Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Penipuan direktur berdasi

Penipuan gaya baru terjadi di yogya dan medan, dengan modal kartu nama dan KTP palsu, mereka berhasil menyikat barang dan uang ratusan juta rupiah, mengaku sebagai direktur dari sebuah pt (fiktif). (krim)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI Yogyakarta sibuk. Beberapa pengusaha, sejak pertengahan Februari hingga pekan lalu ramai-ramai melapor ke Kowil 96 di Jalan Malioboro. Mereka kena tipu. Mula-mula datang pimpinan PT Primissima Cambric yang kebobolan Rp 50 juta. Menyusul toko WarnaWarni dan Isami Motor, masing-masing dirugikan Rp 35 juta. Ditambah beberapa toko lagi yang kebobolan antara Rp 1,5 juta hingga Rp 10 juta. Belum dihitung berbagai pengusaha dari luar Yogya, seperti dari Tegal dan Sala. Semua meliputi jumlah hampir Rp 200 juta. Sampai sekarang kalangan Kodak IX Jawa Tengah belum dapat mengungkapkan kasus ini secara jelas, karena dua orang pelakunya masih buron. "Ini mungkin penipuan terbesar di awal 1983," ujar seorang perwira polisi Jawa Tengah di Semarang. Tapi berdasarkan berbagai laporan itu, 18 Februari lalu, Capa Pol Sudiyono memimpin penggerebekan terhadap dua buah perusahaan yang dilaporkan melakukan serentetan penipuan tersebut: PT Karta Baya di Jalan Pierre Tendean dan PT Aneka Garment di Jalan Janti. Tapi kantor PT Karta Baya kosong. Di sana cuma ada Ny. Pedro Sudjono, pemilik rumah yang dikontrak Rp 900 ribu setahun oleh perusahaan tersebut. "Itu pun yang Rp 500 ribu dipinjam oleh Sungkono," katanya. Sungkono, disebut-sebut sebagai direktur PT Karta Baya. Orang ini juga membuat sedih Ny. Pedro, sebab tidak membayar rekening telepon selama dua bulan, meliputi jutaan rupiah. "Sekarang telepon saya diisolasi," tambah Ny. Pedro yang tidak tahu persis bentuk usaha Sungkono. "Sunkono menerima mesin tulis sampai meja kursi. Barang-barang tersebut belum sampai dibongkar sudah dikirim entah kemana. Pendeknya misterius," tutur Ny. Pedro lagi. Keesokan harinya Capa Pol Sudiyono bergerak lagi. Kali ini menggebrak tiga perusahaan yang diduga merupakan cabang dari dua perusahaan tersebut, masing-masing CV Klasiko, PT Enggal Makmur dan.PT Hertina. Dari ketiga perusahaan itu disita puluhan karung bertuliskan 'beras', sejumlah mesin jahit baru, alat-alat tulis dan beberapa sepeda motor bernornor plat Jakarta. Karung 'beras' itu, setelah dibuka ternyata berisi sekam padi. Pihak kepolisian menduga semua ini hanya untuk kedok belaka. Perusahaan-perusahaan itu ternyata tidak punya karyawan tetap. Hanya CV Klasiko yang mempunyai seorang sekretaris yang baru bekerja dua minggu. Ketika sang se retaris dibawa ke kantor polisi, ia mengaku tidak tahu apa-apa, gaJinya pun belum pernah dibayar. Para pengusaha yang menjadi korban mengatakan pernah didatani Sungkono yang mengaku sebagai direktur PT Karta Baya untuk urusan bisnis. Orang yang pandai bercakap ini selalu mengenakan dasi dan kaca mata hitam, dan selalu meninggalkan fotokopi KTP dan kartu nama. KTP itu dikeluarkan Kecamatan Keraton Yogyakarta. Tapi sumber kepolisian menyatakan alamat yang tertera pada KTP tersebut, yaitu Jalan Ngasem 8, tidak ada orang yang bernama Sungkono. Kepada para korbannya Sungkono Juga sering menyatakan punya 4 buah rumah di Yogyakarta. Tapi setelah dicek oleh polisi, keempat rumah tersebut hanya dikontraknya masing-masing untuk 1/2 tahun sejak Desember 1982 - bertepatan dengan berdirinya PT Karta Baya. Salah seorang pemilik rumah di Kadipaten Kulon, yang rumahnya disewa Sungkono, bercerita, seJak sang direktur menyewa rumahnya jarang sekali tidur di rumah tersebut. Menurut hasil pelacakan pihak kepolisian, Sungkono memang tidak pernah menempati rumah-rumah yang disewanya. "Ia tidur dari losmen ke losmen kecil yang tidak terkenal. Barangkali untuk menghindari penangkapan," ungkap seorang petugas polisi bagian reserse di Yogya. Tenyata Sungkono tidak sendirian. Ia berkomplot dengan Welly Susanto yang mengaku sebagai direktur Aneka Garment. Tapi pada alamat Jalan Janti 47 Karangjambe yang tercantum pada KTP yang (seolah-olah) dikeluarkan Pemda Bantul, ternyata juga tidak ada orang yang bernama Welly Susanto. Sungkono yang berperawakan sedikit gemuk, selalu mendatangi para calon korbannya dengan mobil. "Bicaranya selalu diselipi kata-kata Inggris," tutur Nauval, salah seorang korban. Sungkono juga senng menyebut beberapa nama peJabat. "Mana mungkin saya tidak percaya kalau sudah menyebut nama pejabat?" kata Nauval lagi sembari nyengir. Sungkono mengutang seJumlah alat-alat tulis di toko Nauval seharga Rp 15 juta, dengan uang panjar Rp 5 juta. Selebihnya Sungkono memberi cek mundur atas nama Bank Niaga. Ketika Nauval mengecek ke Bank Niaga, masih ada dana Sungkono di sana. Keesokan harinya datang Welly Susanto, yang juga mau mengebon barang. Kebetulan barang yang dipesan Nauval belum datang. Karena Nauval juga sudah mendengar berita penipuan yang menimpa Primissima Cambric, ia juga mulai curiga sebab setiap kali menelepon Sungkono selalu dijawab tidak ada. Kecurigaan itu bertambah setelah melihat kartu nama Sungkono dan.Welly. Jenis kertas kedua KTP itu tipis mengkilat, dengan huruf hitam timbul, sama persis. Nauval semakin gelagapan ketika esok harinya ia menguangkan cek dari Sungkono. "Tuan Sungkono sudah mengambil semua uangnya sebanyak Rp 3,5 juta," jawab seorang petugas Bank Niaga. Cerita pemilik toko mobil PD Sasami Motor di Sala, Agus Budianto, hampir sama dengan kisah yang dialami Nauval. Mula-mula Welly Susanto datang dan tertarik melihat mobil sedan Mazda tahun 1982 dengan nomor sementara E 2892 XA seharga Rp 13,1 juta. Ia setuju membelinya dengan panjar Rp 1 juta, selebihnya dibayar dengan giro bilyet. Lima hari kemudian Welly datang lagi bersama "oom"-nya, Sungkono. Si Oom pun bermaksud membeli mobil Holden Gemini tahun 1982 bernomor sementara E 2895 XA seharga Rp 13 juta. Cara pembayaran persis seperti Welly. Sesuai petunjuk Sungkono, Agus pun menguangkan giro bilyet dan ceknya ke PT Bank Agung Asia, Sala. Ternyata nama kedua pem eli tersebut tidak terdapat di sana. Agus yang berusaha mengecek ke alamat yang tercantum pada fotokopi kedua KTP "cukong" itu juga sia-sia. "Orangnya benar-benar meyakinkan. Setiap datang pakai dasi," kata Agus yang masih terheran-heran. Sampai pekan lalu polisi Ja-Teng dan DIY belum berhasil menangkap kedua "jutawan" itu. Gaya penipuan di Medan lain lagi. Adalah seorang pegawai sipil sebuah instansi militer, bernama Manondang Efendi Manurung, 49 tahun. Gajinya Rp 40 ribu sebulan. Mungkin karena penghasilannya tak cukup untuk menghidupi istri dan sembilan anaknya, ia pun memutar akal. Akhir tahun lalu didirikannya sebuah perusahaan, PT Parade Corporation, dan dialah yang jadi dirutnya. Perusahaan yang katanya bergerak di bidang kontraktor dan perdagangan umum itu membuka kantor di Jalan Glugur By Pass, Medan. Suatu hari lewat sebuah pengumuman ia menyatakan akan merekrut sekitar 1.500 orang untuk dijadikan semacam sales man, dengan syarat setiap orang mesti membayar "uang titipan" Rp 100 ribu. Tiga bulan setelah mereka bekerja, begitu kata pengumuman tersebut, uang panjar itu akan dikembalikan. Tapi sampai pertengahan Januari lalu sang dirut menghilang entah ke mana. Dan kelanjutan pengumuman itu pun tak ada kabar beritanya lagi. Karena kesal dan merasa ditipu, sekita 1.000 orang pelamar 18 Januari lalu mengamuk, merusak kantor dan meja kursi perusahaan Manurung. "Mana Manurung. Biar kami bunuh bangsat penipu itu," teriak mereka. Untung polisi dapat meredakan kemarahan massa itu. Polisi pun segera menghubungi pengacara Manurung sambil menggertak: "Lebih baik Manurung menyerahkan diri daripada jadi bangkai di tepi selokan." Dan 1 Februari, sang pengacara pun mengantarkan kliennya ke kantor polisi. Menurut pengakuan sang dirut, 1.500 calon pegawai yang direkrutnya itu akan dipekerjakan di belasan cabang yang katanya sudah terbentuk di beberapa tempat di Sumatera Utara. Antara lain untuk menawarkan sepeda motor Honda dengan pembelian secara kredit, dengan uang muka Rp 240 ribu. Tapi ternyata, katanya, sepeda motor yang dimaksudkan itu tak pernah ada. Sebagian calon pegawai yang sempat bekerja di kantornya ternyata juga belum pernah menerima gaji. Ternyata "uang titipan" yang diterimanya dari 500 calon pegawai itu, telah digunakan Manurung yang berpendidikan SMA itu, untuk membeli tujuh buah mobil baru. "Kalau dikumpulkan, hasil penipuan Manurung mencapai satu milyar rupiah," kata Dan Satserse Komtabes Medan, Kapten Paimin A.B. Tapi sampai minggu lalu polisi baru bisa membuktikan jumlah kerugian sebanyak Rp 154 juta. Manurung memang mengakui kesalahannya. Tapi di tempat tahanan ia sempat berkata: "Setelah kejadian itu paling tidak saya sempat hidup mewah dan naik mobil."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus