Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang akan membuka data 44 ribu narapidana calon penerima amnesti atau pengampunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti ICJR, Girlie L.A. Ginting, mengatakan pada dasarnya, sepakat terhadap kebijakan yang dilakukan berdasarkan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun, ICJR memiliki catatan soal transparansi dan akuntabilitas proses pemberian amnesti terjadap 44 ribu narapidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada kepentingan untuk mempublikasi data warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang akan diberikan amnesti," kata Girlie dalam keterangan resmi pada Rabu, 8 Januari 2024.
Pemerintah juga perlu memperhatikan legitimasi pemberian amnesti ini. Girlie mengatakan, perlu ada kebijakan dasar amnesti agar terdapat pertimbangan yang adil bagi 44 ribu terpidana yang akan diberikan amnesti.
"Kami memahami pemerintah akan beragumen 'amnesti bagian dari hak presiden', namun kami mengingatkan dasar amnesti diberikan karena kelebihan penghuni lapas yang terjadi bertahun-tahun," ucap Girlie.
Menurut dia, pemerintah harus berfokus pada WBP yang sedari awal tidak layak dipenjara karena kerangka hukum yang bermasalah. Untuk menjamin amnesti ini benar diberikan kepada warga binaan pemasyarakatan tersebut, harus ada dasar aturan setidaknya dalam peraturan menteri.
Dasar aturan tersebut juga untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian, serta pemberian amnesti sampai diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Tanpa kebijakan yang mengatur mekanisme pemberian amnesti, akan ada ketidakjelasan mekanisme uji ataupun komplain yang dapat ditempuh jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti tersebut," tutur Girlie.
ICJR juga menyoroti data pribadi penerima amnesti yang akan dipublikasikan oleh Kementerian Hukum. Girlie menyebut, pemerintah harus memperhatikan bahwa para WBP pun memiliki hak privasi yang tidak sepenuhnya dapat diketahui oleh khalayak umum.
"Pun yang kami minta soal transparansi adalah adanya aturan yang dapat diakses publik, proses penilaian yang ada aturan standarnya, serta mekanisme uji atau komplain yang tersedia, bukan informasi pribadi WBP," tutur Girlie.
ICJR juga mendorong komitmen pemerintah untuk menghapuskan kerangka hukum yang tidak sejalan dengan upaya penghindaran overkriminalisasi dan penggunaan penjara secara eksesif. Respons perubahan legislasi tersebut dengan dekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dalam Revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Pengguna narkotika dalam jumlah tertentu direspons dengan intervensi kesehatan oleh lembaga kesehatan, bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman," ujar Girlie.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan amnesti pada terpidana penghinaan presiden. Sehingga kriminalisasi penghinaan presiden harus juga dihapuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru.
"Yang perlu ditekankan, hal ini harus menjadi komitmen pemerintah untuk menghentikan ketergantungan dengan pemenjaraan," ucap Girlie. Pemerintah, ujar dia, harus melakukan penguatan terhadap persiapan implementasi KUHP baru yang mendorong respons nonpenjara lewat pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda.
Pilihan Editor: Bagaimana Seharusnya Menangani Anggota TNI yang Menembak Bos Rental Mobil