Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tsunami Chronicles: Adventures in Disaster Management
Penulis: Bill Nicol
Penerbit: Diterbitkan sendiri di California, Amerika Serikat
Tebal: 606 halaman
Tahun ini genap sepuluh tahun setelah gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Nias pada pengujung 2004. Kenangan tentang kematian, kepedihan, dan kehilangan masih terlalu nyata untuk dilupakan. Tapi, tak bisa dimungkiri, bencana yang menewaskan hampir 230 ribu orang itu juga pemicu yang kemudian melahirkan Aceh yang kita kenal sekarang.
Program rekonstruksi dan rehabilitasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu kegiatan pembangunan kembali pascabencana alam yang paling sukses di dunia. Triliunan rupiah—tepatnya US$ 7,2 miliar—yang disumbangkan warga dari berbagai belahan dunia benar-benar sampai ke tangan para korban tsunami. Korupsi bisa ditekan seminimal mungkin.
Sukses tersebut tentu tak bisa lepas dari kinerja luar biasa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias. Lembaga negara yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto—sekarang Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan—ini memang berhasil mengubah wajah Aceh pasca-tsunami.
Yang tak banyak diketahui orang adalah strategi BRR mencapai semua prestasi gemilang itu. Di tengah sistem pemerintahan yang sarat korupsi, cara kerja birokrasi yang lamban, dan kondisi lingkungan yang luluh-lantak pascabencana, BRR dan Kuntoro berhasil melakukan sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.
Nah, sekarang publik akhirnya bisa belajar dari lika-liku perjuangan BRR itu. Untuk itu, kita harus berterima kasih kepada Bill Nicol, konsultan Australia yang mendampingi Kuntoro sejak BRR masih berwujud gagasan di atas kertas. Pada akhir tahun lalu, dia menerbitkan sebuah memoar tentang pengalamannya di lembaga ini. Berjudul Tsunami Chronicles, buku ini mengupas berbagai aspek dalam proyek raksasa membangun kembali Aceh pasca-tsunami yang selama ini belum diketahui orang banyak.
Dengan analisis yang tajam dan penuturan yang terus terang, Nicol sama sekali tidak berpretensi untuk menjilat siapa pun lewat buku yang ditulisnya selama empat tahun (2008-2012) ini. Dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para petinggi lembaga donor, sejumlah duta besar, sampai para komandan Gerakan Aceh Merdeka semua dikuliti satu per satu. Bahkan Kuntoro, yang beberapa kali disebut Nicol sebagai figur yang berperan paling penting dalam rekonstruksi Aceh, juga tak selamat dari sejumlah kritik pedas di sepanjang buku ini.
Yudhoyono, misalnya, dikritik Nicol karena komitmennya yang dinilai tidak penuh dalam menyokong kerja-kerja BRR. Lemahnya sokongan Yudhoyono ini, tulis Nicol, sudah terasa sejak awal BRR dibentuk dan hampir membuat Kuntoro batal menjadi pemimpin lembaga itu (halaman 74).
Nicol menjelaskan dengan detail konflik pertama Yudhoyono-Kuntoro yang hampir membuat lembaga itu tidak sekuat desainnya semula. Ketika diminta menjadi Ketua BRR, Kuntoro memang sudah meminta sejumlah persyaratan dasar dipenuhi agar BRR bisa bekerja efektif dan tidak direcoki aktor lain dalam sistem birokrasi pemerintahan kita yang silang sengkarut.
Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Kuntoro ketika semua persyaratan itu raib dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibuat Yudhoyono sebagai dasar pendirian BRR. "Kuntoro merasa amat terganggu karena, dua hari sebelum perpu itu terbit, Presiden sudah berjanji mengakomodasi semua permintaannya," tulis Nicol.
Tsunami Chronicles terdiri atas enam bagian yang sebenarnya bisa berdiri sendiri-sendiri. Namun, seperti ditekankan Nicol dalam bab pengantarnya, pemahaman pembaca akan lebih lengkap dan utuh jika keenam bab ini dibaca semua. Kronologi pendirian BRR, misalnya, diceritakan dengan detail di bab pertama, yang berjudul "God’s Punishment".
Sebelum datang ke Aceh, Nicol adalah konsultan manajemen terkemuka di Australia. Dia dihubungi lembaga donor Australia, AusAid, hanya beberapa pekan setelah tsunami. Semula dia dikontrak untuk membantu merumuskan cetak biru pembangunan kembali Aceh, yang sedang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dua bulan kemudian, pada Maret 2005, Nicol diundang ekonom senior Bank Dunia, Joel Hellman, untuk bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto untuk pertama kalinya. Pada pertemuan itu, Nicol dan Kuntoro segera cocok satu sama lain. Di ujung rapat, Kuntoro tanpa ragu melontarkan pertanyaan perdananya kepada sang konsultan: "Apakah saya harus menerima tawaran Presiden jika dia meminta saya menjadi Ketua Badan Rekonstruksi Aceh?"
Nicol tak langsung menjawab. Dia malah balik bertanya, "Berapa usia Anda?" Kuntoro menjawab usianya 58 tahun. Mendengar itu, Nicol langsung menukas, "Kalau begitu, terimalah. Ini mungkin kesempatan terakhir Anda melakukan sesuatu yang benar-benar berarti untuk negeri Anda." Nicol tak pernah menyangka kalau pertemuan itu bakal jadi awal kolaborasinya dengan Kuntoro selama empat tahun yang panjang di BRR.
Karena ditulis oleh orang yang sehari-hari ada di garda terdepan proyek rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, buku ini penuh cerita menarik yang mungkin baru kali ini dibaca khalayak. Satu kisah menarik adalah soal persaingan antarlembaga donor dan lembaga swadaya masyarakat berlomba membangun berbagai fasilitas di Aceh yang sering kali tak mempedulikan kebutuhan riil warga.
Proyek mubazir semacam ini, kata Nicol, ada lebih dari satu. Di halaman 251, buku ini menceritakan dengan detail bagaimana AusAid dan lembaga donor Jerman, GiZ, berkompetisi membangun rumah sakit di Banda Aceh. Australia berkomitmen memperbaiki rumah sakit lama yang rusak akibat gempa, sedangkan Jerman malah membangun rumah sakit baru tak jauh dari sana.
Di Meulaboh, persaingan serupa terjadi antara lembaga donor Amerika Serikat dan Jepang. Nicol menulis khusus soal ini dalam subbab berjudul "Highway from Hell" di halaman 319. Obyek pembahasannya adalah sebuah proyek jalan sepanjang 240 kilometer yang menghubungkan Banda Aceh dan Meulaboh senilai US$ 250 juta.
Sebagai penengah, BRR memutuskan Amerika mengerjakan separuh jalan dan sisanya dibangun Jepang. Hasilnya kacau-balau karena kualitas pengerjaan kedua donor itu ternyata berbeda. Akhirnya Amerika ngotot membangun jalan yang sama sekali baru. Ini juga tak mudah karena membebaskan lahan untuk infrastruktur di Indonesia jelas bukan pekerjaan semalam. Proyek itu nyaris gagal.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti UN Habitat, World Vision, Oxfam, dan CARE juga dikecam Nicol di buku ini. Hampir semuanya gagal memenuhi komitmen membangun rumah untuk korban sebanyak yang mereka janjikan di awal masa kerja mereka. Nicol menilai penyebab kegagalan mereka adalah "terlalu banyak uang".
Yang juga menarik adalah testimoni Nicol soal politik kantor BRR yang penuh intrik. Kuntoro memang beberapa kali harus mengganti beberapa pejabat terdekatnya, sebagian karena inkompetensi, tapi lebih sering untuk menjaga keseimbangan antara—mengutip penjelasan Nicol—kubu Jawa dan kubu Aceh di BRR.
Meski Nicol membuka semua jeroan BRR tanpa ampun, kisah-kisah dalam buku ini justru memberi pelajaran yang amat berharga untuk kita semua. Semua kesulitan, tantangan, dan hambatan yang dialami BRR membuat pencapaian lembaga itu bahkan terasa lebih fenomenal. Bagaimanapun, selama empat tahun masa kerjanya, di bawah pimpinan Kuntoro, BRR berhasil membangun lebih dari 140 ribu rumah baru untuk korban tsunami, 1.000 puskesmas baru, hampir 2.000 sekolah baru, dan 3.000 masjid baru. Aceh yang kita kenal sekarang tak akan ada tanpa BRR.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo