SARJANA IAIN (Institut Agama Islam Negeri) itu gelagapan. Tak diduganya ia akan memperoleh pertanyaan dari peserta seminar macam Ini: bagaimana sebenarnya keislaman pujangga Jawa Ranggawarsita ditinjau dari Quran. Belum lagi kebingungannya lenyap, datang satu soal lagi. Mana yang terbaik, penerapan kaidah Islam di Arab Saudi, Iran, ataukah Pakistan? Tapi kebingungan sang sarjana itu sebenarnya tidak ada. Harap diketahui, seminar di atas cuma fiktif. Gambaran khayal itu muncul sehubungan dengan harapan Menteri Agama agar lebih banyak lahir ulama plus - harapan yang di lontarkannya sepulang Menteri dari meninjau delapan universitas di Amerika dan Eropa, Oktober lalu. Yakni, ulama yang tak sekadar hafal kitab-kitab, tapi juga yang siap menjawab masalah di lingkungannya, hingga membukakan cakrawala baru. Dan untuk inilah kebijaksanaan baru diterapkan mulai tahun depan: dosen IAIN tak hanya dikirimkan ke universitas di Timur Tengah, tapi juga ke Amerika dan Eropa (lihat Jadilah Iqbal-Iqbal yang Lain). Selasa pekan lalu pihak Bappenas telah menyetujui usul Menteri Agama Munawir Sjadzali untuk membiayai 30 sarjana IAIN yang akan dikirimkan belajar ke Amerika. Bagaikan mendapatkan jalan untuk lepas dari kejenuhan, pihak IAIN menyambut kebijaksanaan ini dengan antusias. Tampaknya, diam-diam Institut ini pun mengakui bahwa kiblat ke Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir - yang selama ini dirasakan cukup - lak lagi memenuhi kebutuhan zaman. "Alumni IAIN belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Achmad Syadali, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. "Biasanya mereka terlalu terikat pada pendapat mazhab, kurang ada keberanian mengkaji sendiri persoalan yang muncul." Sebab, kata Machnun Husein, 40, dosen Bahasa Inggris dan Ilmu Agama IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, kepada Aries Margono dari TEMPO, "Pengkajian ilmu agama di Al Azhar terbatas pada pendalaman latar belakang. Bila kemudian ada pertanyaan apakah hasil kajian itu relevan atau tidak dengan persoalan masa sekarang, Al Azhar tak memberikan bekal guna memecahkannya." Akibatnya bagi IAIN, "Tak mampu memberikan penyegaran dan kebebasan pemikiran," kata Harun Nasution, bekas Rektor IAIN Syarif Hidayatullah. Buktinya, "Di kalangan Islam sekarang masih terdapat kecemasan terhadap akal yang sepintas lalu bertentangan dengan teks Quran." Harun, 76, yang pernah belajar di Fakultas Ushuluddin Al Azhar di tahun 1940-an, menilai pendidikan di Al Azhar lebih menekankan pada "menghafal, tak boleh melawan pendapat dalam buku wajib". Benar, yang diceritakan Harun adalah Al Azhar masa lalu. Tapi, kesan yang sama ternyata masih diperoleh oleh Nurcholish Madjid ketika berkunjung ke sana pada 1968. "Universitas Al Azhar itu mirip pesantren," kata alumnus Pesantren Gontor yang lulus doktor dari Universitas Chicago, AS, ini. Lalu dijelaskan oleh dosen IAIN Jakarta ini, memang sejak kejatuhan Baghdad ke tangan orang Mongol pada abad ke-13, intelektual di Timur Tengah terus merosot. Intelektual Islam, kemudian, berkembang di luar kawasan tersebut: di Pakistan, India, antara lain. Tentu saja, ada pula yang melihat Al Azhar secara lain. Quraish Shihab, ahli tafsir lulusan Al Azhar 1982 yang kini jadi dosen di IAIN Jakarta, merasa "dosen-dosen saya di Al Azhar sangat terbuka". Tapi mungkin Quraish adalah perkecualian. Pada umumnya, orang memandang Al Azhar hanya sebagai tempat untuk memfasihkan bahasa Arab. Maka Abbas Pulungan, 34, dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Medan, menolak tawaran belajar ke Kairo. Baginya, mutu Al Azhar tak lebih tinggi dari IAIN kita. "Orang yang belajar di sana pulangnya memang lalu menguasai bahasa Arab. Tapi itu 'kan biasa," tutur Abbas kepada Amir S. Torong dari TEMPO. Itu berarti IAIN perlu mengubah kurikulum, setidaknya lembaga ini perlu menyiapkan sarjana yang menguasai tak cuma bahasa Arab, tapi juga Inggris. "Itu yang repot," kata Hasbi A.R., Rektor IAIN Medan. "Dari 70 dosen tetap di sini, hanya dua orang yang benar-benar fasih berbahasa Inggris." Berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Yogyakarta 35 tahun yang lalu tujuannya memang untuk membentuk wadah pengembangan dan pendalaman ilmu agama Islam. Perguruan ini, yang kemudian dilebur dengan Akademi Dinas Ilmu Agama menjadi IAIN pada 1960, diharapkan menjadi pusat studi Islam di Indonesia. Wajar, bila kini 14 IAIN di seluruh Indonesia diharapkan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Bukan hanya karena negeri ini mayoritas penduduknya memeluk Islam, tapi, seperti kata Menteri Agama, guna memungkinkan lahirnya pemikiran baru, untuk menjawab masalah dunia modern yang tampaknya semakin majemuk ini. Bambang Bujono Laporan Musthafa Helmy & Zaim Uchrowi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini