Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG pekan lalu, Ludiyanto sibuk menanggapi pertanyaan rekan-rekannya dari luar negeri soal kekalahan Pierre Cardin di Mahkamah Agung. "Mereka bertanya kenapa label terkenal bisa kalah dalam gugatan hak penggunaan merek," kata pengacara perusahaan mode asal Paris itu pada Rabu pekan lalu.
Pierre Cardin menggugat pengusaha asal Jakarta, Alexander Satryo Wibowo, yang menggunakan merek mereka tanpa izin. Namun Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung memenangkan Alexander. Dalam putusannya, Mahkamah Agung mengukuhkan paten Pierre Cardin untuk barang jenis parfum sebagai milik Alexander.
Putusan Mahkamah sebenarnya sudah keluar pada November 2015. Kasus ini hangat dibicarakan belakangan karena putusannya baru muncul di situs resmi Mahkamah Agung pada Jumat pekan lalu.
Pierre Cardin Paris tak tinggal diam. Mereka sedang menyusun berkas permohonan peninjauan kembali. "Dalam waktu dekat akan kami daftarkan ke Mahkamah Agung," ujar Ludiyanto. "Kami melihat pertimbangan hakim aneh."
Gesekan antara Pierre Cardin dan Alexander Satryo Wibowo bermula pada November 2014. Kala itu, Pierre Cardin mendaftarkan merek dagang plus logo untuk produk parfum di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam klasifikasi jenis barang di Kementerian, parfum masuk golongan kelas tiga. Kementerian menggolongkan jenis barang berdasarkan ciri kemiripannya. Total ada 45 kelas. Yang masuk kelas tiga antara lain parfum, sabun, minyak sari, dan kosmetik.
Sebulan setelah mendaftar, Pierre Cardin mendapat pemberitahuan bahwa merek dagang mereka lebih dulu didaftarkan Alexander. Ada empat merek "Pierre Cardin" plus logo untuk barang kelas tiga yang dipakai Alexander. Tiap merek Pierre Cardin versi Alexander memiliki nomor registrasi, desain tulisan, dan logo berbeda.
Atas nama Pierre Cardin Paris, Ludiyanto menyurati Alexander pada awal 2015. Surat itu meminta Alexander membatalkan pendaftaran merek kelas tiga "Pierre Cardin". Namun, menurut Ludiyanto, Alexander tak pernah menanggapi surat tersebut. Parfum "Pierre Cardin" versi Alexander, sementara itu, sudah beredar di pasar dengan harga Rp 45-150 ribu per botol.
Pada awal Maret 2015, Pierre Cardin menggugat Alexander di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, Pierre Cardin menggunakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Merek. Ludiyanto menuding Alexander sengaja mendompleng ketenaran Pierre Cardin untuk mencari untung. "Ada iktikad tidak baik tergugat yang mencari untung dengan mencatut nama klien kami," kata Ludiyanto.
Faktor "terkenal" menjadi argumen utama gugatan Pierre Cardin. Perusahaan mode yang berdiri pada 1950 di Paris itu sudah mendapat hak paten dari sekitar 50 negara. Di Indonesia, Pierre Cardin juga sudah memegang hak paten untuk 14 jenis barang, seperti baju, ikat pinggang, dan dompet.
Di persidangan, kubu Alexander membela diri bahwa mereka tak menyalahi prosedur ketika menjual barang dengan merek "Pierre Cardin". Alasannya, antara lain, mereka pertama kali mendaftarkan merek "Pierre Cardin" untuk barang kelas tiga pada 1977.
Kemudian, pada Februari 2004, Alexander mendaftarkan logo huruf "P" disertai tulisan "Pierre Cardin" untuk sembilan jenis barang. Pada September 2007, Alexander sekali lagi mendaftarkan nama dan logo "Pierre Cardin". Kali ini, ia merinci lebih dari 50 jenis barang kategori kelas tiga, dari parfum sampai pembersih telinga.
Angin di pengadilan berpihak kepada Alexander. Pada Juni 2015, majelis hakim Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan Pierre Cardin asli. Dalam pertimbangannya, tiga anggota majelis hakim menyatakan merek "Pierre Cardin" versi Alexander memang sama persis dengan Pierre Cardin asal Paris. Namun, menurut majelis hakim, penggunaan nama yang sama tak bisa jadi bukti bahwa Alexander sengaja mencari untung dengan membonceng ketenaran Pierre Cardin.
Gagal di Pengadilan Niaga, Pierre Cardin mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung pada September 2015. Menurut Ludiyanto, amunisi yang mereka gunakan masih sama. Mereka berkukuh menuduh Alexander sengaja mencari untung dengan menumpang pada nama Pierre Cardin yang terkenal. "Ini sama halnya seperti pembajakan," ujar Ludiyanto.
Pada November 2015, Mahkamah Agung menolak kasasi Pierre Cardin Paris. Majelis hakim mengiyakan pembelaan Alexander soal tidak adanya niat mendompleng. Menurut hakim, Alexander membuat pembeda dengan mencantumkan "product by PT Gudang Rejeki". Karena ada "pembeda", hakim menganggap unsur iktikad buruk yang ditudingkan Pierre Cardin tak terbukti. Apalagi, menurut majelis hakim, Alexander selalu mencantumkan label "buatan Indonesia".
Majelis hakim kasasi malah mempertanyakan gugatan unsur "terkenal" yang disodorkan Pierre Cardin Paris. Hakim tak mempertimbangkan popularitas Pierre Cardin ketika perkara ini disidangkan. Sebaliknya, hakim berpegang pada klaim Alexander bahwa merek "Pierre Cardin" telah didaftarkan di Kementerian pada 1977. Menurut hakim, pada tahun-tahun itu merek "Pierre Cardin" belum terkenal di Indonesia.
Suara hakim kasasi tidak bulat. Hakim anggota Nurul Elmiyah menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari ketua majelis hakim Mahdi Sororinda Nasution dan hakim anggota Hamdi. Menurut Nurul, Pierre Cardin merupakan merek yang sudah sangat terkenal di dunia, bahkan jauh sebelum barang dengan merek itu masuk ke Indonesia.
Nurul juga menilai Alexander sengaja mendompleng ketenaran Pierre Cardin untuk mencari untung. Hakim, menurut Nurul, tak perlu membuktikan unsur iktikad buruk Alexander. Hakim cukup berpegang pada etika dan moral dari hak kekayaan intelektual.
Heru Tumbelaka, pengacara Alexander, tak bisa dimintai tanggapan. Dua kali Tempo menghubungi kantor Heru di lantai 12 East Building Kawasan Bisnis Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Sekretaris di kantor hukum tersebut mengatakan Heru sedang di luar kota. "Bapak berpesan agar Tempo tidak mencari beliau," kata wanita tersebut, Kamis pekan lalu. "Tanya langsung ke Alexander saja."
Penelusuran ke rumah Alexander di Jalan Kayu Putih Utara, Jakarta Timur, juga nihil. Dalam catatan Dinas Industri Kecil Menengah DKI Jakarta, rumah di blok B nomor 10 itu merupakan kantor PT Gudang Rejeki Utama, produsen "Pierre Cardin" versi Alexander.
Ketika Tempo menyambangi rumah tersebut pada Kamis siang pekan lalu, seorang wanita keluar menyambut. Setelah tahu maksud kedatangan Tempo, ia masuk ke rumah lagi. "Bapak sedang ke luar kota," ujar si perempuan ketika keluar lagi. "Enggak pernah tinggal di sini." Beberapa tetangga dan petugas keamanan kompleks memastikan rumah tersebut milik Alexander.
Pemegang paten Pierre Cardin di Paris kini bersiap-siap mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Namun upaya hukum luar biasa itu tak menghalangi langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. "Kami siap melaksanakan putusan MA," kata Direktur Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Kekayaan Intelektual Fathlurachman. Akibat putusan ini, menurut Fathlurachman, Pierre Cardin Paris tak bisa lagi memakai merek dagang mereka untuk parfum dan barang kategori kelas tiga lainnya di Indonesia.
Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo