Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pukulan kepada Sang Wasit

Pertama kalinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha memvonis perkara berkaitan dengan kartel bidang pangan. Kementerian Perdagangan, yang disebut ikut bersalah, melawan.

31 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada reaksi berlebihan ketika majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selesai membacakan putusan, Kamis sore dua pekan lalu. Belasan direktur perusahaan impor yang hadir bersama kuasa hukum mereka langsung ngeloyor, meninggalkan ruang sidang. Demikian pula perwakilan pemerintah. Tanpa banyak cakap, mereka ikut berlalu dan tak memberi komentar kepada para wartawan yang meliput peristiwa tersebut.

Meski tak langsung memicu reaksi, putusan KPPU hari itu tak main-main. Ini putusan pertama dalam perkara dugaan kartel di bidang pangan. Sebanyak 19 perusahaan importir bawang putih dinyatakan telah bersekongkol bersama Kementerian Perdagangan. Semua perusahaan diwajibkan membayar denda dengan jumlah tertinggi hampir Rp 1 miliar. "Kasus ini pernah menyedot perhatian publik. Karena itu, kami prioritaskan," kata ketua majelis KPPU Sukarmi, Rabu pekan lalu kepada Tempo.

Selesai memutus perkara dugaan kartel bawang putih, KPPU tancap gas menyidangkan dugaan kartel dalam impor daging dan kedelai. Seperti halnya bawang putih, daging dan kedelai pernah langka di pasar dan harganya kerap melonjak. "Tunggu saja tanggal mainnya," ujar Sukarmi soal jadwal persidangan kedua kasus dugaan kartel itu.

l l l

Dugaan praktek kartel mencuat ketika bawang putih lenyap dari pasar pada Februari dan Maret tahun lalu. Kalaupun ada, kala itu harganya meroket dari sekitar Rp 20 ribu menjadi Rp 80-100 ribu per kilogram.

Nah, di tengah kelangkaan itu, terungkap sejumlah importir justru menumpuk bawang putih di gudang mereka. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, misalnya, memergoki timbunan bawang putih sekitar 600 ton di gudang dekat Jalan Muhammad Basir, Pasar Marelan, Medan. Pada saat yang sama, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pun menahan 444 kontainer bawang putih—sekitar 12.500 ton—yang tak lengkap dokumen impornya.

Saat itu, kalangan importir beralasan terlambat memasok bawang putih karena terhambat kebijakan kuota impor produk hortikultura yang diterbitkan Kementerian Pertanian pada 31 Januari 2012. Sebaliknya, menurut pemerintah, pemberlakuan kuota itu justru untuk melindungi petani dan harga dalam negeri.

Di atas kertas, maksud penerapan kebijakan kuota tampak mulia. Tapi, menurut Komisioner KPPU Sukarmi, pemberlakuan kuota untuk bawang putih impor tak tepat. Alasannya, bawang putih bukan produk pangan yang ditargetkan untuk swasembada. Produk bawang putih lokal hanya memenuhi 10 persen total kebutuhan nasional. Bawang putih lokal pun berjenis "siung tunggal", yang hanya cocok untuk bahan obat-obatan.

Mencurigai ada persekongkolan, KPPU segera melakukan investigasi. Hasilnya, ada 19 perusahaan asal Medan, Surabaya, dan Jakarta yang terjaring sebagai terlapor. Ketika kasus ini mulai disidangkan akhir Juli tahun lalu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Menteri Perdagangan turut menjadi terlapor.

Ketika sidang baru bergulir, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan melayangkan somasi ke KPPU. Dia tak terima pihaknya disebut menghambat persaingan di antara pemasok bawang putih. Menurut dia, tuduhan KPPU tak beralasan. Toh, somasi Gita tak menyurutkan langkah Komisi.

Dalam laporan dugaan pelanggaran—semacam berkas dakwaan—investigator KPPU menuduh para terlapor melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Mereka dijerat dengan pasal 11 tentang praktek kartel, pasal 19 huruf c tentang pembatasan pasokan barang ke pasar, dan pasal 24 tentang persekongkolan untuk menghambat pasokan barang memainkan harga.

Menurut investigator KPPU, indikasi praktek kartel antara lain terlihat dari pengelompokan tiga perusahaan besar yang menguasai pasokan bawang pada November 2012-Februari 2013. Sebanyak 13 importir menguasai kuota sekitar 23.500 ton (56,68 persen), 3 importir mendapat jatah 5.500 ton (14,03 persen), dan 3 perusahaan mendapat jatah 3.200 ton (10,67 persen).

Pengelompokan itu, menurut KPPU, menunjukkan hubungan afiliasi di kalangan importir. Apalagi, menurut penelusuran investigator KPPU, beberapa perusahaan dimiliki orang-orang yang masih punya hubungan keluarga. Ada pengurus yang merangkap di perusahaan lain. Ada juga perusahaan yang berbagi gudang penyimpanan bawang.

Hubungan afiliasi seperti itu, menurut investigator KPPU, mempermudah koordinasi pengaturan pasokan dan harga bawang putih di pasar. Tujuan akhirnya, tentu saja, untuk memaksimalkan keuntungan para pengusaha.

Persekongkolan di antara perusahaan, menurut investigator KPPU, juga terjadi dalam pengurusan perpanjangan surat persetujuan impor (SPI) ke Kementerian Perdagangan. Pada akhir Desember 2012, ketika akan mengurusi perpanjangan SPI, sejumlah importir memakai beberapa perantara yang sama. Kalau bukan karyawan perusahaan tertentu, mereka adalah makelar yang berkeliaran di kantor kementerian. Berkat jasa mereka, sebanyak 27 importir memperoleh perpanjangan SPI hingga akhir Februari 2013.

Di persidangan, para importir menangkis tuduhan investigator KPPU. Mereka menyangkal membuat perjanjian untuk mengendalikan pasokan dan harga di pasar. Mereka bahkan mengaku baru saling mengenal sesama importir setelah dilaporkan ke KPPU. "Tak pernah ada kesepakatan atau perjanjian antara klien kami dan pengusaha lain, baik tertulis maupun tak tertulis," tutur Iswahyudi Handoyo, kuasa hukum PT Sumber Alam Jaya Perkasa, sewaktu menyampaikan tanggapan pada Februari lalu. Iswahyudi dan kawan-kawan juga menjadi kuasa hukum PT Tunas Sumber Rezeki, importir bawang putih lain yang juga jadi terlapor.

Para importir juga membantah menunda realisasi impor agar harga bawang naik dulu. Dalih mereka, bawang impor terlambat beredar ke pasar karena prosedur dalam sistem kuota lebih rumit. Selain harus berstatus importir terdaftar, mereka harus mendapat rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian. Dalam rekomendasi ini disebutkan jenis barang, volume, dan waktu impornya. Untuk mendapatkan rekomendasi, setumpuk persyaratan harus dipenuhi. Padahal masa rekomendasi itu hanya sekitar enam bulan. Setelah mengantongi RIPH , importir harus mengajukan surat persetujuan impor ke Kementerian Perdagangan. Masa berlaku sertifikat ini lebih singkat lagi, sekitar dua bulan.

Para importir menyebutkan waktu yang disediakan pemerintah terlalu pendek. Dalam waktu normal saja, kata mereka, impor bawang putih dari Cina bisa memakan waktu 42 hari. Itu termasuk proses survei, validasi dokumen, pengapalan barang, dan pemeriksaan kepabeanan. Padahal, awal tahun lalu, beberapa sentra produksi bawang putih di Cina dilanda bencana.

Dalam sidang Februari lalu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengakui keterlambatan izin impor sebagai penyebab kelangkaan dan kenaikan harga. Ketika masa berlaku surat persetujuan impor berakhir, bawang putih masih langka di pasar. Karena itu, Kementerian Perdagangan menyetujui permohonan perpanjangan SPI untuk 27 perusahaan.

Bachrul pun mengakui perpanjangan SPI kala itu tak memiliki landasan hukum. Tapi, dia menyatakan, keputusan itu diambil sebagai terobosan setelah berkoordinasi dengan instansi lain, termasuk Kementerian Pertanian.

Setelah mendengar argumen para pihak, dua pekan lalu majelis KPPU membuat putusan. Menurut Sukarmi, unsur perjanjian yang merupakan indikasi utama kartel memang tak bisa dibuktikan. Karena itu, majelis menyatakan para importir tak terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Kepada Tempo, seorang anggota majelis Komisi menyatakan investigator KPPU kesulitan mencari bukti kesepakatan para importir. Itu karena kesepakatan tersebut tidak tertulis. "Ceritanya akan berbeda bila kami punya wewenang menyadap telepon mereka," ujar sang komisioner.

Lolos dari pasal kartel, para importir dianggap melanggar pasal persekongkolan. Menurut majelis Komisi, penggunaan perantara yang sama dalam pengurusan SPI merupakan indikasi persekongkolan itu. Importir yang seharusnya berkompetisi malah saling membantu. "Itu menunjukkan persaingan usaha yang tidak sehat," kata Sukarmi.

Majelis Komisi juga menilai pengusaha bersekongkol dengan Kementerian Perdagangan. Ketika pengusaha memakai perantara yang sama dalam mengurus SPI, Kementerian semestinya waspada. "Kementerian mesti mengecek mengapa orang yang sama mengurus perusahaan berbeda," ujar Sukarmi.

Walhasil, menurut majelis Komisi, 19 perusahaan dan Kementerian Perdagangan telah melanggar Pasal 19 huruf c dan Pasal 24 Undang-Undang Antimonopoli. Semua perusahaan dikenai denda bervariasi, dari Rp 11,67 juta sampai Rp 921,81 juta. Dasar perhitungannya, menurut Sukarmi, mengacu pada kuota impor perusahaan, keuntungan berlebih mereka, dan lamanya pelanggaran.

Iswahyudi dan kawan-kawan menyatakan keberatan terhadap putusan KPPU. Mereka menegaskan akan menggugat putusan itu ke Pengadilan Negeri Medan atas nama PT Sumber Alam Jaya dan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas nama PT Tunas Sumber Rezeki.

Undang-Undang Antimonopoli mengatur, dalam waktu 14 hari, mereka yang diputus bersalah bisa mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Bila tak puas terhadap putusan pengadilan negeri, mereka bisa langsung mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Muhammad Lutfi, Menteri Perdagangan pengganti Gita Wirjawan, juga meradang jika lembaganya disebut bersekongkol dengan importir. Menurut dia, Kementerian Perdagangan ibarat wasit yang mengatur dan mengeluarkan aturan. "Masak, wasit juga kena pukul?" ucapnya. Karena itu, Kementerian Perdagangan, kata Lutfi, akan mengajukan keberatan ke pengadilan. "Kami akan menempuh upaya hukum sampai tingkat terakhir."

Jajang Jamaludin, Pingit Aria


Satu Luput, Dua Terbukti

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjerat 19 perusahaan importir bawang putih, bersama Kementerian Perdagangan, dengan pasal berlapis dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Mereka lolos dari jerat pasal kartel, tapi dianggap melanggar pasal persekongkolan.

Pasal 11. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

==> Tidak terbukti dilanggar

Pasal 19. Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan.

==> Terbukti dilanggar

Pasal 24. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

==> Terbukti dilanggar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus