Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI selnya di blok B rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, seorang tahanan berjalan santai menuju pintu utama. Bercelana pendek dan kaus oblong, di sakunya tersimpan telepon seluler. Mendekati pintu yang dijaga tiga polisi, pesakitan ini mengeluarkan teleponnya. ”Masuk, saya tunggu di pintu,” ujarnya lewat telepon di tangannya.
Sejurus kemudian, pintu besi tebal itu dibuka petugas. Tamu yang ditelepon sudah datang. Bak di rumah sendiri, Rabu pekan lalu itu, sang pesakitan mengajak tamunya bercengkerama di ruang tamu rumah tahanan hingga menjelang magrib. Sebenarnya ini melanggar aturan. Soalnya, di situ terpampang tulisan, ”Waktu kunjungan setiap Senin-Sabtu dari pukul 9 pagi sampai 3 sore.” Aturan memang tinggal aturan.…
Pemandangan serupa bisa pula ditemui di rumah tahanan Markas Besar Kepolisian RI. Di sini beberapa tahanan bahkan bisa membawa komputer jinjing ke dalam sel. Sejumlah sel di sana juga terhitung “mewah”. Selain berkasur busa, ada pula fasilitas penyejuk ruangan, juga dilengkapi kamar mandi di dalam.
Sel tahanan mewah ini terdapat di blok A. Di sinilah, antara lain, ”bermukim” Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah dan Direktur Utama PT Pupuk Kaltim Omay Wiraatmadja. Keduanya tengah dibelit tuduhan korupsi. Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono juga pernah menikmati sel di blok A ini. ”Pokoknya untuk para bos, ya, selnya di situ, sel eksekutif,” ujar sumber Tempo yang pernah mendekam di tahanan Mabes Polri ini selama beberapa bulan.
Jelas ada harga untuk semua kenikmatan itu. Para pesakitan ini saat pertama kali masuk ke tahanan Mabes diwajibkan membayar ”uang pangkal”. Uang itu disetor ke seseorang yang biasa dipanggil Pak RT, yang juga berstatus tahanan tapi ”dituakan”. Pak RT inilah, ujar sumber Tempo, yang menjadi penghubung antara pesakitan dan kepala rumah tahanan.
Jumlah ”uang pangkal” bervariasi dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Semua tergantung kasus yang dihadapi plus jabatan mereka. Semakin besar kasus korupsi dan semakin tinggi jabatan mereka, uang pangkal yang dikenakan semakin banyak. ”Sewaktu masuk, saya diminta Rp 25 juta,” kata sumber Tempo ini. Uang itu dipakai, istilah Pak RT, untuk ”kebersamaan” dan ”kesejahteraan” para tahanan.
Yang dijanjikan memang tergambar. Di rumah tahanan ini, selain menu makanan tak kalah nikmat dengan di rumah, tak terlihat para tahanan terkunci rapat dalam sel mereka. ”Selama saya ditahan, selama 24 jam pintu sel saya tidak pernah dikunci, “ ujar sumber itu.
Soal telepon genggam juga tak ada masalah. Kendati setiap minggu ada pemeriksaan, itu sudah diantisipasi. Pak RT ini yang mendistribusikan informasi adanya razia. Kalaupun tertangkap basah, telepon genggam bisa diminta kembali dengan membayar uang denda. Besar denda, ya, tergantung model. Makin mahal harga pesawat teleponnya, makin mahal tebusannya. “Untuk Nokia 9300 atau 9500 bisa Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu,” ujar sumber itu.
Kebutuhan biologis pun tak perlu dirisaukan. Di sini ada sebuah ruang khusus untuk soal satu ini, yang dilengkapi kamar mandi, kasur, sofa empuk, serta AC. Terletak di dekat ruang jaga, kamar khusus ini dikenal dengan—entah kenapa diberi nama—Keong Emas. Menurut sumber Tempo lainnya, untuk memakai Keong Emas, para tahanan membayar Rp 300-400 ribu.
Apakah uang yang dikumpulkan Pak RT ini mengalir ke kantong para polisi? Ini yang tak jelas. Sumber Tempo mengaku “organisasi RT” ini memang sangat rapi. “Seolah-olah mereka bergerak tanpa campur tangan petugas,” ujarnya. Pengacara Eddie Widiono, Maqdir Ismail, menolak jika kliennya disebut-sebut menyetor uang selama tinggal di sana. Menurut Maqdir, ia memang pernah mendengar isu adanya pungutan uang itu. “Namanya juga isu, tidak bisa dipastikan kebenarannya.”
Kepala Rumah Tahanan Mabes Polri, Ajun Komisaris Besar Polisi Titin Darmiyatin, tak bersedia memperjelas hal ini. “Saya tidak berwenang menjawab pertanyaan wartawan,” kata Titin saat ditemui di ruang kerjanya. Juru bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam menegaskan, tak ada pungutan terhadap para tahanan. “Pengawasan di rumah tahanan Mabes Polri ketat,” katanya.
Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo