Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Revolusi cewek jepang

Gadis-gadis remaja di jepang melancarkan semacam aksi menuntut pula kebebasan seperti dilakukan pria. bahkan buka- bukaan secara gawat.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAMA disko menggetarkan Tokyo Dome, di jantung ibu kota Jepang. Ini pesta disko ''Avex Rave 1993'' di arena yang biasa dipakai sebagai tempat pertandingan baseball. Di otachidai, lantai dansa, ribuan cewek bersimbah peluh menggenjot tubuhnya mengikuti erangan musik. Perhatikan lagi penampilannya. Gadis-gadis itu mendandani dirinya dengan bikini satin warna warni atau rok super pendek. Celana dalam model T itu pun cekak. Ada yang maunya lebih sopan, mengenakan baju terusan. Begitu ketat, sehingga potongan tubuhnya kentara. Bahan kaus mengepas di badan, plus tanpa lengan, menonjolkan perangkat tubuh yang ranum itu. Itulah pemandangan yang meriuhkan Tokyo, malam awal Agustus lalu. Ketika itu, sebuah perusahaan compact disc menyelenggarakan ''Avex Rave 1993'', pesta disko semalam yang, konon, terbesar di dunia. Bukan jumlah tamu puluhan ribu orang yang jadi gunjingan. Tapi sekitar 35 ribu cewek berusia belasan sampai 20-an tahun naik ke pentas, seraya berlomba memamerkan aurat. Masyarakat Jepang menyebut mereka dilanda demam otachidai. Maksudnya, ajojing dengan pakaian minim. ''Saya senang berajojing di atas panggung. Rasanya, menang dari cewek-cewek lain,'' ujar gadis 22 tahun yang kita sebut saja Reiko Chihara. Gadis lain, Kanori Funahashi, 18 tahun, bersama empat kawannya, siswi kelas III SMA, juga naik ke panggung yang posisinya lebih tinggi dari kursi pengunjung itu. Ada juga putri-putri yang malu-malu kucing kendati pakaiannya seronok. Wartawan media cetak dan televisi mengabadikan pesta disko itu. Kamera-kemeranya sigap merekam gaya perempuan dengan baju ala kadarnya itu, sedangkan yang dibidik cuek saja. ''Malah kalau ada fotografer hendak memotretnya, banyak cewek sengaja membuka kedua kakinya,'' begitu dilaporkan Shizuko Ito, pembantu TEMPO yang meliput acara itu. Boleh jadi gadis-gadis itu berlomba memamerkan kemerdekaannya dan keakuannya. Celetuk seorang wartawan, ''Ini zaman wanita bebas menentukan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya.'' Dan demam itu bukan penyakit semalam. ''Paling tidak 2-3 kali seminggu saya ke diskotek, ramai-ramai dengan teman sekantor,'' kata Reiko, yang tubuh semampainya ditutup semacam kutang dan celana dari bahan renda. Reiko mengaku ke diskotek bukan untuk nanpa, atau cari jodoh, melainkan melepaskan diri dari rutinitas kerja yang bikin stres. Ia ini karyawati perusahaan dagang kecil di Tokyo. Baik Reiko maupun Kanori mengaku mengeluarkan 30 ribu-40 ribu yen, atau sekitar Rp 570 ribu-Rp 760 ribu sebulan untuk membeli baju disko. Musim otachidai ini lahir di Juliana Tokyo diskotek terbesar di Jepang di kawasan Shibaura, Minato. Di sinilah katanya muncul para pelopor keberanian naik lantai diskotek dengan baju yang lazimnya untuk kamar tidur atau kolam renang itu. Pihak Juliana Tokyo yang berusia dua tahun itu tak menjelaskan apakah mereka yang merekayasa keberanian berotachidai. Bayarannya dikutip 5.000 yen (sekitar Rp 100 ribu) untuk cewek dan 5.500 yen untuk pria. Di akhir pekan, tamunya mencapai 5.000 orang, padahal kapasitasnya tak sampai sepertiga. Tapi itulah berkah otachidai. Karena larisnya, pihak pengelola Juliana Tokyo menyatakan, ''Saingan kuat kami hanya Tokyo Disneyland.'' Demam gaya Juliana Tokyo kini menular ke diskotek di berbagai kota di Jepang. Wartawan TEMPO melaporkan wabah itu sudah melanda Nagoya, Kyoto, Osaka, sampai Kota Utsunomiya, provinsi utara Tokyo, dan Kota Fukuoka di Pulau Kyushu. Di Diskotek Maharaja Gion di depan kuil Yasaka, Kyoto, atraksinya lebih gawat. Dalam suasana yang makin panas, cewek-cewek berani membuka celana dalamnya dan melemparkan ke penonton. Pasar otachidai ini boleh jadi membuat kening berkerut bila ingat budaya wanita Jepang. Dulu, mereka dipagar oleh petuah orang tua semacam ''kebahagian wanita adalah menikah, melahirkan, dan mengurus anak''. Atau para suami di Jepang yang memperkenalkan istrinya dengan sebutan kanai orang rumah. Benarkah kini ada ''revolusi secara diam-diam'' di Jepang, seperti disinyalir guru besar psikologi Sumiko Iwao? Dalam bukunya yang baru terbit, The Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality, ia menyebutkan, munculnya peran, kesempatan, dan aspirasi baru di kalangan wanita yang dilakoni tanpa konfrontasi. Dalam konsep keluarga, umpamanya, kini wanita enggan punya anak hingga angka kelahiran jatuh dan banyak yang menolak perkawinan. Tentu gadis-gadis otachidai ini tak mewakili wajah kaum wanita Jepang. Namun, cewek yang belum bersuami ini tampaknya menuntut pula kebebasan seperti dilakukan pria. Umpamanya dalam mengurus kelaminnya. Dulu, wanita (termasuk kelaminnya) masih dikuasai pria, dalam arti dijadikan mesin untuk melahirkan anak, tapi kini wanitalah yang menguasai dirinya. Kadang kemerdekaan itu bisa kelewatan. Juli tahun silam, contohnya, sebuah majalah wanita terkemuka An-an memberi lowongan istimewa. Yaitu dipotret telanjang oleh Kishin Shinoyama, fotografer spesialis nudis. Dalam dua bulan, 1.626 cewek berusia antara 22 dan 24 tahun melamar. Lulus 19. Kemudian, sosok tubuh itu terpampang di An-an edisi September 1992. Mereka hanya mendapat tas kecil dan payung. Bukan mencari materi, rupanya. Tapi mengejar kepuasan yang belum jelas. Bunga Surawijaya dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus