goloknya. Meski berkelit, tangan kanan Hasan tersambar dan nyaris buntung. Hasan dan bininya, serta istri Rais yang hadir di sana, lari lintang pukang. Rais mencari pentungan kayu untuk senjata. Mereka berkelahi. Dan sekejap itu pula Rais tersungkur di bawah pohon kopi. Tewas. Lehernya hampir putus. Kemudian Abu memburu ayahnya dan menghantamkan mata cangkul ke pelipisnya. Hasan menerpa bumi. Lalu, ya Allah, Abu menyembelih leher ayahnya. Kemudian Abu menuju gubuk dan menukar pakaiannya yang berdarah dengan pakaian lain. Ia duduk di bawah pohon di pinggir sungai yang membelah bukit. Ibu Abu dan istri Rais, setengah jam berlalu, sampai ke rumah di Kampung Bulai -- 2 km dari tempat kejadian. Keduanya berteriak minta tolong dan menjalar ke pos Polisi di Tapan, 11 km dari kampung itu. Sersan Mayor P.R. Tampubolon, Komandan Pos Polisi Tapan, dengan ratusan penduduk menuju ke Bukit Buai. Di sana mereka menemukan dua mayat. Ketika Tampubolon meminta Abu, yang masih duduk di tempat tadi, agar menyerah, malah ia menyerang dengan golok. Tembakan peringatan dilepaskan Tampubolon. Barulah Abu menyerah. Setelah peristiwa pada Rabu akhir Agustus itu, Abu hanya sehari di Pos Polisi Tapan. Ia diungsikan ke Polres Pesisir Selatan, di Painan, 70 km dari Padang. Ini untuk menjaga keselamatan Abu dari amarah penduduk Kampung Bulai, yang terus-menerus "mengawal" Pos Polisi Tapan. Abu berbuat senekat itu gara-gara ayahnya tak memberi uang. "Permintaan saya itu wajar," kata Abu kepada TEMPO. "Paktua saya bunuh karena dia membela Ayah. Saya bunuh Ayah karena membela Paktua," kata Abu, yang tak tamat SD itu. Sebagai pecandu rokok yang bisa menghabiskan tiga bungkus sehari, ia butuh uang. Ketika menggorok leher ayah dan Paktuanya, sudah setengah hari Abu tak merokok. Menurut Letkol Djusman Nuly, Kepala Dinas Penerangan Polda Sum-Bar, tindakan Abu sama sadistisnya dengan Amril. Ia membunuh Nurbaiti, ibunya, pertengahan Agustus lalu, lantaran tak memberi uang Rp 3.500 untuk membeli tali pinggang. Setelah bertengkar dengan ibunya itu, malamnya Amril tak tidur di rumahnya, di Bukit Sigumpa, Desa Peninjauan, Kecamatan Pekan Selasa, Solok, Sum-Bar. Subuh, Amril pelan-pelan masuk ke rumah. Ibunya sedang menggiling bumbu pecal. Dengan kayu, tiga kali Amril memukul tengkuk Nurbaiti, 35 tahun. Amril mengikat tangan Nurbaiti yang sudah pingsan. Dengan celurit, ia menggorok leher ibunya itu hingga tewas. Lalu, Amril meminum tiga sendok darah ibunya. "Ibu tiri saya mengajarkan, darah korban harus diminum. Supaya roh korban jangan mengganggu," kata Amril, 16 tahun. Ia tak tamat SD dan bekerja sebagai kernet bis. Monaris Simangunsong, Laporan Asyadin S.T. (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus