Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELUARGA besar Daeng Toba bersiap kembali menggelar unjuk rasa. Sasaran mereka tak tanggung-tanggung, dua tempat penting di Balikpapan, yakni Bank BNI dan pelabuhan penyeberangan Karingau. ”Kalau masalah ini tak selesai, kami akan menutup akses jalan ke sana,” ujar Sumaria, 43 tahun, anak sulung Daeng Toba. Bulan lalu mereka sudah berunjuk rasa di halaman Bank BNI.
Inilah buntut kemelut antara Daeng Toba dan PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP). Kemelut ini tak hanya menyeret ASDP hingga ke Mahkamah Agung, tapi juga BNI. Keluarga Daeng menuding bank pemerintah ini ”bermain mata” dengan ASDP, sehingga hak mereka untuk menikmati keuntungan ASDP lenyap. ”Mereka menipu kami,” kata Sumaria.
Kasus ini bermula pada 1970, saat Mayor Daeng Toba, yang kala itu menetap di Sulawesi Selatan, ditugaskan di Kalimantan Timur. Setelah beberapa tahun bertugas di sana, atas jasanya sebagai anggota Pejuang Merah Putih, Daeng mendapat hadiah dari pemerintah Kalimantan Timur. Bukan berbentuk duit, tapi tanah 7,5 hektare di Somber, Batuampar, Balikpapan.
Beberapa tahun setelah memperoleh tanah itu, Daeng pulang ke kampungnya. Tanah miliknya dipinjamkan ke Pemda Kalimantan Timur. Oleh pemda, tanah itu, antara lain, dipakai untuk lahan bongkar-muat truk pengangkut pasir dan aspal saat pembuatan jalan raya Balikpapan-Samarinda. Saat Daeng kembali ke Balikpapan pada 1980, di atas tanahnya sudah berdiri pelabuhan penyeberangan Somber yang dikelola PT ASDP Balikpapan.
Daeng pun menuntut haknya. Kepada ASDP, bapak empat anak itu meminta bagi hasil pengelolaan pelabuhan itu. Permintaannya tak digubris. Kemudian ia melanjutkan tawaran berikutnya, pihak ASDP membeli saja tanah miliknya tersebut. Lagi-lagi tawaran ini tak berjawab. Sampai Daeng meninggal pada 1984 karena diabetes, tanah tersebut tetap dalam genggaman ASDP.
Lantaran melihat ASDP tak punya itikad baik, anak-anak Daeng membawa kasus ini ke meja hijau. Perjuangan mereka tak sia-sia. Pada 2004 Mahkamah Agung, lewat putusan kasasinya, menyatakan Daeng pemilik tanah tersebut. Pihak ASPD pun lantas memindahkan pelabuhan itu ke Kariangau, sekitar tujuh kilometer dari Somber. Adapun lahan bekas pelabuhan Somber kini dikuasai keluarga Daeng Toba. Kini tak ada aktivitas bongkar-muat apa pun di pelabuhan itu. Pelabuhan Somber sudah mati.
Rampung di urusan tanah, ternyata tak diikuti mulusnya pembagian keuntungan ASDP dari pengelolaan Somber. Inilah yang membuat keluarga Daeng berang. ”Padahal kesepakatan pembagian itu dibuat secara tertulis,” ujar Burhanuddin, salah satu sesepuh keluarga Daeng Toba. Kesepakatan itu dibuat, kata Burhanuddin, saat kasus gugatan tanah Somber itu masuk pengadilan.
Menurut Burhanuddin, kesepakatan itu terjadi setelah digelar pertemuan antara Pemerintah Kota Balikpapan, Polresta Balikpapan, PT ASDP, dan keluarga Sumaria pada 2002. Isinya, keluarga Daeng akan mendapat bagian dari pengelolaan Pelabuhan Somber. Saat itu diputuskan pula untuk membuat rekening bersama (escrow account) di Bank BNI Cabang Pandansari, Balikpapan, atas nama Anton H.L. Enoch, Direktur ASDP, dan Burhanuddin sebagai wakil keluarga Sumaria. ”Saat itu Kepala BNI Pandansari, Arsyad Dusky, juga hadir,” ujar Burhanuddin. Hanya, kata Burhanuddin, ketika itu ia tak diminta membubuhkan tanda tangan apa pun.
Dalam kesepakatan bersama itu, ujar Burhanuddin, disebutkan hasil retribusi kendaraan roda empat menjadi milik keluarga Sumaria. Adapun uang parkir akan dibagi dua, sampai keluar putusan tetap pengadilan. ”Kesepakatan itu menyebutkan, menurut ketentuan perbankan, rekening itu hanya bisa dicairkan dengan setahu keluarga Sumaria, ASDP, dan BNI,” katanya.
Bertahun-tahun Burhanuddin selalu mengecek saldo di rekening bersama itu. Duit yang masuk, setiap hari, bervariasi dari Rp 7 juta sampai Rp 10 juta. Pada Desember 2006, saat terakhir Burhanuddin mengecek, saldo dalam rekening tercatat Rp 2,4 miliar. Tapi, sebulan kemudian, ”Rekening itu sudah kosong. Dananya dialihkan ke rekening ASDP,” kata Burhanuddin. Burhanuddin menuduh pihak ASDP dan BNI menipu mereka. Kasus ini pun kini bergulir ke kantor polisi.
BNI Pandansari mengaku tak ada yang salah dalam penarikan rekening itu. Menurut juru bicaranya, Jacob Untung, rekening bersama yang disebut-sebut keluarga Daeng Toba itu memang hanya mencantumkan tanda tangan wakil ASDP. ”Tidak ada nama perwakilan Sumaria sesuai dengan hasil kesepakatan perwakilan Daeng Toba, ASDP, dan BNI,” kata Jacob. ”Pembukaan dan penarikan rekening sudah sesuai dengan prosedur,” katanya.
BNI pusat sudah turun tangan memeriksa perkara ini. Menurut Kepala Bank Indonesia Balikpapan, Causa Iman Kirana, pihaknya kini menunggu hasil pemeriksaan itu, termasuk pemeriksaan terhadap Arsyad Dusky. Yang jelas, ujar Causa, Bank Indonesia tetap akan ”mengaudit” kasus ini. ”Nanti akan terlihat, ini melanggar Undang-Undang Perbankan atau tidak,” ujarnya. Adapun pelaksana harian Kepala ASDP Balikpapan Beni Prayogo menolak mengomentari kasus ini.
Ditemui Tempo pekan lalu, Kepala Kepolisian Resor Kota Balikpapan, Ajun Komisaris Besar Polisi Gde Sugianyar, menyatakan ada kejanggalan dalam proses pembukaan rekening itu. Rekening itu, ujar Gde, hanya mencantumkan nama dan tanda tangan wakil ASDP. ”Padahal, dalam kesepakatan disebutkan, perlu tanda tangan ASDP, Daeng Toba, dan BNI,” kata Gde. Sampai kini polisi baru memeriksa Burhanuddin. ”Anton H.L. Enoch sudah meninggal dan Arsyad Dusky dipindahkan ke Bogor,” ujar Gde.
Entah kapan kasus lenyapnya ”duit bersama” ini menjadi terang. Menurut pakar perbankan Pradjoto, kasus semacam ini tak mungkin terjadi tanpa terlibatnya orang dalam. ”Orang bank pasti tahu, pembukaan dan pencairan rekening bersama harus ditandatangani semua pemilik rekening tersebut,” ujar staf ahli Jaksa Agung itu. Pekan-pekan ini Sumaria tetap tak mengendurkan ancamannya. Keluarganya akan terus menggelar demo sampai uang mereka kembali. ”Kami telah dizalimi,” ujar perempuan itu.
I G.G. Maha Adi, Sri Wibisono (Balikapapan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo