PANAS terik Pulau Pinang menyusup ke ruang Pengadilan Tinggi itu. Tapi Lorraine Phylis Cohen, 44 tahun, tetap tegar. Dan putranya, Aaron Shelton Cohen, 21 tahun, sekali-sekali menjeling ke kiri-kanan -- memperhatikan orang-orang yang menonton mereka di ruang tunggu. Empat juru kamera TV dari Australia dan Selandia Baru menyorot saat Lorraine dan anaknya beranjak ke ruang sidang. Tangan mereka diborgol. Seorang perempuan tua menjemba bahu Lorraine dengan kedua tangannya yang keriput. Ibu Lorraine itu mendesis, tetapi anaknya yang berwajah lancip itu menyambut tanpa emosi. Ia juga dingin kepada bekas suaminya, Danny Cohen, yang tadi duduk bersisian dan berlunak-lunak dengan Lorraine. Rumah tangga mereka tak bahagia. Suaminya sering memukul dia. Dengan bekal 10 ribu dolar Selandia Baru, dari warisan ayahnya, Lorraine kemudian melarikan diri. Dadanya terpaksa dioperasi plastik untuk menghilangkan bekas luka digebuk suaminya. Bermula ketika Lorraine dan Aaron antre di loket check-in. Mereka mau menumpang pesawat Singapura (SIA), di lapangan terbang Bayan Lepas, Penang. Saat itulah mereka digiring dua polisi berpakaian preman ke kamar geledah. Lima menit kemudian, 9 Februari 1985, warga Selandia Baru itu ditahan. Norsham, wanita satpam yang bertugas di Bayan Lepas, menyita dua bungkus plastik kecil dari celana dalam Lorraine. Dalam setiap bungkus terdapat sebungkus lebih kecil, berisi serbuk kedadu-daduan. Begitu pula waktu Aaron digeledah dua polisi, Ismail dan Abu Hassan, ditemukan dua bungkus plastik serupa dilekatkan dengan cello-tape di celana dalam pemuda Kiwi itu. Keluarga Cohen -- di kalangan Yahudi dianggap keturunan rabbi dan menghindar dari berbuat kejahatan -- itu dituduh menyelundupkan 175,39 gram heroin. Undang-undang narkotik atau dadah di Malaysia menyediakan tiang gantungan. Kini negara itu menyimpan lebih dari 300 ribu pencandu narkotik. Selasa lalu, Lorraine dijatuhi hukuman gantung. Wanita dari Auckland itu bersalah mengedarkan 140,78 gram heroin. Hakim Mohamed Dzaiddin Abdullah memutuskan Lorraine melanggar pasal 39 (B) Akte Dadah Berbahaya: tertangkap basah memiliki heroin 15 gram lebih. Aaron, kendati terbukti memiliki 34,61 gram heroin, dihukum seumur hidup -- plus enam cambukan rotan. Lorraine, yang tadi semula tenang, setelah mendengar vonis dijatuhkan pada Aaron memegang erat tangan anaknya yang berdiri di sisinya itu. Seperti ibunya, Aaron didakwa melanggar pasal itu. Tapi Hakim Dzaiddin mengubah amarnya, dan memutuskan Aaron memiliki narkotik di bawah pasal 39 (A) akta yang sama. Ancaman hukumannya: penjara lima tahun sampai seumur hidup (20 tahun) dan menerima enam kali, maksimal, cambukan rotan. Jaksa Mohamed Bazain meminta hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup, karena Aaron dianggap pecandu yang tak bisa insaf lagi. Pengacara Karpal Singh berhasil meyakinkan Hakim. Aaron, katanya, bukan pengedar narkotik tapi pecandu. Baru tiga hari ditahan, Aaron telah dimasukkan ke RSU Pulau Pinang. Dia demam. Diagnosa Dr. Abdul Rashid menunjukkan, pemuda itu menderita ketagihan narkotik karena berhenti mendadak. Dia dirawat enam hari di sana. Dalam sidang yang menyita 13 hari, sejak 10 Agustus lalu, Lorraine pernah berkata, "Saya butuh heroin agar bisa terus normal. Dosa yang saya perbuat telah ikut ditanggung Aaron. Dia masih terlalu muda. Seharusnya sayalah yang memikul tanggung jawab itu." Selama di Penang, dia menambah konsumsinya antara 4 dan 8 mg heroin, dengan menyuntik lengannya. Lorraine bermain dengan narkotik sejak berusia 15 tahun. Sedang Aaron mengisap melalui rokok. Pembela Karpal Singh telah mendatangkan saksi ahli dari Selandia Baru. Dr. Fraser Mc Donald, konsultan senior pada RS Auckland, mengatakan, Lorraine adalah pecandu yang kronis. Tetapi Aaron pecandu alamiah alias born addict. "Lorraine memerlukan sejumlah narkotik, yang kalau dikonsumsi orang normal akan maut," tutur Mc Donald. Pendapat psikiater itu diperkuat Dr. Stella Dalton, psikiater dan ahli narkotik dari Australia. Lorraine pernah datang berkonsultasi ke kliniknya di Sydney. Wanita ini terpaksa "menjual diri" di panti pijat agar bisa hidup dan membeli heroin. Saksi ahli yang dihadirkan jaksa, Dr. V. Navaratnam, Direktur Pusat Riset Dadah Nasional di Universiti Sains Malaysia, mengatakan "orang yang normal" akan mati jika menggunakan narkotik sebanyak yang digunakan Lorraine. Yaitu sekitar 925 mg heroin murni sehari. Padahal, Dr. Stella Dalton memperkirakan, Lorraine, kalau tak menjalani perawatan, menggunakan antara 10 dan 15 mg heroin sehari, sejak 1984. Penagih narkotik yang kronis, di Malaysia, kata Navaratnam, menggunakan antara 50 mg dan 80 mg heroin murni per hari. Heroin yang dimiliki Lorraine itu bisa bertahan 3.520 hari -- jika dikonsumsi 50 mg sehari oleh pecandu biasa. Tapi seorang penagih kronis yang menggunakan 80 mg heroin sehari akan mampu menghabiskannya dalam kira-kira 1.760 hari. Yang dijumpai dari Lorraine jelas heroin murni -- yang kalau dijual pada saat itu di Australia laku antara A$ 78.500 dan A 95.000. Di Penang, 1 gram heroin lebih murah Rp 8 ribu dibanding di Australia yang Rp 350 ribu per gram. Hakim Dzaiddin percaya bahwa narkotik yang disita dari Lorraine bukan digunakan sendiri, melainkan juga untuk diedarkan. Lorraine sudah tiga kali ke Malaysia. Sebelum ditangkap, ia telah tinggal dua bulan di Pulau Pinang. Hakim percaya, Lorraine sudah kecanduan narkotik sebelum 1984. Dan tak ada bukti-bukti kuat bahwa Lorraine masih sebagai pecandu gawat dari 1984 hingga Februari 1985. Selama ditahan, ia tak pernah mengeluh karena ketagihan. Karena itulah, hukuman mati dipalu padanya. Kedua terhukum kemudian mengajukan kasasi. Sedangkan keluarga mereka di Selandia Baru kini sudah tak peduli lagi. Kasus ini keempat kalinya melibat orang kulit putih, sejak 1983 Malaysia memberlakukan hukuman mati terhadap penyalur narkotik Maret lalu, Pengadilan Tinggi Pulau Pinang memvonis gantung Derrick Gregory, warga negara Inggris. Dia mengedarkan 576 gram heroin. Gregory kini menunggu keputusan kasasi dari Mahkamah Agung. Awal tahun ini, Frank Foerster dari Jerman Barat dibebaskan karena tak cukup bukti. Pemuda 25 tahun itu dituduh mengedarkan 239,7 gram hashish, tiga tahun lalu. Karena keteledoran polisi, ia ditangkap, tapi pengadilan memerdekakannya. Pada 1985, Kevin Barlow dan Brian Chambers juga dijatuhi hukuman mati di Pengadilan Tinggi Pulau Pinang. Juli tahun lalu mereka digantung, setelah MA dan Lembaga Pengampunan (Gubernur) Pulau Pinang menolak permohonan grasi mereka. Laporan Ekram H. Attamimi & Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini