UNDANG-undang merek yang baru (tahun 1992) mulai menelan korban. Sejak Senin pekan lalu, Pepen Arifin Akas pedagang jamu di Sukabumi, Jawa Barat diadili di Pengadilan Negeri Cibadak, Sukabumi. Pepen, 41 tahun, dituduh memproduksi dan memperdagangkan jamu Cap Bajing tanpa hak. Merek jamu untuk kencing manis itu milik Nyonya Saliah. Dengan Pasal 82 Undang-Undang Merek (UUM) terbaru, Pepen bisa diancam hukuman 5 tahun penjara plus denda Rp 50 juta. Ancaman yang cukup seram ini sama sekali tak ada dalam undang-undang sebelumnya, tahun 1961. Semasa undang-undang lama, tindak pidana merek hanya dijaring dengan KUHP. Hatta, jamu Cap Bajing adalah salah satu warisan mendiang Yap Tjo Ong. Jamu tradisional untuk menyembuhkan penyakit kencing manis ini terkenal di Sukabumi sejak 1928. Hingga sekarang, konsumen jamu seharga Rp 2.000 itu tersebar di Sukabumi, Karawang, sampai Surabaya. Dulu, Ong punya dua istri, Nyonya Icih dan Nyonya Saliah. Sejak Icih meninggal pada 1989, usaha jamu itu diteruskan Saliah. Dia pula yang mendaftarkan jamu dan merek Cap Bajing ke kantor Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek, juga ke Departemen Kesehatan, pada tahun 1991. Sampai sekitar awal 1993, tutur putri Saliah, Nyonya Rina, 51 tahun, bertubi-tubi ia menerima keluhan dari konsumen. Mereka memprotes soal harga yang dianggap terlalu mahal. Padahal, jamu serupa di pasaran hanya seharga Rp 800. Usut punya usut, rupanya jamu berharga Rp 800 itu meniru jamu Cap Bajing milik Saliah. ''Tindakan itu jelas merugikan kami sekaligus menjatuhkan citra merek Cap Bajing,'' kata Nyonya Rina. Produsen jamu versi Rp 800 ternyata bukan orang jauh. Ia masih saudara Nyonya Rina. Persisnya, ya, si Pepen itu, yang cucu Ong dari istri pertama. Karena upaya kekeluargaan tak membuahkan hasil, akhirnya Pepen diperkarakan. Sejak 31 Juli lalu, ia ditahan di rumah tahanan Sukabumi. Pepen mengaku tak bersalah. ''Saya kan cuma meneruskan usaha ayah saya, yang memang berhak menggunakan merek Cap Bajing,'' ujar ayah seorang anak itu. Ia merujukkan dalihnya ke isi wasiat mendiang Ong, tertanggal 2 Maret 1978. Dalam wasiat itu disebutkan, jika salah seorang atau kedua istri Ong meninggal, hak jamu itu turun ke anak lelaki mereka. Nah, ayah Pepen, Yusuf Akas, adalah anak pertama Nyonya Icih. ''Justru pihak Nyonya Saliah yang tidak jujur. Mereka sendirian saja mendaftarkan merek itu ke kantor paten dan merek, tanpa mengikutsertakan ayah saya,'' sambungnya. Tentang mutu dan harga jamunya, Pepen enteng saja bilang, ''Kalau bisa dijual murah, apa salahnya? Kan untuk kepentingan konsumen juga.'' Bakal dipidanakah Pepen? Yang jelas, kasus pertama penerapan UUM itu tak urung menyiratkan beberapa kejanggalan. Pepen cuma dijaring ketentuan pidana UUM untuk perbuatannya sejak 1 April 1993. Agaknya, ini disesuaikan jaksa dengan ketentuan undang- undang tersebut, yang mulai diberlakukan pada 1 April 1993. Padahal, Pepen mengusahakan jamu tiruan itu sejak 1991. Selain itu, jaksa agaknya kurang optimistis dengan keampuhan UUM. Soalnya, ia masih mencantumkan Pasal 386 KUHP (mengusahakan barang tiruan/palsu) dalam dakwaan subsider. Mungkin untuk jaga-jaga kalau UUM tak mempan. ''Ya, terserah pengadilan, dakwaan mana yang dianggap terbukti,'' ucap Jaksa Martono. Happy Sulistyadi dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini