HATI-HATI jika punya anak gadis: kecil maupun remaja. Di sekitar kita ini mungkin berkeliaran calon-calon pemerkosa, yang sulit dideteksi. Satu lagi korban jatuh, gadis berusia 8 tahun di Sunter, Jakarta Utara. Namanya, ya, kita sebut saja Eni, biar tersamar. Gadis kecil tanpa dosa itu kini tertular penyakit kelamin. Pemerkosanya, Eddy Suito, 52 tahun, sudah dihukum 6,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis dua pekan lalu. ''Vonis itu terlalu ringan. Saya tak puas,'' ujar orang tua korban. Kalau diikuti ''gejolak masyarakat'', memang ada kesan bahwa hukuman buat pemerkosa sangat ringan. Sedihnya, banyak anak- anak jadi korban nafsu binatang lelaki yang pantas jadi kakeknya. Tak ada angka resmi, tapi, berdasarkan catatan TEMPO, selama 1992 saja tak kurang dari 20 gadis kecil menjadi korban keganasan seks liar. Beberapa di antaranya malah tewas dibunuh. Pada Februari 1992, misalnya, 9 orang gadis berusia sekolah dasar dari kampung Kramat Pulo, Jakarta, diperkosa guru les Bahasa Inggrisnya di bawah ancaman. Masih pada bulan yang sama, seorang gadis berusia 5 tahun dari Pengalengan, Bandung, nasibnya jauh lebih tragis. Setelah diperkosa, si bocah dibunuh. Di Desa Simpang Ketenang, Bengkulu Utara, Desember 1992, korbannya gadis berusia 13 tahun disekap berhari-hari untuk melayani nafsu pemerkosanya. Tragis. Anehnya, hakim selalu memvonis ringan pelaku pemerkosaan. Tak kurang Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Prof. Muladi, juga mengecam ringannya hukuman. ''Jika mereka dihukum ringan, pemerkosaan bisa merajalela di negeri ini,'' kata Muladi. Muladi juga menilai terlalu ringan hukuman buat Eddy Suito. Ia mempertanyakan kenapa tak dijatuhi hukuman maksimal (ancaman hukuman maksimal perkosaan adalah 12 tahun), padahal hakim punya alasan untuk menghukum berat. Yang bisa dijadikan alasan pemberat adalah korban masih di bawah umur, menderita lahir batin, dan tertular penyakit kelamin. Kejadian yang menimpa Eni berlangsung 20 November 1992. Seperti biasanya, sore itu Eni, yang masih duduk di kelas I SD, diajak memancing ke Danau Sunter. Suasana sepi karena daerah sekitarnya adalah kawasan pergudangan dan pabrik. Seperti terungkap dalam sidang, nafsu Eddy menggelegak begitu melihat Eni membuka celana untuk pipis. Usai kencing, Eni dirayu Eddy agar mau dipangkunya. Takmenaruh curiga, Eni pun menurut. Saat itulah Eddy melepaskan hajatnya secara paksa. Sampai di rumah, Eni mengeluh kepada ibunya bahwa kemaluannya sakit dan berdarah. Bermula dari sinilah kasus itu terbongkar. Di persidangan, Eddy, duda lima anak, bekas sopir angkutan kota, mengakui terus terang perbuatannya. Ia melakukan itu karena tak kuat menahan gejolak berahinya yang lama terpendam. Ia mengaku amat menyesal, begitu mengetahui korban berdasarkan visum RS Sukmul Tanjungpriok tertular penyakit kelamin. Soetatmo Hadibroto, salah seorang anggota majelis hakim yang mengadili Eddy, tak sependapat jika disebut hukuman Eddy terlalu ringan. Di persidangan, katanya, yang terbukti bukan perkosaan, tapi persetubuhan dengan anak di bawah umur. ''Kami tak menemukan unsur paksaan atau kekerasan,'' katanya. Ibu korban (sebut saja Desi) tak bisa terima. Ia menganggap hukuman itu tak sebanding dengan derita yang dialami anaknya. Lewat Pengacara Martinus Tambunan, ia bermaksud menuntut ganti rugi secara perdata. Ia juga menuntut Eddy mau menanggung biaya operasi selaput dara. Sampai pekan lalu, rincian gugatan masih disusun pengacaranya. Dalam menanggapi rencana gugatan itu, Hakim Soetatmo merasa heran. ''Dia kan sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Lagi pula, uang dari mana, wong dia sudah ndak punya pekerjaan lagi, kok,'' kata Soetatmo. Ia menyebut, kasus menggugat pemerkosa sangat langka. Untuk menghitung jumlah kerugian akan sulit. Karena itu, jika nanti Desi menuntut secara perdata, Soetatmo memperkirakan bakal ramai perdebatan hukumnya. Prof. Muladi juga menyebutkan, dalam kasus perkosaan sulit sekali dirumuskan secara nyata kerugian materiil yang diderita korban. Ia belum pernah dengar ada pemerkosa dimintai ganti rugi materi. Kebetulan hukum kita memang tak mengatur. Tapi itu bukan berarti seorang pemerkosa tak bisa dituntut secara perdata. ''Cuma, jika pengacaranya tidak dapat merumuskan secara nyata kerugian materiil yang diderita akibat perkosaan, sulit sekali korban mendapat ganti rugi,'' kata Muladi. Diam-diam, ada hakim yang berani membuat terobosan. Ia adalah Ida Bagus Adnyana, ketika itu bertugas di Pengadilan Negeri Medan. Pada Agustus 1988, Adnyana kini berdinas di Surabaya menghukum Idris untuk membayar ganti rugi Rp 4 juta kepada gadis yang telah diperkosanya. Padahal, Idris sudah dihukum 6 bulan kurungan. Waktu itu banyak ahli hukum mempertanyakan apakah hanya sebesar itu harga keperawanan seseorang. Adnyana, tak goyah dengan suara sinis itu. Apa pun alasannya, kata Adnyana, seorang korban pemerkosaan layak mendapat ganti rugi. Soal ganti rugi memang layak dipikirkan. Tapi yang tak kalah pentingnya, apakah ancaman hukuman pemerkosaan yang 12 tahun (itu juga jarang sekali diterapkan) tak perlu ditambah dalam KUHP baru nanti agar pemerkosa tak merajalela? Aries Margono, Nunik Iswardhani (Jakarta), Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini