Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA tidur beralas selimut wool di atas balai-balai setinggi lutut. ”Ini seperti kamar santri,” ujarnya menggambarkan sel yang dihuninya bersama seorang tahanan lain. Tak ada kasur empuk. ”Saya nikmati saja. Anggap saja di pesantren,” ujar Nazaruddin Sjamsuddin, doktor lulusan Universitas Monash, Australia, saat dibesuk Tempo.
Tak ada pesawat televisi. ”Saya jarang nonton TV. Justru sepi yang saya cari,” katanya. Dari balik jeruji, ia sibuk menulis otobiografi politik. ”Fokusnya masa-masa saya di Komisi Pemilihan Umum,” ujarnya. Buku setebal sekitar 900 halaman itu kini hampir rampung. Ia juga coba-coba belajar melukis. ”Sudah sembilan lukisan bergaya surealis dan naturalis yang saya buat,” kata sang profesor.
Mantan anggota Badan Pekerja MPR ini tak mau makan menu tahanan. Makanan dikirim rantangan dari rumah setiap hari. Pakaian kotor juga ikut diangkut. Jam besuknya pun bisa kapan saja. Ketika mula-mula ditahan, Nazaruddin kerap menggelar rapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tahanan Polda. Mereka minta disediakan ruangan khusus untuk rapat.
Bekas Ketua KPU ini tentu saja boleh meneruskan hobi barunya, tapi bukan di ruang tahanan polisi, yang sudah ia tempati selama 22 bulan itu. Profesor Nazaruddin, 63 tahun, jika tak ada aral-melintang, Senin pekan ini menghuni ”rumah” baru. Ia mesti masuk Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. ”Mau nggak mau, akan dieksekusi. Kami sudah bosan dia mundur-mundur terus,” kata Waluyo, staf di bagian penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Tempo.
Nazaruddin selalu saja menolak apabila petugas hendak menempatkannya di penjara Cipinang. Di hotel prodeo inilah tumplek para koruptor, narapidana politik, penjahat kelas kakap, serta pemakai dan bandar narkoba. Ia tak lagi bisa berdalih dengan sejuta alasan. ”Ya, Senin (pekan ini) saya pindah ke Cipinang,” katanya dengan suara lemas.
Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia itu ditangkap KPK pada Mei 2005. Ia terlibat pengumpulan dana taktis rekanan dan asuransi bagi anggota KPU. Ia diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bersama sang bendahara, Hamdani Amin, yang divonis enam tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Oktober tahun lalu, Hamdani langsung digelandang ke penjara Cipinang.
Ia meninggal ketika baru sebulan dipenjara.
Eksekusi penjara atas almarhum Hamdani sukses dilakukan, tapi Nazaruddin? Jangan harap. Padahal, kasasinya sudah diputus Mahkamah Agung pada Agustus tahun lalu. Nazaruddin dihukum enam tahun penjara, denda Rp 300 juta plus uang pengganti kerugian negara Rp 1,06 miliar.
Ketika perintah eksekusi turun, bapak empat anak kelahiran Bireuen, Aceh, ini mengelak. ”Saya belum siap, nanti saja habis Lebaran,” katanya kepada staf bagian penuntutan KPK yang menjemputnya. Lebaran saat itu jatuh akhir Oktober, dan mestinya ia sudah ada di Cipinang sebulan kemudian. Faktanya, eksekusi gagal dilakukan. Ia lalu berkirim surat kepada eks koleganya, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Isinya minta tetap ditahan di Rutan Polda sepanjang masa hukuman. Surat ini tak dijawab Menteri Hamid.
Ketika ditemui Tempo pekan lalu, Nazaruddin mengaku tidak menghindar dari eksekusi. ”Saya tidak menolak, tapi meminta secara resmi untuk ditunda,” katanya. Kala itu, ia memakai kaus berkerah warna gelap, celana panjang biru tua, dan bersandal. ”Ada urusan keluarga,” ujarnya tanpa mau memerinci. Permintaan resmi itu diajukan melalui kantor pengacaranya beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean mengaku tak tahu soal surat Nazaruddin. ”Saya tak tahu persis, tapi pengertian penangguhan eksekusi itu tidak ada,” kata mantan jaksa ini. Tak ada kamus penundaan itu bagi KPK. Ia heran saat diberi tahu bahwa Nazaruddin belum dipindahkan ke Cipinang. ”Nanti saya tanya jaksanya dulu,” kata dia.
Lain Nazaruddin, lain pula Komisaris Jenderal Suyitno Landung. Terpidana karena menerima pemberian hadiah mobil Nissan X-Trail dari Adrian Waworuntu, yang saat itu tersangka pembobol BNI sebesar Rp 1,7 triliun, itu tak bersedia dipindahkan jaksa ke LP Cipinang, awal Februari tahun lalu. Ia batal melakukan perlawanan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis 18 bulan penjara dan denda Rp 50 juta, Oktober tahun lalu. Suyitno bisa bebas sekitar Mei 2007.
Saat hendak dibawa ke penjara Cipinang, Markas Besar Kepolisian membentengi. Petugas Kejaksaan Jakarta Selatan terpaksa balik kanan. Eksekusi baru berhasil keesokan harinya. Namun, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu dibawa oleh anggota korpsnya sendiri ke Rutan Brimob Kelapa Dua, Cimanggis, Depok. ”Penjara Cipinang kelebihan kapasitas; ini juga untuk perlindungan yang bersangkutan,” kata Kapolri Jenderal Sutanto.
Kapolri punya dalih. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 2 Februari 2007, Rumah Tahanan Polri tertentu statusnya disamakan dengan Rumah Tahanan Negara. ”Jadi, boleh untuk pembinaan,” katanya.
Pemindahan Suyitno ke Rutan Brimob juga sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Teknis Peradilan Umum Anggota Polri. ”Yang bersangkutan boleh ditahan di tempat khusus,” kata sang Jenderal.
Alhasil, Suyitno tak pernah mampir ke penjara. Polisi kukuh menyatakan bahwa tindakan mereka sudah benar. Selama diperiksa dan diadili pun, pria asal Magelang, Jawa Tengah, ini bersama Brigjen Samuel Ismoko ditahan di ruang Bagian Kejahatan Transnasional Badan Reserse Kriminal Polri, yang disulap jadi ruang tahanan. Kamar itu dilengkapi pendingin udara. ”Nggak, dia (Suyitno) nggak akan dipindah,” kata Sutanto pada Muslima Hapsari dari Tempo.
Sedangkan Ismoko, tepat di saat Suyitno dieksekusi, malah bebas. Januari lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis bebas dan jaksa menolak kasasi. Padahal, September tahun lalu, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukumnya 20 bulan penjara dan denda Rp 50 juta karena dinilai bersalah menerima cek perjalanan Rp 250 juta dari BNI.
Cipinang, toh, masih bisa dikirimi narapidana. Buron kasus Balongan, bekas Direktur Pengolahan Pertamina Thabrani Ismail, yang dicokok jaksa pada Rabu pekan lalu, sonder ba-bi-bu, langsung digelandang ke sana. Tak peduli apa pun risikonya selama mukim di penjara yang citranya menyeramkan itu.
Arif A. Kuswardono, Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo