Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Polemik Jaksa vs Jaksa di Kejari Tapanuli Selatan, Soal Kritik Mobil Dinas Bikin Jaksa Fungsional Jovi Andrea Bachtiar Masuk Bui

Jovi Andrea Bachtiar Jaksa Fungsional di Kejari Tapsel dijebloskan ke penjara buntut mengkritik rekan kerjanya. Apa kritiknya?

18 November 2024 | 17.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari-hari ini publik tengah dihebohkan dengan polemik jaksa vs jaksa antara Jovi Andrea Bachtiar dengan rekan kerjanya di Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan (Kejari Tapsel) Sumatra Utara, Nella Marsella. Jovi dijebloskan ke penjara buntut mengkritisi Nella yang ditudingnya menggunakan mobil dinas untuk berkencan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Publik menyoroti kasus ini dan menyebut Jovi telah dikriminalisasi oleh institusinya. Menanggapi tudingan publik, Kejaksaan Agung atau Kejagung justru mempertegas bahwa Jovi Andrea Bachtiar telah melakukan pencemaran nama baik terhadap Nella dan merekomendasikan pemecatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk perkara kasus jaksa vs jaksa di Kejari Tapsel

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, perkara jaksa vs jaksa ini bermula ketika Jovi mengunggah narasi di media sosial yang menuduh Nella menggunakan mobil dinas untuk perbuatan asusila. Dalam unggahan di Instagram, Jovi meminta berbagai kalangan agar melaporkan kepada dirinya bila melihat Nella mengendarai mobil dinas untuk pacaran.

Tak terima, Nella lantas menyurati Kepala Kejaksaan Negeri atau Kajari Tapsel Siti Holija Harahap selaku atasannya untuk meminta petunjuk. Kajari Tapsel mengatakan permasalahan ini diserahkan sepenuhnya kepada Nella karena urusan pribadi. Jovi sempat diminta menyampaikan permohonan maaf kepada Nella. Namun permintaan itu tidak digubris hingga kasus ini berujung ke ranah hukum.

Nella lalu melaporkan Jovi atas dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan jaksa muda Jovi terhadapnya melalui akun Instagram dan TikTok tersebut. Laporan tersebut dilayangkan ke Polres Tapanuli Selatan pada 25 Mei 2024. Laporan ini dilayangkan dengan bukti laporan LP/ B/177/V/2024/ SPKT / POLRES TAPSEL/ POLDA SUMUT.

Dalam kasus ini, Jovi dijerat Pasal 45 ayat 1 Juncto pasal ayat 27 ayat 1 dan Pasal 45 ayat 4 Juncto pasal 27 A undang-undang RI tahun 2024 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Laki-laki usai 28 tahun itu terancam kurungan maksimal 6 tahun penjara.

Kasus ini mencuat ke publik setelah Jovi mengunggah video tentang dirinya selaku jaksa yang menyampaikan kritik untuk kepentingan publik tetapi justru dijebloskan ke penjara. Cerita itu disampaikan Jovi melalui video yang diunggah via akun TikTok-nya pada Rabu, 13 November 2024.

“Jaksa dituntut oleh jaksa. Sayangnya jaksa yang dituntut bukan karena jaksa tersebut melakukan pemerasan, menerima suap/gratifikasi, selingkuh hingga nikah siri, tetapi dituntut dua tahun pidana penjara karena mengkritik demi kepentingan umum terkait penggunaan mobil dinas,” tulis Jovi dalam takarir videonya.

Publik pun ramai menuding Jovi dikriminalisasi oleh institusinya. Menanggapi tudingan itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengatakan kejaksaan tidak pernah melakukan kriminalisasi terhadap pegawainya. Dia menilai Jovi sendiri yang mengriminalisasi dirinya karena postingan di media sosial.

“Yang bersangkutan sendiri yang mengkriminalisasikan dirinya karena perbuatannya. Yang bersangkutan mencoba membelokkan isu yang ada dari apa yang sebenarnya terjadi sehingga masyarakat terpecah pendapatnya di media sosial,” ucap Harli, Kamis, 14 November 2024.

Menurut Harli, Jovi mencoba membelokkan isu dari yang sebenarnya terjadi, sehingga masyarakat terpecah pendapatnya di sosial media. Pihaknya menegaskan bahwa Jovi menghadapi dua persoalan, selain perkara pidana dan hukuman disiplin pegawai negeri sipil (PNS).

Terkait perkara pidana, Harli mengatakan bahwa Jovi menjadi terdakwa karena melanggar UU ITE melakukan penyebaran informasi yang melanggar kesusilaan melalui akun medsos miliknya.

“Unggahan tersebut merupakan kata-kata yang tidak senonoh, menuduh korban menggunakan mobil dinas Kajari Tapsel untuk berhubungan badan atau bersetubuh dengan pacar korban. Padahal, itu hanya rekayasa dan akal-akalan yang bersangkutan,” ujarnya.

Terkait tudingan Jovi ihwal penggunaan mobil dinas, Harli menjelaskan bahwa Nella kerap diminta menggunakan mobil Mitsubishi Pajero milik Kajari Tapsel untuk aktivitas yang diperintahkan.

“Apa salah kalau disuruh pimpinan untuk mengerjakan sesuatu dengan memakai mobil dinas? Kajarinya waktu itu kan seorang perempuan, apa salah kalau dia memberdayakan seorang staf perempuan untuk membantu di sekretariat?” ujar Harli.

Selain dituduh melakukan tindak pidana ITE, Jovi juga telah diusulkan untuk dijatuhi hukuman disiplin berat karena selama 29 hari secara akumulasi tidak masuk kantor tanpa alasan yang sah/jelas. Kejagung bakal mengusulkan pemecatan terhadap Jovi.

”Selama ini sudah dilakukan upaya pembinaan dan mediasi tetapi yang bersangkutan justru selalu mengalihkan isu dengan topik-topik lain di media sosial seolah-olah yang bersangkutan adalah pendekar hukum dan kebenaran,” kata Harli.

Di sisi lain, menanggapi pemberitaan soal rencana Kejagung akan memberhentikan Jovi, Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, kejaksaan seharusnya belajar menerima kritik dan memberi peluang pada bawahan serta internal kejaksaan untuk ikut memperbaiki dan membangun institusi.

“Jika harus ditindak itu banyak oknum-oknum jaksa yang memanfaatkan jabatannya dengan memeras para terdakwa di pengadilan. Ini pelajaran mahal untuk membersihkan institusi kejaksaan,” ucapnya, Ahad, 17 November 2024.

Sebaliknya, Fickar beranggapan sejumlah oknum jaksa yang melanggar hukum justru dimaafkan dan tidak diproses hukum. Misalnya, oknum jaksa yang diduga menerima suap dari tambang timah, tidak dipecat dan hanya menurunkan pangkat. Kemudian oknum jaksa yang konsumsi sabu juga tidak dipecat dan malah dipindahkan ke Badiklat Kejaksaan RI.

“Ini artinya ada diskriminasi terhadap jaksa yang justru ingin memperbaiki institusinya. Jangan-jangan ini karena oknum tersebut tidak memberikan setoran pada oknum jaksa tertentu, sehingga dia harus dihukum berat bahkan dipecat,” kata Fickar.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | MICHELLE GABRIELA | DINDA SHABRINA | ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus