Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat masih ada praktik perbudakan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Praktik ini langgeng karena sistem stratifikasi sosial dalam kebudayaan Marapu yang diterapkan sejumlah masyarakat setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem kebudayaan Marapu membagi masyarakat menjadi tiga golongan: Maramba, Kabihu, dan Ata. Golongan Maramba diisi oleh masyarakat bangsawan yang memiliki hak istimewa. Sementara golongan Kabihu diisi oleh rakyat biasa. Adapun golongan Ata biasa dianggap sebagai hamba yang harus melayani para Maramba secara turun-temurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan kaum Ata sering mendapatkan perlakuan tak manusiawi. Selayaknya budak, Rainy mengatakan, kaum hamba itu bisa diperlakukan sesuka hati para tuannya. “Dibutuhkan kebijakan afirmasi dari pemda untuk melarang praktik penghambaan,” kata Rainy dalam diskusi Perbudakan di Sumba Timur di Universitas Indonesia, dikutip Ahad, 1 Desember 2024.
Kasus terbaru, seorang anak di Sumba Timur yang diperkosa sejak kelas 2 SD sampai ia berusia 18 tahun. Diduga anak tersebut diperkosa oleh tuannya sendiri. Pendeta setempat, Herlina, membenarkan peristiwa itu. Herlina menjelaskan ia dan lembaganya di PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia) juga mengadvokasi kasus tesebut.
“Anak itu juga mengalami kekerasan fisik, dia lompat dari gedung yang tinggi, lantai dua rumah tuannya, melarikan diri, meminta perlindungan kepada teman-teman pengada layanan atau rumah aman,” ucapnya dalam forum yang sama.
Namun, kata Herlina, ternyata kasus itu mendapatkan intervensi dari banyak pihak. Sebab, dia berasumsi golongan Maramba atau bangsawan merasa terganggu akan posisi mereka. Mereka juga tak ingin kasus itu meluas.
“Kasus ini tidak boleh naik ke publik. Ketika hukum berjalan, polisi bekerja, para Maramba dengan berbagai cara, datang kemudian menghalang-halangi kasus ini. mengancam hamba ini agar tidak melaporkan dan seterusnya,” kata Herlina.
Komnas Perempuan meminta agar praktik perbudakan berkedok budaya itu dihentikan. Rainy mengatakan pemerintah perlu memberi intervensi dan membuat kebijakan afirmatif untuk menghapuskan praktik perbudakan tersebut.
Dia mengakui selama ini pemerintah tidak bertindak tegas dalam menangani kasus perbudakan berkedok budaya di Sumba. Meski ia menyadari ada banyak pejabat pemerintahan di Sumba ternyata berasal dari kalangan Maramba, Rainy tetap meminta perlu ada intervensi dari pemerintah yang lebih tinggi untuk menghentikan praktik budaya yang melanggar hak asasi manusia.
“Selama ini, akses pelaporan para Ata (hamba) atas pelanggaran HAM atau kekerasan berbasis gender yang dialaminya hampir tidak ada karena hidup dalam penguasaan, ketidaktahuan dan ketakutan,” kata Rainy.
Pilihan Editor: Anak Bunuh Ayah dan Nenek di Lebak Bulus Jadi Tersangka