Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim Puji Tak Pesta Sendiri

Mahkamah Agung menolak usul Komisi Yudisial agar menggelar sidang Majelis Kehormatan Hakim untuk hakim Puji, yang terjerat perkara narkoba. Dianggap pintu masuk membongkar keterlibatan sejumlah anggota staf MA dan hakim lain.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikirim kepada Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali pada 3 Januari lalu, surat kedua yang dilayangkan Komisi Yudisial itu belum kunjung membuahkan jawaban. Sampai akhir pekan lalu, Mahkamah belum membalas surat yang diteken Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh itu. Terdiri atas dua halaman, surat itu berisi tanggapan Komisi atas sikap Mahkamah menolak usul sidang Majelis Kehormatan Hakim untuk hakim Puji Wijayanto, yang tengah terbelit perkara narkoba.

Usul sidang kehormatan dilontarkan setelah Komisi Yudisial menggelar rapat pleno pada 19 November tahun lalu. Dalam rapat, pimpinan komisi penjaga martabat dan keluhuran hakim ini sepakat hakim Puji terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Pimpinan Komisi memutuskan Puji pantas diganjar sanksi berat berupa pemberhentian tidak hormat alias dipecat. "Putusan itu sudah melalui proses pembuktian yang ketat," kata Imam Anshori Saleh kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Karena mekanisme penjatuhan sanksi harus melalui sidang Majelis Kehormatan Hakim, pada akhir November lalu Komisi mengirimkan surat kepada Ketua MA Hatta Ali agar mau menggelar sidang kehormatan untuk hakim Puji. Sebulan kemudian, Mahkamah Agung merespons. Dalam surat yang diteken Ketua Muda Pengawasan Timur P. Manurung, MA menolak usul itu.

MA beralasan sudah memberhentikan sementara Puji sejak ia ditangkap Badan Narkotika Nasional. MA menilai tak perlu lagi sidang Majelis Kehormatan Hakim untuk Puji karena hal yang sama pernah diberlakukan kepada sejumlah hakim lain yang tersandung persoalan hukum (lihat "Lolos dari Sidang Kehormatan").

Tak terima dengan jawaban MA, Komisi membuat surat balasan. Di dalamnya Komisi berkukuh sidang kehormatan hakim untuk Puji harus digelar. Pemberhentian sementara dinilai bukan tergolong sanksi. "Apalagi hakim Puji terbukti melanggar etika berat," ujar Imam.

Puji ditangkap Badan Narkotika Nasional ketika tengah berpesta narkoba bersama dua temannya dari Papua di kamar 331 Diskotek Illigals, Jakarta Pusat, pada 16 Oktober tahun lalu. Bersama mereka juga ditangkap empat wanita penghibur. Setelah digelandang dan dites urine, hakim Pengadilan Negeri Bekasi itu positif memakai narkoba. Sejak itu, dia berstatus tersangka dan langsung ditahan di Rumah Tahanan BNN. Saat menggerebek Puji, petugas BNN menemukan 15 butir ekstasi dan 0,4 gram sabu. Puji merogoh kocek Rp 22 juta untuk pesta narkoba pada malam itu.

Puji masuk "radar" BNN sejak dua bulan sebelum ditangkap. Menurut Kepala Hubungan Masyarakat BNN Sumirat Dwiyanto, awalnya ada laporan kepada BNN yang memberitahukan bekas Ketua Pengadilan Negeri Sabang, Aceh, ini gemar mengkonsumsi narkoba. Puji juga bukan nama asing bagi Komisi Yudisial. Namanya kerap lalu-lalang ke meja pengaduan Komisi. Sejak 2011, ada lima laporan terkait dengan Puji ke Komisi Yudisial. Dua di antaranya menyangkut tuduhan Puji kerap mengkonsumsi narkoba.

Penangkapan Puji oleh BNN menjadi pintu masuk bagi Komisi dalam menelusuri laporan pengaduan bahwa Puji kerap mengkonsumsi narkoba. Setelah terjun ke lapangan untuk memverifikasi data, mewawancarai sejumlah sumber, dan mengklarifikasi tuduhan itu ke Puji, Komisi menyimpulkan Puji terbukti beberapa kali mengkonsumsi barang-barang "setan" tersebut. Kepada Komisi, Puji mengaku memang pecandu narkoba.

Menurut sumber Tempo, ketika diperiksa Komisi Yudisial di kantor Badan Narkotika Nasional pada awal November lalu, Puji menyebut sejumlah hakim dan koleganya di MA pernah beberapa kali mengkonsumsi narkoba bareng-bareng dengannya. Berikut ini dialognya.

Nyanyian Puji ini menjadi salah satu alasan Komisi Yudisial ngotot meminta sidang Majelis Kehormatan Hakim. Selain menjadi ruang pembelaan diri bagi pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 20 Oktober 1964, itu, sidang kehormatan bisa dimanfaatkan Komisi untuk memaksa Puji membongkar siapa saja hakim yang pernah menggelar pesta narkoba bersamanya. Hakim yang kerap mengkonsumsi narkoba, menurut Ketua Bidang Investigasi dan Pengawasan Hakim Komisi Suparman Marzuki, cenderung menjadi bagian rantai mafia narkoba di pengadilan. "Puji itu salah satu contohnya," katanya.

Tak hanya menjadi kepanjangan tangan untuk mengedarkan narkoba, hakim dan staf pengadilan, ujar Suparman, juga menjadi rantai mafia perkara jaringan narkoba yang disidang di pengadilan itu. Puji, misalnya, mengaku selalu menjatuhkan hukuman ringan bagi pemakai narkoba yang perkaranya ia tangani. Hal yang sama, menurut Suparman, pun terjadi di Mahkamah Agung. Ia menduga banyaknya diskon hukuman mati, bahkan vonis bebas di MA, untuk bandar besar narkoba menjadi indikasi adanya rantai mafia narkoba di sana. "Pasti ada pintu masuknya," katanya.

Seorang sumber di Badan Narkotika Nasional mengatakan, selain mengungkap nama-nama hakim dan staf MA kepada Komisi Yudisial, kepada penyidik BNN, Puji beberapa kali menyebut seseorang berinisial M yang kerap berpesta narkoba dengannya. Orang ini, menurut sumber Tempo, punya akses ke hakim agung yang sering menangani perkara narkoba. "BNN terus memantau gerak-gerik orang ini. Nunggu dia mengkonsumsi," ucap sumber itu.

Direktur Penindakan dan Pengejaran BNN Benny Mamoto pernah membenarkan adanya staf MA yang memang tengah dipantau BNN. Namun ia tak mau menyebut namanya. Sedangkan Sumirat mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti setiap pengakuan Puji, khususnya ketika pria itu diperiksa Komisi Yudisial dan menyebut sejumlah nama hakim. Namun pengakuan itu, menurut dia, baru sebatas petunjuk.

Pekan depan, Sumirat mengatakan, berkas Puji akan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan. Dia berharap Puji bisa mengungkap nama-nama hakim dan staf MA yang kerap berpesta narkoba dengannya. "Karena kami bertindak berdasarkan barang bukti," katanya.

Mahkamah Agung sebenarnya tersengat oleh pengakuan Puji ke Komisi Yudisial bahwa ia pernah berpesta narkoba dengan hakim lain dan sejumlah anggota staf MA. Ketua MA Hatta Ali kemudian menugasi­ tiga hakim pengawasan memeriksa Puji di BNN, awal November lalu. Tapi, kepada mereka, Puji memberikan keterangan berbeda. "Dia mengaku tak pernah mengatakan soal itu ke Komisi Yudisial," ujar Setyawan, salah satu hakim yang memeriksa Puji.

Hatta berjanji tak akan melindungi hakim yang gemar mengkonsumsi narkoba. Soal usul membawa Puji ke Majelis Kehormatan Hakim, Hatta menganggap sidang itu tidak perlu. Puji, menurut dia, pasti dipecat jika di pengadilan terbukti memakai narkoba. "Sejak ditangkap, ia juga sudah diberhentikan sementara," katanya.

Menurut Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Ridwan Mansyur, untuk membongkar siapa saja hakim dan staf MA yang pernah berpesta narkoba dengan Puji tak perlu melalui sidang Majelis Kehormatan Hakim. Dia mengatakan pimpinan MA mempersilakan Puji membongkar itu di persidangan perkara pidananya. Pimpinan MA, ujar Ridwan, selektif membawa kasus ke sidang Majelis Kehormatan Hakim. "Sidang kehormatan itu sakral, jangan jadi murahan," katanya.

Penolakan MA atas permintaan sidang Majelis Kehormatan Hakim untuk Puji mengundang kritik Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI). Menurut Koordinator MaPPI Choky Risda Ramadan, sidang kehormatan bisa menjadi ajang bagi Puji membongkar nama lain yang kerap berpesta narkoba dengannya. Alasan penolakan bahwa Puji sudah diberhentikan sementara, ujar dia, tidak rasional. "Kalau pemberhentian sementara itu dia masih jadi hakim tapi untuk sementara diberhentikan dari tugas-tugasnya," katanya.

Anton Aprianto, Fransisco Rosarians


Lolos dari Sidang Kehormatan

SEJUMLAH hakim yang terbelit perkara pidana kerap lolos dari sidang Majelis Kehormatan Hakim yang diusulkan Komisi Yudisial. Mereka baru dipecat setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Mahkamah Agung beralasan hakim yang terbelit pidana secara otomatis diberhentikan sementara tanpa perlu lagi dihadapkan pada sidang kehormatan. Inilah para hakim yang tersandung pidana tapi lolos dari sidang Majelis Kehormatan Hakim.

Syarifuddin Umar

  • Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
  • Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 1 Juni 2011 karena kedapatan menerima suap senilai Rp 250 juta dalam perkara kepailitan PT Sky Camping Indonesia yang ia tangani sejak 2007.
  • Divonis empat tahun penjara sampai tingkat kasasi. MA baru memecat Syarifuddin tak lama setelah putusan kasasi diketuk pada Akhir 2012.

    Imas Dianasari

  • Hakim ad hoc Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Bandung.
  • Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 30 Juni 2011 karena kedapatan menerima suap dari Manajer PT Odamba Indonesia Odih Djuanda senilai Rp 352 juta. Imas menjanjikan membantu "mengurus" perkara Odamba di Mahkamah Agung.
  • Divonis empat tahun penjara sampai tingkat kasasi. Tak lama kemudian ia dipecat sebagai hakim.

    Ibrahim

  • Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
  • Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 30 Maret 2010 karena menerima suap Rp 300 juta dari pengacara Adner Sirait untuk memenangkan perkara kliennya yang ditangani Ibrahim.
  • Dinyatakan bersalah sampai tingkat kasasi dan dihukum tiga tahun penjara. Tak lama kemudian Ibrahim dipecat.

    Muhtadi Asnun

  • Hakim Pengadilan Negeri Tangerang.
  • Ditangkap Markas Besar Kepolisian RI pada Mei 2010 karena menerima suap dari Gayus Tambunan agar ia divonis bebas dalam perkara pajak yang membelitnya. Ketika itu, Asnun adalah ketua majelis perkara Gayus.
  • Divonis bersalah dua tahun sampai inkracht di tingkat banding. Setelah itu, MA baru memecat Asnun.

    Kartini Juliana Magdalena Marpaung

  • Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang.
  • Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 Agustus 2012 karena menerima suap dari hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak, Heru Kisbandono, yang menjadi makelar untuk perkara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Grobogan M. Yaeni.
  • Baru diberhentikan sementara. Perkaranya kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Semarang.

    Heru Kisbandono

  • Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pontianak.
  • Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 Agustus 2012 karena menjadi makelar untuk perkara Ketua DPRD Grobogan M. Yaeni.
  • Baru diberhentikan sementara. Perkaranya kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Semarang.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus