Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polisi Stop Penyelidikan Dugaan Pencurian KTP Dukungan Calon Gubernur Jakarta

Polisi tak meneruskan laporan dugaan pencatutan KTP untuk mendukung calon gubernur independen Dharma Pongrekun-Kun Wardhana. 

20 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi menghentikan laporan dugaan pencatutan KTP untuk pencalonan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam pilkada DKI Jakarta.

  • Alasannya, itu merupakan pidana pemilu yang laporannya harus diterima Bawaslu.

  • Pasangan Dharma-Kun akhirnya ditetapkan sebagai peserta pilkada DKI Jakarta oleh KPU.

KEPOLISIAN Daerah Metropolitan Jakarta Raya menghentikan penyelidikan dugaan pencurian KTP untuk mendukung pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana Abyoto sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta jalur perseorangan. Padahal, para ahli hukum menilai, banyak celah menjerat calon gubernur independen ini dengan hukum pidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan dugaan tindak pidana pencatutan KTP itu diatur secara khusus dalam Pasal 185A Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Karena masuk dalam pidana pemilu, kata Ade, satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan itu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi, kata Ade, hanya menerima penerusan laporan dari Bawaslu. Karena itu, dia menyarankan pelapor membawa pencatutan KTP ini ke Bawaslu lebih dulu agar bisa ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme. “Forum sepakat untuk menghentikan penyelidikan atas penanganan perkara aquo,” ujar Ade saat dihubungi pada Senin, 19 Agustus 2024. 

Kisruh pencatutan KTP ini bermula ketika Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta menyatakan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana lolos verifikasi faktual untuk mendaftar sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Kamis pekan lalu. KPU menyatakan pasangan itu mendapat dukungan dari 677.468 penduduk. Jumlah tersebut melebihi ambang batas minimal untuk calon perseorangan dalam pilkada DKI Jakarta sebanyak 618.918 penduduk.

Belakangan, sejumlah warga Jakarta yang identitasnya tercantum di laman KPU DKI Jakarta menyatakan tak pernah memberikan dukungan kepada pasangan tersebut. Salah satunya Samson, warga Gambir, Jakarta Pusat, yang melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Jumat pekan lalu, 16 Agustus 2024. Kuasa hukum Samson, Army Mulyono, mengatakan nama Samson tertera sebagai pendukung pasangan Dharma-Kun meski tak pernah menandatangani surat pernyataan dukungan ataupun memberikan fotokopi e-KTP

Namun, menurut Army, nama kliennya hilang dari data pendukung pasangan itu di laman KPU DKI Jakarta pada Sabtu, 17 Agustus 2024. Padahal, menurut Army, saat ia melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, petugas juga mengecek langsung di laman tersebut dan menemukan nama Samson ada di sana. "Kami punya bukti tangkapan layarnya," ujarnya saat dihubungi, Sabtu lalu. Army pun melaporkan adanya pelanggaran terhadap Pasal 67 ayat 1 UU Perlindungan Data Pribadi.  

Aksi dari Gerakan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Pro-Demokrasi mentuntut KPU membatalkan pencalonan Dharma Pongrekun di Kantor KPUD Jakarta, Jakarta 19 Agustus 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan pihaknya telah menerima lebih dari 500 laporan ihwal pencatutan KTP itu. Dari jumlah tersebut, 395 laporan telah diverifikasi kebenarannya. Julius menyatakan mereka juga akan melaporkan pasangan Dharma-Kun ke polisi, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, serta Komnas HAM. Namun dia belum bisa menyebutkan kapan PBHI akan melapor secara resmi. “Kami masih menyusun draf laporannya,” kata Julius saat dihubungi kemarin.

Guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md., tak sepakat jika kasus pencatutan KTP itu hanya dianggap sebagai pidana pemilu. Menurut dia, dalam kasus ini juga terdapat pelanggaran terhadap dua undang-undang lainnya. 

Pertama, kata Mahfud, pencatutan KTP itu pelanggaran terhadap Pasal 67 UU Perlindungan Data Pribadi. Pasal itu mengatur soal pidana bagi orang yang mengumpulkan data pribadi orang lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Kedua adalah pelanggaran terhadap Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama. Menurut dia, penggunaan data pribadi untuk tujuan yang tidak diinginkan dapat dianggap sebagai pencemaran nama. 

Karena itu, Mahfud menilai terdapat tindak pidana umum dalam kasus ini sehingga polisi bisa saja menanganinya, bahkan tanpa harus ada laporan dari masyarakat. Dia juga menilai terdapat aspek perdata dalam kasus ini. Masyarakat yang merasa datanya dicatut bisa saja mengajukan gugatan perdata. “Polisi ambil pidananya, rakyat ambil perdatanya. Lalu hukum administrasi itu tugas KPU dan Bawaslu untuk membatalkan ini (pencalonan),” ujar Mahfud dalam keterangan video yang diterima Tempo pada Senin, 19 Agustus 2024. 

Julius Ibrani sepakat dengan Mahfud. Menurut dia, kasus ini tak bisa dipandang sebagai pidana pemilu saja. Dia menilai terdapat pelanggaran pidana umum lain yang seharusnya bisa ditangani polisi secara langsung. Selain yang sudah disebutkan oleh Mahfud, Julius menilai pencatutan KTP ini melanggar UU Administrasi Kependudukan, khususnya Pasal 67 ayat 1 yang mengatur pemalsuan atau penggunaan dokumen kependudukan palsu. Selain itu, dia menilai terdapat pelanggaran terhadap Pasal 263 dan 264 KUHP soal pemalsuan dokumen. 

Bahkan Julius mengklaim memiliki bukti kuat dan seharusnya pembuktian kasus ini sangat sederhana. "Kami yakin ini diatur oleh instansi tingkat tinggi, dan jika laporan kami diabaikan, kami akan lapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi," katanya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Haykal, juga berpendapat sama. Ia menekankan, pencatutan data pribadi ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan administratif semata, melainkan merupakan tindak kriminal yang memiliki intensi dan tujuan tertentu. Polisi seharusnya juga bisa menggunakan Pasal 65 UU Perlindungan Data Pribadi untuk menelusuri pencatutan KTP ini, selain Pasal 185A ayat 1 dan 2 UU Pilkada. "Dua pasal ini sangat berkaitan dengan dugaan pelanggaran dalam proses pengumpulan dukungan untuk bakal calon kepala daerah jalur perseorangan," ucapnya. 

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar pun mengamini pernyataan Mahfud. Menurut dia, polisi bisa langsung memproses masalah pencatutan KTP ini tanpa laporan dari masyarakat karena Pasal 65 ayat 1 juncto Pasal 67 ayat 1 UU Perlindungan Data Pribadi merupakan delik formil. Artinya, unsur tindak pidana telah terpenuhi jika seseorang mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. "Kepolisian bisa langsung bergerak dengan mengidentifikasi asal dari pencatutan data-data ini," katanya. 

Dosen hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, di sisi lain menjelaskan, kasus ini bisa menyeret Dharma Pongrekun dan Kun Wardana serta timnya. Selain itu, dia mengingatkan polisi agar menelusuri peran penyelenggara pemilu yang terbukti tidak memverifikasi data dukungan tersebut secara benar. 

Menurut dia, polisi bisa menggunakan Pasal 186 ayat 2 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal itu menyatakan anggota panitia pemungutan suara hingga anggota KPU provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan bisa dipidana dengan ancaman hukuman penjara paling lama 72 bulan dan denda paling banyak Rp 72 juta. "Kasus ini tidak boleh didiamkan. Harus dibuka terang benderang sehingga publik bisa benar-benar yakin terhadap kredibilitas dan integritas pilkada serentak 2024," ujar Titi saat dihubungi secara terpisah. 

Dharma Pongrekun mengaku tidak terlibat langsung dalam pengumpulan KTP karena semua diserahkan kepada para relawan. Menurut dia, semua syarat yang dikumpulkan untuk maju sebagai pasangan calon perseorangan dipastikan didapat dari para relawan secara sukarela. "Kami tidak terlibat langsung dalam pengumpulan data pendukung," kata Dharma melalui video klarifikasi yang diterima Tempo pada Senin, 19 Agustus 2024. 

Menurut Dharma, data dari relawan itulah yang kemudian diperiksa oleh KPU Jakarta hingga akhirnya persyaratan sebagai calon perseorangan terpenuhi. Ia mengatakan data warga yang merasa tidak mendukung seharusnya tersaring sendiri oleh KPU saat melakukan verifikasi. 

Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo mengatakan pihaknya telah menerima 280 aduan dan 5 laporan resmi dari masyarakat hingga Senin kemarin. Benny menjelaskan, saat ini mereka telah berkoordinasi dengan sentra penegakan hukum terpadu untuk penegakan dugaan pidana pemilu pencatutan KTP ini. “Positioning kami selalu bersama rakyat. Jika ada yang tidak beres atau menyimpang, kami pastikan usut tuntas dan melakukan penegakan hukum secara tegas dan terukur kepada seluruh pihak terkait," ujarnya. 

Menurut Benny, tindak pidana pemilihan umum dapat menyasar siapa saja, termasuk orang, kandidat, atau bahkan penyelenggara pemilu itu sendiri. Dia menyebutkan Bawaslu berkomitmen memastikan proses pilkada di Jakarta berjalan dengan demokratis, jujur, dan adil.

Sementara itu, KPU DKI Jakarta memastikan tidak ada yang janggal perihal lolosnya proses verifikasi tahap dua syarat dukungan Dharma dan Kun. Kepala Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU DKI Jakarta Dody Wijaya mengatakan, dalam proses verifikasi yang dilakukan, tim di lapangan selalu mengacu pada petunjuk teknis dan pihaknya belum menemukan pelanggaran yang dilakukan verifikator.

Mencuatnya dugaan pencatutan KTP ini membuat rapat pleno KPU DKI Jakarta untuk menetapkan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana sebagai peserta pilkada DKI Jakarta 2024 pada Senin sore kemarin alot. Rapat sempat diskors hingga pukul 23.00 karena Bawaslu meminta masyarakat yang ingin mengadu diberi kesempatan seluas-luasnya.

Namun KPU DKI Jakarta tetap mengesahkan pasangan itu setelah rapat kembali dibuka. “Pukul 23.25, kami mengeluarkan surat keputusan KPU Provinsi DKI Jakarta tentang pemenuhan syarat dukungan untuk pasangan calon Dharma Pongrekun dan Kun Wardana,” kata Ketua KPU DKI Jakarta Wahyu Dinata.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Jihan Ristiyanti dan Mochamad Firly Fajrian berkontribusi dalam laporan ini. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus