Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTAK surat suara itu masih tersimpan di dalam kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tenggara di Jalan Pahlawan, Kutacane, ibu kota Aceh Tenggara. Masih terkunci rapat dan tersusun rapi di lorong ruang utama kantor tersebut. Belum dibukanya kunci kotak itu menandakan hasil pemilihan belum direkap.
Pada 11 Desember lalu warga Aceh Tenggara memang menggelar ”pesta demokrasi”, memilih bupati mereka. Sekitar 114 ribu warga di kabupaten yang terletak di kaki Gunung Leuser itu memberikan suara. Hasilnya, suara terbanyak diperoleh pasangan calon dari PKB dan PDIP, Hasanuddin-Syamsul Bahri (33 ribu), suara terbanyak kedua diraih calon dari Golkar, Armen Desky-Salim Fakhry (30 ribu), dan sisanya terbagi untuk tiga calon lain.
Sesuai dengan jadwal, mestinya rekap hasil pemilihan itu dilakukan pada 17–21 Desember 2006. Namun, Komisi Independen tak melakukannya. Karena tak kunjung direkap itulah, Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh turun tangan mendesak Komisi Independen Aceh Tenggara segera mengeluarkan hasil perhitungan suara itu. Namun, desakan ini berbuntut lain. DPRD Aceh Tenggara menuding Komisi Independen Provinsi ikut campur tangan.
Tak hanya berhenti di situ, pada Januari lalu para wakil rakyat di sana membawa kasus ini ke meja hijau. Mereka menggugat KIP Provinsi Aceh sebesar Rp 1 miliar lantaran dianggap ikut campur masalah Aceh Tenggara. Perkara ini sampai kini masih bergulir di Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Adapun hasil pemilihan itu ternyata tetap saja tersimpan dalam kotak. Belakangan, muncul pernyataan mengejutkan dari Komisi Independen dan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Tenggara. Kedua lembaga ini menyatakan keberatan dengan hasil pemungutan suara tersebut. ”Kami menemukan keganjilan,” kata Amirinsyah, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Tenggara.
Amirinsyah mengatakan, salah satu keganjilan itu adalah adanya pergeseran kertas suara antartempat pemungutan suara. Ini, menurut dia, melanggar aturan. ”Hampir di semua tempat pemungutan suara,” katanya. Dia juga mengaku menemukan sekitar 1.500 kertas suara yang dicetak di luar order di Kecamatan Bambel. ”Biar adil, maka pemungutan suara harus diulang,” ujar Ketua Divisi Hukum KIP Aceh Tenggara, Rudi Hartono Pulungan. Penjabat Bupati Aceh Tenggara, Rajidin, dan Ketua DPRD Aceh Tenggara, Umuruddin Desky, menyetujui usul pemilihan ulang itu.
Maka, pada medio Januari lalu, melayanglah surat permohonan pengulangan pemungutan suara ke Pengadilan Negeri Kutacane. Surat itu diteken Ketua KIP, Rasitu Desky. Menurut Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Kutacane, Abdul Murad, alasan permohonan itu adalah Hasanuddin dianggap melakukan praktek politik uang dalam pemilihan bupati. ”Dia memberi Rp 1 juta untuk seorang tokoh masyarakat di Bambel,” katanya.
Permohonan Komisi Independen ini dikabulkan PN Kutacane. Akhir Januari lalu, Ketua Pengadilan Negeri Kutacane, Henky Hendradjaja, mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa pemilihan bupati harus diulang. Menurut Abdul Murad, pengadilan berani menangani masalah ini karena ada permohonan dari Komisi Independen Pemilihan. ”Ini juga sesuai dengan rekomendasi dari DPRD, Panitia Pengawas Pemilihan, juga Muspida,” katanya.
Di lapangan, penetapan pengadilan ini membuat masalah baru. Masyarakat terbelah jadi dua kelompok: pendukung Hasanuddin dan Armen. Rabu pekan lalu, saat Tempo ke Kutacane, ketegangan dua kelompok pendukung itu terlihat jelas di beberapa tempat, seperti di warung makan atau kedai kopi. Para pendukung Hasanuddin dan Armen terlihat saling adu urat leher, bahkan saling mengeluarkan ancaman.
Menurut Ketua Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh, Muhammad Jafar, kasus Aceh Tenggara muncul karena petugas tidak netral. Dia menduga anggota KIP, Panitia Pengawas Pemilihan, dan DPRD di sana mendukung salah satu calon. ”Penyelenggara juga tidak berani menolak permintaan pihak tertentu yang berpengaruh di sana,” ujarnya. Ketidaknetralan itu, kata Muhammad Jafar, merembet hingga pengadilan. ”Akibatnya, hakim sampai bertindak melampaui kewenangannya,” katanya.
Pengadilan Negeri, kata Jafar, seharusnya tak berhak menetapkan pengulangan pemilihan bupati. ”Yang berhak Pengadilan Tinggi,” ujarnya. Karena itu, kata Jafar, Pengadilan Tinggi dan Komisi Yudisial harus turun tangan menindak hakim yang mengeluarkan putusan pemilihan bupati di Aceh Tenggara itu harus diulang.
Koordinator Gerakan Antikorupsi Aceh, Akhiruddin Mahyuddin, bahkan menilai telah terjadi mafia peradilan dalam kasus ini. ”Tak mungkin seorang hakim mempertaruhkan kredibilitasnya jika tanpa diiming-imingi uang dan kedudukan,” katanya. Menurut Akhiruddin, sejumlah aparat penegak hukum di sana telah memihak salah satu calon bupati yang ternyata kalah. ”Di sana ada satu klan yang sangat berkuasa dan banyak uang,” katanya. Pekan ini, Gerakan Antikorupsi Aceh akan membawa kasus ini ke Komisi Yudisial.
Lalu siapa ”tertuduh” dalam kasus ini? Hasanuddin memastikan yang melakukan adalah calon yang kalah. ”Mereka berkomplot menyerang saya,” ujar calon bupati yang kini masih menjabat Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Tengah ini.
Salah satu calon bupati yang kalah melawan Hasanuddin, Armen Desky, mengaku dirinya memang meminta pemungutan suara tersebut diulang. ”Bersama dua calon bupati lain saya minta diulang karena kami melihat kejanggalan,” katanya. Dia membantah tuntutannya sebagai bentuk protes atas kekalahannya. ”Saya tidak mencari kemenangan, tapi menuntut keadilan,” ujar bekas Bupati Aceh Tenggara periode 2001–2006 itu.
Armen juga membantah bahwa dia telah ”menekan” hakim sehingga muncul penetapan pengulangan pemungutan suara itu. Sebagai bekas bupati, ujarnya, jika mau, ia bisa berbuat curang agar bisa menang dalam pemilihan tersebut. ”Tapi, tidak saya lakukan. Saya ingin demokratis,” katanya. Menurut Armen, perintah pengadilan agar pemilihan bupati itu diulang harus dilakukan. ”Jika tidak, saya akan protes.”
Namun, Muhammad Jafar tak yakin Komisi Independen Pemilihan Aceh Tenggara berani melakukan pemilihan ulang. ”Dari mana mereka mengambil anggarannya?” katanya. ”Kalaupun memakai anggaran pendapatan belanja daerah, itu berarti korupsi.”
Kasus pemilihan Bupati Aceh Tenggara ini bisa jadi masih akan berkepanjangan. Sampai pekan lalu, kantor Komisi Independen Aceh Tenggara tetap saja sepi. Tak terlihat sedikit pun kegiatan yang menunjukkan tanda-tanda bakal ada pemilihan ulang. Menurut seorang pegawai Komisi, setiap pagi utusan Hasanuddin selalu datang untuk mengecek keberadaan kotak suara itu. ”Saat ini, suasana sangat panas. Jadi, apa pun bisa terjadi,” kata Hasanuddin.
Nurlis E. Meuko, Hambali Batubara (Kutacane), Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo