POLISI Yogyakarta sibuk. Beberapa pengusaha, sejak pertengahan Februari hingga pekan lalu ramai-ramai melapor ke Kowil 96 di Jalan Malioboro. Mereka kena tipu. Mula-mula datang pimpinan PT Primissima Cambric yang kebobolan Rp 50 juta. Menyusul toko
WarnaWarni dan Isami Motor, masing-masing dirugikan Rp 35 juta. Ditambah beberapa toko lagi yang kebobolan antara Rp 1,5 juta hingga Rp 10 juta. Belum dihitung berbagai pengusaha dari luar Yogya, seperti dari Tegal dan Sala. Semua meliputi jumlah hampir Rp 200 juta.
Sampai sekarang kalangan Kodak IX Jawa Tengah belum dapat mengungkapkan kasus ini secara jelas, karena dua orang pelakunya masih buron. "Ini mungkin penipuan terbesar di awal 1983," ujar seorang perwira polisi Jawa Tengah di Semarang. Tapi berdasarkan berbagai laporan itu, 18 Februari lalu, Capa Pol Sudiyono memimpin penggerebekan terhadap dua buah perusahaan yang dilaporkan melakukan serentetan penipuan tersebut: PT Karta Baya di Jalan Pierre Tendean dan PT Aneka Garment di Jalan Janti. Tapi kantor PT Karta Baya kosong. Di sana cuma ada Ny.
Pedro Sudjono, pemilik rumah yang dikontrak Rp 900 ribu setahun
oleh perusahaan tersebut. "Itu pun yang Rp 500 ribu dipinjam
oleh Sungkono," katanya.
Sungkono, disebut-sebut sebagai direktur PT Karta Baya. Orang
ini juga membuat sedih Ny. Pedro, sebab tidak membayar rekening
telepon selama dua bulan, meliputi jutaan rupiah. "Sekarang
telepon saya diisolasi," tambah Ny. Pedro yang tidak tahu persis
bentuk usaha Sungkono. "Sunkono menerima mesin tulis sampai
meja kursi. Barang-barang tersebut belum sampai dibongkar sudah
dikirim entah kemana. Pendeknya misterius," tutur Ny. Pedro
lagi.
Keesokan harinya Capa Pol Sudiyono bergerak lagi. Kali ini
menggebrak tiga perusahaan yang diduga merupakan cabang dari dua
perusahaan tersebut, masing-masing CV Klasiko, PT Enggal Makmur
dan.PT Hertina. Dari ketiga perusahaan itu disita puluhan karung
bertuliskan 'beras', sejumlah mesin jahit baru, alat-alat tulis
dan beberapa sepeda motor bernornor plat Jakarta. Karung 'beras'
itu, setelah dibuka ternyata berisi sekam padi. Pihak kepolisian
menduga semua ini hanya untuk kedok belaka.
Perusahaan-perusahaan itu ternyata tidak punya karyawan tetap.
Hanya CV Klasiko yang mempunyai seorang sekretaris yang baru
bekerja dua minggu. Ketika sang se retaris dibawa ke kantor
polisi, ia mengaku tidak tahu apa-apa, gaJinya pun belum pernah
dibayar. Para pengusaha yang menjadi korban mengatakan pernah
didatani Sungkono yang mengaku sebagai direktur PT Karta Baya
untuk urusan bisnis. Orang yang pandai bercakap ini selalu
mengenakan dasi dan kaca mata hitam, dan selalu meninggalkan
fotokopi KTP dan kartu nama.
KTP itu dikeluarkan Kecamatan Keraton Yogyakarta. Tapi sumber
kepolisian menyatakan alamat yang tertera pada KTP tersebut,
yaitu Jalan Ngasem 8, tidak ada orang yang bernama Sungkono.
Kepada para korbannya Sungkono Juga sering menyatakan punya 4
buah rumah di Yogyakarta. Tapi setelah dicek oleh polisi,
keempat rumah tersebut hanya dikontraknya masing-masing untuk
1/2 tahun sejak Desember 1982 - bertepatan dengan berdirinya PT
Karta Baya.
Salah seorang pemilik rumah di Kadipaten Kulon, yang rumahnya
disewa Sungkono, bercerita, seJak sang direktur menyewa rumahnya
jarang sekali tidur di rumah tersebut. Menurut hasil pelacakan
pihak kepolisian, Sungkono memang tidak pernah menempati
rumah-rumah yang disewanya. "Ia tidur dari losmen ke losmen
kecil yang tidak terkenal. Barangkali untuk menghindari
penangkapan," ungkap seorang petugas polisi bagian reserse di
Yogya.
Tenyata Sungkono tidak sendirian. Ia berkomplot dengan Welly
Susanto yang mengaku sebagai direktur Aneka Garment. Tapi pada
alamat Jalan Janti 47 Karangjambe yang tercantum pada KTP yang
(seolah-olah) dikeluarkan Pemda Bantul, ternyata juga tidak ada
orang yang bernama Welly Susanto.
Sungkono yang berperawakan sedikit gemuk, selalu mendatangi para
calon korbannya dengan mobil. "Bicaranya selalu diselipi
kata-kata Inggris," tutur Nauval, salah seorang korban. Sungkono
juga senng menyebut beberapa nama peJabat. "Mana mungkin saya
tidak percaya kalau sudah menyebut nama pejabat?" kata Nauval
lagi sembari nyengir. Sungkono mengutang seJumlah alat-alat
tulis di toko Nauval seharga Rp 15 juta, dengan uang panjar Rp 5
juta. Selebihnya Sungkono memberi cek mundur atas nama Bank
Niaga. Ketika Nauval mengecek ke Bank Niaga, masih ada dana
Sungkono di sana.
Keesokan harinya datang Welly Susanto, yang juga mau mengebon
barang. Kebetulan barang yang dipesan Nauval belum datang.
Karena Nauval juga sudah mendengar berita penipuan yang menimpa
Primissima Cambric, ia juga mulai curiga sebab setiap kali
menelepon Sungkono selalu dijawab tidak ada. Kecurigaan itu
bertambah setelah melihat kartu nama Sungkono dan.Welly. Jenis
kertas kedua KTP itu tipis mengkilat, dengan huruf hitam timbul,
sama persis. Nauval semakin gelagapan ketika esok harinya ia
menguangkan cek dari Sungkono. "Tuan Sungkono sudah mengambil
semua uangnya sebanyak Rp 3,5 juta," jawab seorang petugas Bank
Niaga.
Cerita pemilik toko mobil PD Sasami Motor di Sala, Agus
Budianto, hampir sama dengan kisah yang dialami Nauval.
Mula-mula Welly Susanto datang dan tertarik melihat mobil sedan
Mazda tahun 1982 dengan nomor sementara E 2892 XA seharga Rp
13,1 juta. Ia setuju membelinya dengan panjar Rp 1 juta,
selebihnya dibayar dengan giro bilyet. Lima hari kemudian Welly
datang lagi bersama "oom"-nya, Sungkono. Si Oom pun bermaksud
membeli mobil Holden Gemini tahun 1982 bernomor sementara E 2895
XA seharga Rp 13 juta. Cara pembayaran persis seperti Welly.
Sesuai petunjuk Sungkono, Agus pun menguangkan giro bilyet dan
ceknya ke PT Bank Agung Asia, Sala. Ternyata nama kedua pem eli
tersebut tidak terdapat di sana. Agus yang berusaha mengecek ke
alamat yang tercantum pada fotokopi kedua KTP "cukong" itu juga
sia-sia. "Orangnya benar-benar meyakinkan. Setiap datang pakai
dasi," kata Agus yang masih terheran-heran. Sampai pekan lalu
polisi Ja-Teng dan DIY belum berhasil menangkap kedua "jutawan"
itu.
Gaya penipuan di Medan lain lagi. Adalah seorang pegawai sipil
sebuah instansi militer, bernama Manondang Efendi Manurung, 49
tahun. Gajinya Rp 40 ribu sebulan. Mungkin karena penghasilannya
tak cukup untuk menghidupi istri dan sembilan anaknya, ia pun
memutar akal. Akhir tahun lalu didirikannya sebuah perusahaan,
PT Parade Corporation, dan dialah yang jadi dirutnya. Perusahaan
yang katanya bergerak di bidang kontraktor dan perdagangan umum
itu membuka kantor di Jalan Glugur By Pass, Medan.
Suatu hari lewat sebuah pengumuman ia menyatakan akan merekrut
sekitar 1.500 orang untuk dijadikan semacam sales man, dengan
syarat setiap orang mesti membayar "uang titipan" Rp 100 ribu.
Tiga bulan setelah mereka bekerja, begitu kata pengumuman
tersebut, uang panjar itu akan dikembalikan. Tapi sampai
pertengahan Januari lalu sang dirut menghilang entah ke mana.
Dan kelanjutan pengumuman itu pun tak ada kabar beritanya lagi.
Karena kesal dan merasa ditipu, sekita 1.000 orang pelamar 18
Januari lalu mengamuk, merusak kantor dan meja kursi perusahaan
Manurung. "Mana Manurung. Biar kami bunuh bangsat penipu itu,"
teriak mereka. Untung polisi dapat meredakan kemarahan massa
itu. Polisi pun segera menghubungi pengacara Manurung sambil
menggertak: "Lebih baik Manurung menyerahkan diri daripada jadi
bangkai di tepi selokan." Dan 1 Februari, sang pengacara pun
mengantarkan kliennya ke kantor polisi.
Menurut pengakuan sang dirut, 1.500 calon pegawai yang
direkrutnya itu akan dipekerjakan di belasan cabang yang katanya
sudah terbentuk di beberapa tempat di Sumatera Utara. Antara
lain untuk menawarkan sepeda motor Honda dengan pembelian secara
kredit, dengan uang muka Rp 240 ribu. Tapi ternyata, katanya,
sepeda motor yang dimaksudkan itu tak pernah ada. Sebagian calon
pegawai yang sempat bekerja di kantornya ternyata juga belum
pernah menerima gaji.
Ternyata "uang titipan" yang diterimanya dari 500 calon pegawai
itu, telah digunakan Manurung yang berpendidikan SMA itu, untuk
membeli tujuh buah mobil baru. "Kalau dikumpulkan, hasil
penipuan Manurung mencapai satu milyar rupiah," kata Dan
Satserse Komtabes Medan, Kapten Paimin A.B. Tapi sampai minggu
lalu polisi baru bisa membuktikan jumlah kerugian sebanyak Rp
154 juta. Manurung memang mengakui kesalahannya. Tapi di tempat
tahanan ia sempat berkata: "Setelah kejadian itu paling tidak
saya sempat hidup mewah dan naik mobil."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini