BUKU AIDS and Its Metaphor, yang ditulis oleh eseis Amerika kenamaan, Susan Sontag, telah menyentak kita. Kita, tulis Sontag dalam buku yang baru saja terbit itu, telah terlanda histeria AIDS karena menganggap penyakit yang merusak sistem pertahanan tubuh ini sebagai sebuah kutukan. "Masyarakat memang selalu memerlukan suatu penyakit menakutkan yang bisa diidentifikasikan dengan kebatilan," kata Sontag. Kini, tulisnya lebih lanjut dalam buku itu, kita menemukan AIDS untuk membangkitkan semangat berperang membela kebaikan. Namun, pertempuran itu diwarnai serentetan kekalahan karena ternyata sulit menaklukkan serbuan pasukan virus AIDS. Lalu kekalahan ini melahirkan ketakutan dramatik, terutama pada penderita penyakit tersebut. Metafora yang lahir dari paranoia potitik ini, kata Sontag, membuat kita berusaha keras mencari pangkal bencana. Dan tidak sulit menemukan kambing hitam. "Pecandu narkotik dan kaum homoseks, kelompok yang mempunyai risiko tinggi terkena AIDS, sudah lama memunyai status pariah dalam masyarakat," tambahnya. "Kita pun mendapat alasan kuat, dalam metafora itu, untuk menghukum penderita AIDS, yang belakangan tidak lagi dibedakan apakah homoseksual, morfinis, atau bukan." Buku AIDS and Its Metaphor adalah sebuah pembelaan bagi "kaum terhukum" itu. Buku ini, kata Sontag, yang di Amerika Serikat dikenal sebagai intelektual independen itu, "Sebuah kesaksian bagaimana penderita AIDS menghadapi kematian dalam rasa sedih yang sangat dalam." Panik dan rasa berdosa, lanjut Sontag, membuat penderita AIDS putus asa. Sejumlah besar dari mereka memilih euthanasia (mempercepat kematian) -- dan banyak dokter, lantaran iba, meluluskan permintaan tersebut. Sisanya memilih sikap diam dalam menunggu kematian. Mereka menyimpan semua kegelisahan dan tak mau membuka mulut. Henzi Patrick Franzois Peter adalah seorang di antara sedikit penderita AIDS yang mau bicara. Ia sudah empat bulan berada di Bali, namun menginap di kamar tahanan. Patrick ditangkap atas tuduhan membawa hasyis seberat 43 gram, dan kasusnya kini sedang diproses kejaksaan. Kendati nampak menderita dalam tahanan, pekan lalu Patrick, yang berkebangsaan Swiss itu, mengutarakan perasaannya sebagai penderita AIDS kepada wartawan TEMPO Joko Daryanto di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar. Berikut ini petikan penderitaan yang dituturkan Patrick: "Waktu pertama kali saya mengetahui terkena AIDS, rasanya tidak percaya," katanya. "Tapi setelah beberapa lama, saya bisa menerima keadaan ini." Dengan nada bicara yang lemah, Patrick, yang diserang rasa putus asa, menambahkan bahwa ia tidak lagi mengharapkan kesembuhan. Ia cuma menunggu bagaimana bencana ini nantinya berakhir. Ketika ditanya apakah ada rasa bersalah padanya sebagai penderita, ia dengan tegas menjawab, "Tidak." Yang memukul perasaannya adalah orang-orang di sekitarnya menjauhi dirinya karena takut terjangkit. "Saya merasa dijauhi dan disisihkan oleh masyarakat." Tapi sekarang, tambah Patrick, sikap masyarakat terhadap penderita AIDS di negerinya sudah banyak berubah. "Teman dekat saya mulai bersikap biasa." Patrick, yang mengaku bukan seorang homoseksual, tidak tahu persis di mana ia terjangkit virus AIDS. Ia menduga dirinya tertular di India. "Tahun 1987 saya berlibur ke sana, dan saya mendapat kolera. Ketika dirawat di rumah sakit, ia terpaksa diinfus. Kondisi yang buruk dan kurangnya pemeliharaan kebersihan di rumah sakit di India memang memungkinkan penyakit apa pun berjangkit. Termasuk AIDS. Namun, kemungkinan tertular dari sumber lain masih terbuka, karena baru setahun kemudian Patrick ketahuan mengidap AIDS. "April 1988, saya menjalani pemeriksaan rutin, tuturnya, "Dan ketika itu pemeriksaan darah saya menunjukkan seropositif." Pemeriksaan lebih lanjut yang dilakukan di Tonal Universitaire Geneva memastikan bahwa dalam darah Patrick virus HIV telah berkembang biak. Tanda-tanda klinis yang menunjukkan virus itu telah merusak sistem pertahanan tubuh belum ada. Karena itu, tak seorang pun bisa meramalkan berapa lama Patrick bisa bertahan. "Tapi saya dengar-dengar, umur saya tinggal enam tahun lagi," katanya. Meski sehari-hari dilanda kemurungan dan ketakutan, Patrick mencoba melawan penyakit itu dengan berusaha melupakannya. "Saya ingin mengisi sisa hidup saya dengan kegembiraan," kata penderita AIDS yang ahli komputer itu, "tapi sekarang saya terperangkap di sini." Patrick mendarat di Denpasar pada 23 Februari lalu. Tak sampai dua minggu ia menikmati liburannya, ia ditangkap di Legian, Kuta. Ketika itu secara kebetulan polisi sedang mengadakan operasi penggerebekan terhadap penjual maupun pemakai narkotik Patrick tertangkap tangan, "Saya tidak tahu hasyis dilarang di sini." Memang, di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, ganja, mariyuana, dan hasyis bukan lagi barang terlarang. Sejauh ini polisi dan kejaksaan belum percaya Patrick menderita AIDS. Padahal, pemeriksaan dengan ELISA di Denpasar menunjukkan seropositif. Di samping itu, konfirmasi dari Tonal Universitaire Geneva juga sudah didapatkan. Tapi pihak kejaksaan masih menunggu hasil tes konfirmasi dengan metode Western Blot yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Selama di tahanan kondisi Patrick terlihat sangat huruk. Sejak ditahan, berat badannya menyusut 4 kilo. Di hidungnya terlihat bekas-bekas darah. Ia mengaku sering mimisan karena tidak tahan panas. Matanya juga nampak merah dan bengkak, khususnya ketika batuk-batuk. "Sudah setahun ini saya batuk, dan susah sembuh," katanya. Namun, hasil pemeriksaan ronsen yang dilakukan tim penanggulangan AIDS Bali menunjukkan paru-paru Patrick masih bersih. "Saya takut keadaan ini akan memperpendek umur saya," katanya. Karena itu Patrick, melalui pengacaranya, menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk minta pengampunan. "Saya sangat berharap bisa dipulangkan," katanya. "Ini barangkali satu-satunya jalan untuk bisa memperpanjang masa hidup saya yang pendek." Rasa pesimistis yang putus asa ini adalah ciri khas penderita AIDS. Masyarakat, kata Sontag, merenggut harapan yang sebenarnya masih ada.Jim Supangkat (Jakarta), Joko Daryanto (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini