OTOKRITIK yang dilontarkan Prof. Emil Salim pada acara "Sumbang Saran Antar-Generasi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni)" di ruang pertemuan Bank Duta, Jakarta, Senin malam pekan lalu, ternyata cukup membuat banyak telinga para lulusan universitas tersebut "panas". Bagaimana tidak. Menurut guru besar Fakultas Ekonomi UI itu, lulusan UI kebanyakan calon kapitalis dan berorientasi menak (bangsawan). UI, tambah Emil, tidak lagi menunjukkan diri sebagai "Universitas Indonesia", tapi lebih menampakkan sosok sebagai "Universitas Jakarta". Singkat kata, UI tak berwawasan nasional. Itulah sebabnya, sinyalemen Emil, komitmen UI bukan rakyat kecil lagi. Emil sampai pada kesimpulan itu setelah melihat kenyataan yang dijumpainya sewaktu mengunjungi pelosok-pelosok Indonesia. Ketika Emil, yang juga menjabat sebagai Menteri KLH, baru-baru ini berkunjung ke Wamena, Irian Jaya, ternyata tenaga dokter yang banyak dijumpainya di sana justru lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Jarang sekali saya melihat tamatan UI bekerja di desa terpencil," katanya. Ia menambahkan bahwa lulusan Fakultas Kedokteran UI justru menumpuk di Jakarta. Tak cuma kritik Emil terhadap almamaternya. Menurut dia, UI jadi "universitas borjuis" karena ada sesuatu yang salah dalam spriritnya. Alumni sekarang terlalu didorong oleh keinginan mengejar kepentingan sendiri-sendiri, sehingga tercerabut dari masyarakat. Hal ini, tambahnya, harus segera dibenahi. Emil menaruh harapan pada Iluni untuk memberikan dorongan guna mengubah kondisi tersebut. "Iluni harus dapat mendorong lulusan UI berorientasi kepada rakyat kecil. Sebab, rakyat kecil adalah jumlah mayoritas dari bangsa kita. Ini artinya perlu ada koreksi terhadap UI, yang lulusannya kebanyakan berorientasi menak," katanya. Otokritik Emil, yang juga anggota Iluni, ternyata mendapat tanggapan luas. "Saya tak setuju dengan pendapat Pak Emil," kata Prof. Mahar Mardjono, bekas rektor UI. Menurut guru besar neurologi pada Fakultas Kedokteran UI tersebut, dokter yang bertugas di Irian Jaya kebanyakan lulusan dari UI. "Lihat saja di antara para dokter yang bertugas di luar Jawa pasti ada dokter dari UI," ujarnya. Tak hanya Mahar yang membantah pernyataan Emil itu -- termasuk sinyalemennya mengenai fakultas ekonomi yang melahirkan calon-calon kapitalis. Menurut dr. Masri Rustam, ketua Panitia Munas IV Iluni, mereka yang hadir pada pertemuan Senin malam itu rata-rata membantah pengamatan Emil. Ada yang mengatakan, mungkin Pak Emil belum mengunjungi daerah-daerah lain. "Setahu saya, dokter yang bertugas di daerah-daerah Sumatera Selatan kebanyakan alumni UI," kata Masri. Keadaan yang disinyalir Emil itu, menurut Mahar, tak hanya terjadi di UI. "Di perguruan tinggi lain juga ada yang jadi kapitalis. Dan kalaupun ada yang salah, ya, salah kita semua," ujarnya. Gejala ke arah kapitalis itu, kata Mahar, sudah dirasakannya ketika masih menjabat sebagai rektor UI hampir 20 tahun lalu. "Tapi tak bisa kita hanya menyalahkan perguruan tinggi. Proses pendidikan juga ada di keluarga dan lingkungan," katanya. "Jakarta, sebagai kancah perubahan ekonomi yang begitu cepat, ikut memberi warna generasi muda pada umumnya. Perhatian mereka pun jauh lebih tertuju pada hal-hal kongkret dan praktis, bukan idealisme. Dengan demikian, UI berada dalam dua dimensi yang tarik-menarik, materialisme dan idealisme," ujar Dr. Dorodjatun Kuntjoro-jakti, pengajar pada FE-UI. Pendapat bahwa UI jauh dari masyarakat ditentang oleh Prof. Sujudi. "Kami tak pernah jauh dari masyarakat. Apa yang kami lakukan tetap seirama dengan apa yang ada di masyarakat," kata rektor UI itu. Ia menambahkan, ketika diwawancarai TEMPO pada acara perayaan 40 tahun UI, Februari lalu, usia baya itu membuat UI lebih dewasa dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan, sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Apa yang ada pada UI saat ini masih bisa ditingkatkan peranannya lagi demi kepentingan negeri. "Namun, peran UI bukan untuk banyak omong. Kami melihat jauh ke depan. Selalu tetap sejalan dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan nasional," katanya. Menurut Sujudi, fungsi utama sebagai perguruan tinggi, yakni melakukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, telah dilakukan UI dengan baik. Bahkan UI telah membuat program-program untuk pendekatan pada masyarakat. "Tapi masyarakat, bukan si A, si B. Masyarakat adalah Indonesia secara keseluruhan. Kami menyediakan tenaga dan konsep untuk masyarakat. Bukan kami suruh mereka membuat jembatan atau membuat tempe supaya dibagi-bagi," ujarnya. Pejabat nomor satu UI itu menambahkan bahwa ia tak mengerti apa yang dimaksud Emil tentang jiwa kapitalis tersebut. Apalagi kalau dihubungkan sistem pendidikan UI yang dianggap memproduksi sarjana berjiwa kapitalis. "Pernyataan itu jelas tidak benar. Karena kurikulum di semua perguruan tinggi itu sama. Jadi, soal menanamkan jiwa supaya tak jauh dari masyarakat itu sudah ada," kata Sujudi kepada TEMPO. Tentang sektor lapangan kerja yang diminati alumni UI, menurut Sujudi, hal itu tergantung pasar. "Kenapa pasar tersebut masih ada di Pulau Jawa? Karena prioritas pemerintah memang masih demikian. Jadi, masuk akal kalau orang menumpuk di Jawa," kata Sujudi. Ia juga membantah sinyalemen yang mengatakan bahwa sarjana lulusan UI hanya mencari kekayaan. Sekarang ini, menurut Sujudi, cukup banyak alumni UI yang mau masuk jadi dosen. "Padahal, berapa sih gaji dosen? Namun, mereka tertarik pada pengembangan ilmu dan kesempatan untuk melakukan penelitian," ujar Sujudi. GT, Leila S. Chudori, dan Liston P. Siregar (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini