Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uang palsu bernilai Rp 19,2 miliar dalam perkara Ismail terdiri atas pecahan uang kertas Rp 50 ribu bergambar mantan presiden Soeharto tersenyum. Menurut penuturan Ismail, Jenderal Tyasno mengetahui persis proses pembuatan uang palsu itu di rumah Yustinus Kasminto di daerah Palmerah, Jakarta Barat. Bahkan, Tyasno selalu hilir-mudik dan memimpin langsung pencetakan uang palsu di rumah Yustinus, warga Timor Timur.
Semua itu terjadi sejak Juli 1999 sampai Februari 2000. Dikabarkan pula bahwa pencetakan uang palsu itu dimaksudkan untuk mendukung operasi intelijen dan aktivitas TNI di Timor Timur. Sepuluh orang tersangka, termasuk Ismail, ditangkap polisi tak lama setelah polisi menggulung sindikat uang palsu yang diduga diotaki Manajer Tim Piala Thomas Indonesia, Kolonel TNI-AD (Purn.) Soemarjono, pada akhir Mei 2000.
Namun, seusai acara pergantian Panglima Kodam Siliwangi dari Mayor Jenderal Slamet Supriyadi ke Mayor Jenderal Zainuri Hasyim di Bandung, Kamis pekan lalu, Jenderal Tyasno membantah keras isu tersebut. ''Tuduhan itu tidak benar. Itu sama saja maling teriak maling, dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain," ujar Tyasno.
Kepala Dinas Penerangan TNI-AD Brigadir Jenderal F.X. Bachtiar malah menyatakan bahwa sinyalemen itu sengaja diembuskan untuk mendiskreditkan TNI. ''Itu satu bagian dari sebuah proses besar yang bisa mengakibatkan disintegrasi bangsa," kata Brigjen Bachtiar, sebagaimana dikutip Jakarta Post.
Benar-tidaknya isu itu mestinya dikembangkan oleh jaksa Sujitno dan majelis hakim pada perkara Ismail. Yang jelas, sebelum itu, nama Titiek Prabowo, salah seorang putri mantan presiden Soeharto, juga dihubungkan dengan kasus pencetakan uang palsu. Selain Titiek, Gusti Maya Firanti Noor, istri Ari Sigit, cucu Soeharto, tertangkap pula saat membelanjakan uang palsu. Maya kini disidik polisi karena kasus shabu-shabu.
Toh, polisi tak sembarangan mempercayai dugaan keterlibatan Titiek, istri mantan Panglima Kostrad Letjen (Purn.) Prabowo Subianto. Nama Titiek tersangkut setelah polisi menggerebek sebuah rumah tempat mencetak uang palsu di bilangan Pasarrebo, Jakarta Timur. Rumah itu diberitakan disewa oleh seorang perwira Kopassus bernama Lettu TNI Agus Purnomo. Tapi Agus belum tertangkap, sehingga jaringan pemalsuan uangnya pun masih gelap.
Sementara ini, yang terdeteksi baru peredaran uang palsu komplotan Agus. Barang haram itu didistribusikan lewat bank melalui barter dengan uang asli, dengan perbandingan 2 : 1. Modus semacam itu diduga berlangsung pula pada kasus uang palsu yang diungkap polisi Bandung. Pada kasus ini, polisi meringkus sembilan orang tersangka. Lima di antaranya adalah karyawan Bank Indonesia (BI) di Bandung, sedangkat empat tersangka lainnya merupakan orang swasta di luar BI.
Dari keempat tersangka swasta itulah lima karyawan BI tadi memperoleh uang palsu sejumlah Rp 200 juta. Uang palsu itu lantas digunakan untuk mengganti uang asli yang rusak senilai Rp 35 juta. Mestinya uang asli yang rusak itu termasuk paket uang yang akan dimusnahkan. Namun, gara-gara ulah kelima tersangka, uang itu beredar kembali ke masyarakat dan uang palsunya yang dimusnahkan.
Diduga kerja sama mereka dengan tersangka swasta yang tergolong perantara dan pengedar uang palsu itu sudah berlangsung lama. Tak mustahil pula aksi mereka melibatkan orang BI pusat di Jakarta. Sayangnya, bagaimana keterlibatan itu dan dari mana sumber uang palsunya masih belum terungkap.
Kesulitan menyibak jaringan sindikat uang palsu dan gembong utamanya juga dialami polisi Surabaya, yang pekan ini akan melimpahkan perkara Soemarjono ke kejaksaan. Hingga kini, Soemarjono bersikukuh dengan aksi tutup mulutnya. Ia tetap menutup hubungan sel demi sel dari jaringan pemalsuan uang yang dioperasikan kelompoknya. Gejala serupa terjadi pada kasus uang palsu kawanan Ali yang kini ditangani polisi Grobogan, Jawa Tengah.
Yang jelas, kasus pemalsuan uang tampaknya makin menjadi-jadi. Tentu saja itu sangat meresahkan masyarakat, bahkan bisa merusak perekonomian. Karena itu, tak ada tuntutan lain kecuali polisi harus membongkar tuntas.
Happy S., Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo