Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUWARNA Abdul Fatah menyambut hukuman atas dirinya dengan senyum. Begitu ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Gusrizal, mengetukkan palu, Gubernur Kalimantan Timur nonaktif ini segera menebarkan senyumnya kepada pengunjung sidang. Tak terlihat raut terkejut, apalagi sedih, di wajah pria 62 tahun ini.
Bisa jadi itu karena vonis hukuman tersebut kecil bagi dirinya. Sebelumnya, jaksa memang menuntut Suwarna tujuh tahun penjara. Jaksa mendakwa Suwarna melakukan korupsi proyek ”program satu juta hektare kelapa sawit” yang membuat duit negara amblas Rp 346 miliar. Kamis pekan lalu, hakim ternyata mengganjar Suwarna hanya 18 bulan penjara plus denda Rp 200 juta. Walau vonis itu melorot jadi lebih ringan, ketua tim pengacara Suwarna, Otto Hasibuan, langsung mengajukan permohonan banding.
Tak hanya meminta banding, Suwarna sudah menyiapkan ”serangan balik” terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang menyeretnya ke kursi pesakitan. Tindakan ”pemerasan” yang dilakukan dua bekas penyidik KPK-lah yang dijadikan ”amunisi” Suwarna untuk ”menembak” KPK.
Awal Maret lalu, Suwarna sudah membawa kasus ini ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Agung. Dua bekas penyidik KPK yang dilaporkan itu adalah Komisaris Besar Djaswardana dan Ajun Komisaris Besar O.H. Napitupulu. Djaswardana kini bertugas di Markas Besar Kepolisian RI, sementara Napitupulu bertugas di Kepolisian Daerah Jawa Barat. ”Laporan itu masih dikaji,” ujar Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hendarman Supandji.
Pemerasan itu terjadi sekitar satu setengah tahun lalu. Saat itu kasus korupsi lahan kelapa sawit tersebut baru menggelinding ke tahap penyelidikan. Belum ada tersangka dan penyelidik KPK masih terus mengumpulkan bukti. Ulah para penyidik itu diungkap Suwarna kala membacakan pembelaannya pada 8 Maret lalu.
Saat itu, 28 Oktober 2005, pertama kali dia diperiksa KPK. Di tengah pemeriksaan yang berlangsung di gedung KPK di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, ujar Suwarna, Kepala Satuan Tugas V KPK Napitupulu tiba-tiba memanggil Budi Pranowo, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Seperti Suwarna, Budi saat itu sedang diperiksa.
Beberapa saat berbincang dengan Na-pitupulu, Budi kemudian mendatangi Suwarna. Di tangannya ada dua kertas berwarna kuning berisi pesan Napitupulu. Pada lembar pertama ada tanda tangan Napitupulu dan di situ tertulis: ”Yth. Gub Kaltim. Saya dapat titipan Kombes Djaswardana soal pembelian Rumah Dinas eks. kanwil Diknas Kaltim, untuk mohon bantuan Pak Gubernur. Mohon bantuan. Jkt 28-10-05.”
Adapun pada lembar kedua tertulis: ”Kombespol Djaswardana Dir. Reskrim Polda Jabar Eks. KPK.” Di kertas ini tertulis nomor telepon seluler Djaswardana yang bisa dihubungi. Djaswardana memang pernah menjadi penyidik KPK.
Kendati Suwarna di depan Napitupulu menyatakan siap membantu, kenyataannya permintaan itu tak pernah dia penuhi. ”Kalau bantuan itu diberikan, sama saja ilegal, karena terkait dengan pemeriksaannya,” kata Sugeng Teguh Santoso, pengacara Suwarna.
Menurut Sugeng, sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pejabat yang melakukan tugas penyidikan dilarang meminta kepada siapa pun terkait dengan penyidikan itu. Soal belum dilakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ini, ujar Sugeng, itu bukan karena keinginan Djaswardana sebagai peminta bantuan. ”Tapi karena Suwarna tidak mau memberikan bantuan. Kalau diberikan, perbuatan korupsi itu kan sudah terjadi,” katanya.
Wakil Ketua Umum Serikat Pengacara Indonesia ini yakin ada hubungan antara penolakan Suwarna memberikan bantuan dan penetapan statusnya sebagai tersangka. Alasan Sugeng, sebagai ketua tim yang memegang kasus lahan sawit itu, Napitupulu punya kewenangan menjadikan Suwarna tersangka. ”Ini bisa dibaca karena Napitupulu tidak berhasil memenuhi permintaan Djaswardana sebagai atasannya,” ujar Sugeng.
Sugeng berharap Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membongkar kasus ini mengingat hal serupa pernah dilakukan penyidik KPK, Ajun Komisaris Polisi Suparman, saat memeriksa kasus PT Industri Sandang Nusantara. Suparman belakangan dihukum delapan tahun penjara karena terbukti melakukan pemerasan. Sugeng melihat kasus ”pemerasan” oleh penyidik KPK ini seperti fenomena gunung es. ”Mungkin banyak juga pejabat yang diperiksa KPK mengalaminya, tapi tidak melaporkannya,” ujarnya.
Kendati kasus tersebut terjadi saat Djaswardana bertugas di KPK, komisi ini tampaknya tak akan memeriksa mantan penyidiknya itu. Sejak September 2005, Djaswardana sudah tidak lagi di KPK. Dia menjabat Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Barat. Adapun Napitupulu pada Oktober 2006 menyatakan undur diri dari KPK. ”Jadi Pengawasan Internal KPK saat ini tidak bisa lagi memeriksa baik Djaswardana maupun Napitupulu,” ujar juru bicara KPK, Johan Budi S.P. Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas juga menolak mengomentari kasus ini. ”Saya tidak tahu lebih jauh soal itu,” ujarnya.
Masalah ini tampaknya telah berdampak pada Djaswardana. Dua pekan lalu, setelah kasus ini ramai di media massa, ia dimutasi ke Markas Besar Polri. Posisinya semula, Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Barat, akan diisi Komisaris Besar Tatang Soemantri, yang kini Direktur Reserse Kriminal Polda Yogyakarta.
Djaswardana, yang sebelumnya dikenal terbuka kepada wartawan, kini tertutup. ”Pimpinan saya sudah tahu permasalahannya. Saya tidak mau bicara masalah itu lagi,” katanya saat dihubungi Tempo pekan lalu. Klik, ia kemudian memutuskan pembicaraan. Napitupulu juga seperti menghilang. Dua kali Tempo mendatangi ruang kerjanya di lantai dua Markas Polda Jawa Barat, mantan penyidik KPK itu tak kelihat-an. Telepon selulernya juga hanya mengeluarkan nada panggil.
Suwarna bertekad akan terus memperkarakan ”kelakuan” dua bekas penyidik KPK itu hingga mereka dibawa ke meja hijau. Ia mengaku sengaja membeberkan tindakan dua polisi itu dalam pembelaannya. ”Ini memang bom waktu untuk KPK,” ujar purnawirawan bintang dua TNI Angkatan Darat tersebut.
Dimas Adityo, Sandy Indra Pratama, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo