Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Skandal Pasir Batam

Pasir di Batam diangkut terus secara ilegal ke Singapura. Tak ada sanksi hukumnya. Vonis pun tak berarti karena kapal pencuri pasir sudah kabur.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH dagelan kembali tergelar di meja hijau. Pengadilan Negeri Batam, Senin pekan lalu, memvonis nakhoda kapal MV Amsterdam Zeist, Leutscher Erick, dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Hukuman dari majelis hakim Cicut Sutiarso itu juga berlaku bagi dua orang anak buah Erick. Erick, yang berkewarganegaraan Belanda, dan kedua anak buahnya dianggap bersalah telah melakukan pencurian pasir di kawasan perairan Nongsa, Batam. Hakim juga memerintahkan agar kapal Amsterdam dan pasir curian sebanyak 3.000 meter kubik seharga Rp 1,1 miliar dirampas untuk negara. Tapi putusan itu bagaikan sandiwara tak lucu. Soalnya, yang divonis majelis hakim cuma kursi kosong. Sejak 19 Juni 2000, sesungguhnya Erick dan dua bawahannya sudah kabur meninggalkan Indonesia. Mereka pergi dengan menggunakan kapal yang menjadi barang bukti perkara tersebut. Tentu saja peradilan melompong itu kini menjadi bahan gunjingan. Banyak yang menganggap raibnya para terdakwa berikut kapal Amsterdam itu berkat bantuan dari kejaksaan, pihak imigrasi, bea cukai, serta TNI Angkatan Laut. Namun, pihak imigrasi dan bea cukai setempat menyatakan tak tahu-menahu soal kaburnya kapal berbendera Belanda itu. Mereka mengaku hanya sebatas menyidik kapal tersebut sejak tertangkap pada 7 Februari 2000. Setelah itu, berkas perkara berikut terdakwa dan barang bukti diserahkan kepada kejaksaan. Ada yang menyebutkan bahwa kejaksaan memperoleh uang 500 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 2,5 miliar dari "proyek" pelepasan MV Amsterdam. Kepala Kejaksaan Negeri Batam, K.W. Sulatra, kontan membantahnya. "Itu uang jaminan dan sudah saya tolak," ujarnya. Kalaupun uang itu merupakan jaminan, nilainya tak sebanding dengan harga kapal itu, senilai US$ 250 juta. Toh, Sulatra menganggap kaburnya kapal itu menjadi tanggung jawab TNI-AL yang menjaganya. "Kapal itu kan ada yang jaga. Masa, saya harus terus menidurinya?" kata Sulatra, yang dikabarkan akan dimutasikan ke Pekanbaru. Giliran pihak TNI-AL yang merasa berang dituduh demikian. "Ada surat yang memerintahkan agar kapal itu dilepaskan. Ya, kami lepaskan. Wong, kami cuma jaga," kata Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat Laksamana Pertama Mualimin Santoso M.Z. Menurut Mualimin, pihaknya berani melepaskan MV Amsterdam karena ada surat penetapan dari Pengadilan Negeri Batam. Penetapan tertanggal 9 Juni 2000 itu mengizinkan MV Amsterdam diperbaiki di Singapura. Selain itu, kata Mualimin, yang kini dipindahkan ke Jakarta, ada surat pencabutan kuasa penitipan kapal dari kejaksaan pada 10 Juni 2000. Janggalnya, Sulatra mengaku belum pernah menarik berita acara penitipan kapal itu dari pihak TNI-AL. Sebenarnya, setelah pengadilan memperkenankan MV Amsterdam meninggalkan Batam, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Ramelan meminta kejaksaan Batam segera mengajukan perlawanan. Ternyata, sebelum upaya membatalkan penetapan tadi dilakukan, kapal itu sudah pergi ke Singapura. Kalau demikian, mestinya pengadilan yang bertanggung jawab pula karena mengizinkan kepergian MV Amsterdam. Sayangnya, hakim Cicut Sutiarso, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Batam, enggan menjelaskan masalah itu. Tinggallah kini pihak kejaksaan dan TNI-AL yang mengaku akan mengusahakan pengembalian kapal itu lewat jalur government to government. Yang jelas, MV Amsterdam diketahui sudah lama menyelundupkan pasir Batam untuk proyek reklamasi senilai 1,63 miliar dolar Singapura di pantai Tuas, Singapura. "Bisnisnya" di Batam diageni oleh PT Barelang Sugi Bulan, milik salah seorang menantu mantan presiden B.J. Habibie, dan PT Indoguna Yudanusa, punya seorang anak mantan gubernur Riau, Soeripto. Kabarnya, PT Barelang dan PT Indoguna jugalah yang mengupayakan pelepasan MV Amsterdam setelah diadili di Batam. Lagi-lagi soal keterlibatan dua perusahaan itu dibantah oleh hakim Cicut. Melalui putusan pada perkara lain, ternyata hakim menganggap dua perusahaan itu tak melakukan pelanggaran dalam kasus pencurian pasir. Perkara MV Amsterdam cuma salah satu dari segerobak kasus pengerukan pasir Batam yang sampai sekarang sulit ditertibkan. Tak aneh bila setiap harinya sekitar 18 ribu meter kubik pasir di beberapa wilayah di Batam disedot oleh banyak kapal keruk canggih untuk proyek reklamasi di Bandar Udara Changi, Jurong, dan Pasir Panjang di Singapura. Tidakkah itu semakin menyengsarakan Batam? Happy S., Rumbadi Dallie (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus