Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

PSHK Tuntut Perpu Cipta Kerja Dicabut, Ungkit Perpu Ormas yang Nyaris Gagal di DPR

PSHK menyatakan persetujuan tingkat pertama terhadap Perpu Cipta Kerja bukan berarti perpu itu akan lolos di rapat paripurna.

19 Februari 2023 | 15.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjuk rasa kaum buruh bertolak dari Pintu Irty Monas, Jalan Medan Meredeka Selatan, menuju Demo buruh menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja longmarch menuju Istana Negara, Sabtu, 14 Januari 2023. TEMPO/Ihsan Reliubun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, menilai Perpu Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus dicabut karena tak kunjung disetujui paripurna DPR hingga penutupan sidang 16 Februari 2023. Fajri menegaskan Perpu Cipta Kerja membutuhkan persetujuan di paripurna DPR, bukan sekedar persetujuan Badan Legislasi (Baleg).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebab, apa yang disetujui di Baleg bisa saja dianulir di tingkat paripurna. Praktik ini sudah terjadi di berbagai produk undang-undang. Fajri mencontohkan Perpu Ormas yang diteken Jokowi pada 10 Juli 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sudah disetujui di tingkat satu, sudah di tingkat dua, hampir tak jadi karena paripurna pakai voting, kebetulan menang," kata Fajri dalam konferensi pers, Minggu, 19 Februari 2023.

Kisah Perpu Ormas yang nyaris gagal di rapat paripurna

Saat itu, Perpu Ormas yang dibuat Jokowi langsung dibahas DPR pada masa sidang I Tahun 2017-2018 (16 Agustus - 25 Oktober 2017). Dipimpin Wakil Ketua DPR saat itu Fadli Zon, musyawarah dan mufakat hingga 2 jam forum lobi tak kunjung mengesahkan Perpu Cipta Kerja.

Akhirnya, DPR saat itu harus memutukan Perpu Ormas lewat voting dan akhirnya beleid ini bisa disahkan. "Kita telah mendapat hasil, dengan total 445 anggota, sebanyak 314 anggota menerima dan 131 menolak," kata Fadli saat itu membacakan hasil voting di Gedung DPR, Jakarta.

Tujuh fraksi setuju yaitu PDIP, PPP, PKB, Golkar, NasDem, Demokrat, dan Hanura. Sementara tiga fraksi lain menolak yaitu PKS, PAN, dan Gerindra.

"Ini menunjukkan praktik legislasi, belum tentu disahkan ketika sudah disetujui di tingkat satu," kata Fajri.

Selanjutnya, contoh lain: RUU Ormas dan RUU KUHP

Jika Perpu Ormas disetujui DPR, Fajri menyebut RUU Ormas pada 2013 jadi contoh aturan yang dianulir di paripurna. Saat itu, kata dia, RUU ini sudah masuk tingkat satu dan dua.

"Tapi ditolak, atau dikembalikan ke alat kelengkapan untuk disosialisasikan lagi, ini bukti RUU yang masuk paripurna bisa tidak jadi disahkan," kata Fajri.

Contoh yaitu yaitu RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP pada 2019. Proses pengambilan keputusan ini diwarnai oleh demo besar-besaran. RUU KUHP yang sudah disetujui di tingkat satu, kata Fajri, akhirnya batal masuk tingkat dua.

Perpu Cipta Kerja 

Sementara, Perpu Cipta Kerja diteken Jokowi pada 30 Desember dan dibahas DPR pada masa sidang III Tahun 2022-2023 (10 Januari - 16 Februari 2023). Pada 15 Februari, Baleg telah setuju Perpu Cipta Kerja dibahas di paripurna.

Namun dalam sidang paripurna 16 Februari, tak ada ketuk palu pengesahan Perpu Cipta Kerja oleh DPR. Perpu Cipta Kerja ini memang sempat disinggung oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat paripurna. 

Selain Perpu Cipta Kerja, ada juga Perpu Pemilu. Dasco menyebut DPR bersama pemerintah akan melakukan pembahasan dua Perpu tersebut sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang dan juga mempertimbangkan kepentingan nasional,” kata Ketua Harian Partai Gerindra ini.

Perpu Cipta Kerja Harus dicabut jika merujuk Pasal 22 UUD 1945 

Fajri pun menilai Perpu Cipta Kerja ini harus dicabut karena mengacu pada Pasal 22 UUD 1945. Pasal ini berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

"Perhatikan bahwa dalam periode tersebut, DPR belum mengambil keputusan menyetujui atau menolak dalam sidang paripurna," kata Fajri.

Saat dikonfirmasi, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menanggapi santai penilaian PSHK ini. "Kan sudah lama mereka bilang begitu, ya biar saja," kata Mahfud saat dihubungi, Jumat, 17 Februari 2023.

Akan tetapi, Mahfud Md belum menjelaskan lagi ketika dikonfirmasi apakah sesuai UUD 1945 Perpu Cipta Kerja ini masih bisa dibahas di paripurna DPR pada masa sidang berikutnya, yaitu masa sidang IV Tahun 2022-2023. 

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus