Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT itu melayang ke meja Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin, Senin pekan lalu. Pengirimnya Indonesia Corruption Watch, lembaga yang selama ini nyaring menyuarakan kasus korupsi. Di surat itu ICW mewartakan sikapnya kepada Menteri Hamid: menarik diri dari tim perumus Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ”Kami tidak bertanggung jawab atas rancangan undang-undang itu,” demikian petikan surat yang ditandatangani Emerson Yuntho, Koordinator Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, itu.
Inilah puncak kekesalan ICW atas ketidaksetujuannya terhadap sejumlah pasal dalam RUU tersebut. Menurut Emerson, jika RUU itu disahkan, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi akan teramputasi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga bakal tergulung. ”Padahal peran dua lembaga itu sangat vital untuk memberantas korupsi,” ujarnya.
Dibahas sejak Januari 2006, RUU itu kini mendekati ujung pembahasan. Sekitar 15 orang ditunjuk Menteri Hamid menyiapkan RUU itu. Mereka antara lain wakil dari Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan ICW. Hamid menunjuk pakar pidana Profesor Andi Hamzah sebagai pemimpinnya. Menurut rencana, paling lambat Mei mendatang RUU ini bakal masuk DPR.
Jika disahkan, RUU ini bakal menggantikan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang sekarang berlaku (UU Nomor 20/2001). Berbeda dengan UU Nomor 20/2001, RUU baru ini juga mengadopsi Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa. ”Jika jadi, ini salah satu undang-undang pemberantasan korupsi paling bagus di dunia,” kata Andi Hamzah.
Ada sejumlah hal baru dalam RUU ini. Soal korupsi, misalnya, kini tak lagi dilihat dari ada-tidaknya kerugian negara, tapi bisa ”dibidik” dari penyalahgunaan wewenang. Dengan aturan baru ini, ujar Andi, jika ada pejabat menggunakan pengaruhnya untuk mengangkat seseorang menjadi direktur badan usaha milik negara, ia bisa dijerat dengan tuduhan korupsi.
Hal baru lain yang diatur adalah korupsi di sektor swasta. Kelak korupsi di instansi ini tak lagi kebal dari pemeriksaan aparat hukum. ”Selama ia berkaitan dengan kepentingan umum, polisi atau jaksa bisa masuk,” kata Hamzah. Contohnya rumah sakit atau sekolah.
Tapi, di balik sejumlah hal baru tadi, RUU ini juga menyimpan ”pasal-pasal gawat” yang bisa melempemkan kerja KPK dan menggusur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu pasal ga-wat itu adalah pasal 36 yang mengatur penuntutan.
Nah, lewat pasal inilah kewenangan KPK dipotong. Komisi ini kelak tak bisa lagi melakukan penuntutan. ”Jatahnya” hanya sampai tingkat penyidikan. Urusan penuntutan dilimpahkan ke kejaksaan. ”Ini bahaya. Sebab, selama ini banyak koruptor bebas karena lemahnya tuntutan jaksa,” ujar Emerson.
Pasal 36 ini juga bakal merontokkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Soalnya, pasal ini memerintahkan setiap kasus korupsi dilempar ke pengadilan umum. ”Saya tidak setuju dengan ketentuan ini. Soalnya, Pengadilan Tipikor tetap diperlukan,” ujar Rudy Satriyo, pakar pidana yang juga anggota tim perancang RUU ini.
Rudy mengaku, saat pembahasan pa-sal yang menyangkut KPK dan Pengadilan Tipikor itu, dia tidak hadir. ”Saya waktu itu ada urusan,” ujarnya. Rudy juga menunjuk hilangnya hukuman minimal bagi seorang terpidana sebagai kemunduran. ”Di undang-undang yang berlaku sekarang sudah bagus, minimal lima tahun penjara,” katanya. Selain tak ada hukuman minimal, RUU baru ini menghilangkan pidana mati, hukuman terberat yang selama ini bisa ditimpakan ke koruptor.
Menurut Emerson, kendati ICW tidak setuju terhadap sejumlah pasal di dalam RUU itu, pihaknya tak bisa berbuat apa-apa. ”Berdebat pun percuma, atmosfer di rapat lebih banyak mengarah ke penghapusan Pengadilan Tipikor,” ujarnya. Seorang sumber Tempo yang mengikuti rapat pembahasan RUU tersebut bercerita, rapat yang digelar di Departemen Hukum itu lebih banyak didominasi Andi Hamzah. ”Perdebatan memang kurang. Yang lain lebih banyak diam, termasuk wakil KPK dan PPATK,” ujarnya.
Andi Hamzah menolak jika dia dise-but otoriter dalam memimpin pembahasan RUU itu. Ia juga menyanggah jika RUU itu disebut suatu kemunduran. ”Mundur bagaimana? Sampai berdarah-darah kami membuat rancangan undang-undang ini,” ujarnya. Masa tugas tim pembuat RUU ini, kata dia, sudah selesai Desember lalu. ”Menteri Hukum akan mengeluarkan SK membentuk tim baru,” ujar Andi. ”Bisa saja saya tidak ikut tim baru itu.”
Kendati sudah di luar pagar, ICW punya usul agar RUU itu kelak tidak jadi masalah. Menurut Emerson, tim pimpinan Andi Hamzah harus dirombak dan diganti dengan tim baru yang anggota-nya lebih beragam. ”Tim inilah yang melanjutkan dan mengkritik RUU buatan Andi Hamzah,” kata Emerson Junto.
L.R. Baskoro
Yang Maju dan Mundur
Inilah sejumlah pasal dalam RUU Pemberantasan Korupsi yang dinilai sebagai suatu kemajuan atau kemunduran.
Yang Maju
Pasal 8
Pejabat publik dengan jabatan apa pun pada badan sektor swasta melakukan penggelapan kekayaan apa pun atau barang lain apa pun yang berharga yang dipercayakan padanya berdasarkan jabatannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250 juta.
l Aparat hukum bisa mengusut kasus korupsi pada lembaga swasta yang bergerak untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit atau perguruan tinggi.
Pasal 21
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tidak memerlukan surat izin dari presiden atau pejabat lain.
l Sebelumnya harus ada izin presiden.
Pasal 39
Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.
l Sebelumnya tidak diatur.
Yang Mundur
Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja membuat laporan palsu tentang seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi dipidana penjara paling lama 3 tahun.
l Bisa membuat orang enggan melaporkan kasus korupsi karena takut digugat balik.
Pasal 34
Kewenangan menuntut tindak pidana korupsi hilang jika telah lewat 18 tahun sejak terjadinya tindak pidana korupsi.
l Para koruptor bisa menghilang atau kabur ke luar negeri dan kembali 18 tahun kemudian dengan aman.
Pasal 36
Penyidikan dalam undang-undang ini dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diserahkan kepada jaksa penuntutan umum.
- Perkara tindak pidana korupsi yang diterima oleh kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilimpahkan ke pengadilan negeri setempat untuk diperiksa dan diputus oleh majelis hakim khusus tindak pidana korupsi.
l Pasal ini mematikan wewenang penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi sekaligus menghapuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber: Draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo