Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pagi yang biasa

Banyak kisah kemiskinan dan tragedi yang mengenaskan menjelang hut proklamasi kemerdekaan ri, seperti kasus mogok murid sd, upah buruh minimum, dan kematian marsinah.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA bulan purnama awal Agustus digelar pameran tunggal lukisan Makoto Nakamura di Yogya. Lukisan-lukisannya berlandaskan Konsep Tesselation, yakni ''sejenis pola desain berupa pengulangan motif yang sama dengan pengisian bidang tanpa celah''. Beberapa motif lukisannya mengingatkan kita kepada motif kimono dan batik. Lukisan-lukisan yang mempesona, cerah, dan kaya warna. Dan Makoto sendiri orangnya lugu dan kurus, hanya senyum- senyum saja lantaran tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Pembukaan pameran tersebut cukup sederhana dan manis. Ditampilkan apa yang dinamakan musikalisasi puisi, yakni deklamasi dengan iringan gitar yang serasi. Seronok memang. Sastrawan Landung Simatupang membuat pengantar yang menggetarkan hati dengan caranya sendiri, yang dibacanya dengan bagus sekali, diiringi oleh suara gitar adiknya, Lana Simatupang. Judulnya, Untuk ''Pagi Yang Biasa'' Makoto Nakamura. Karya Nakamura Pagi yang Biasa adalah pagi yang bening, cerah meriah, dan adik manis menyiram bunga. Pagi yang Biasa-nya Landung adalah problem sosial, merisaukan, dan bergelimang kemiskinan. Koran Kedaulatan Rakyat edisi 2 Agustus memuat berita tentang uang gedung di SD Tanjung III, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, dengan judul ''Uang gedung dinilai tinggi, 38 murid SD mogok sekolah''. Diadakanlah pertemuan antara orang tua murid dan pihak sekolah dan diputuskan siswa kelas I, II, dan III dikenai uang gedung Rp 4.000 dan kelas IV, V, dan VI dikenai Rp 6.000 per murid. Uang tersebut untuk membuat gapura, memperbaiki meja kursi, dan memesan dua lemari. Berhubung tak ada undangan resmi, banyak orang tua murid yang tak hadir. Ada orang tua yang menjual kambing untuk pelunasan itu, Saman yang miskin dan cacat tangannya harus menjual kalung istrinya untuk melunasi Rp 20.000 bagi empat anaknya. Uang gedung tersebut dinilai terlalu tinggi oleh banyak orang tua. Sebagian orang tua murid mau memindahkan anaknya ke SD Kutukan VII Randublatung, dan memang ada tempat. Tapi mereka ditolak karena tak punya surat keterangan pindah. Sebanyak 13 orang tua murid mendatangi SD Tanjung III untuk meminta surat pindah, tapi kepala sekolah tidak ada. Di hari lain, kepala sekolah dapat ditemui, tapi sudah hadir pula di situ Kepala Desa dan Polsek Kedungtuban. Kata Sakimin, ''Kami, 13 orang yang meminta surat pindah, itu malah dianggap mendirikan gerombolan oleh Pak Kades.'' Akhirnya sebanyak 38 anak memutuskan mogok sekolah. Mereka memilih tidak sekolah lalu membantu orang tuanya menggembala kambing dan mengambil kayu bakar di hutan. Landung mengangkat kisah tersebut dengan manis. ''Tetapi lalu inilah berita koran pagiku, Saudara Nakamura: Tiga puluh delapan murid SD mogok sekolah, tanggal 31 Juli, menjelang bulan ulang tahun kemerdekaan negeri kami yang keenam-kali-delapan kali.'' Memang, kisah yang berkaitan dengan kemiskinan bisa muncul di sembarang pagi. Pada suatu ''Pagi yang Biasa'' diberitakan kematian Marsinah, karyawan PT Catur Putra Surya (CPS), Siring, Porong. Suatu kisah kematian yang misterius dan mengenaskan di kawasan hutan Nganjuk tanggal 8 Mei lalu, tiga bulan menjelang Ulang Tahun Kemerdekaan. Perempuan ini ditemukan mati di gubuk pinggir jalan di Desa Jedong. Di sekujur tubuhnya ada bekas luka memar. Alat vitalnya membengkak, selaput daranya pecah bekas ditusuk benda tumpul, bukan akibat perkosaan. Marsinah memang getol memperjuangkan hak-hak kawan-kawannya dan rela menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja. Dia adalah salah satu dari 13 karyawan CPS yang diberhentikan secara paksa. Mereka disuruh menandatangani surat pengunduran diri secara paksa dan disertai ancaman, dua hari setelah mereka unjuk rasa. Kawan-kawannya kos sesama buruh di Siring membacakan surat Yasin untuk membantu pencarian pembunuh Marsinah. Memang cukup banyak ''Pagi yang Biasa'' yang mengenaskan walaupun kedengarannya tidak dramatis seperti kasus Marsinah dan anak-anak SD yang mogok sekolah. Begitu banyak pegawai golongan I di Jakarta yang tidak sanggup masuk kantor setelah tanggal 15. Setelah mengalami kenaikan baru-baru ini, gaji pegawai negeri golongan I A adalah Rp 78.000, Rp 83.600, dan Rp 89.200 berturut-turut untuk masa kerja 1, 3, dan 5 tahun. Untuk ongkos transpor dan makan siang diperlukan Rp 1.700 atau lebih sehari, dan gaji sudah habis sebelum tanggal 15. Mudah-mudahan para pembesar di Jakarta berusaha memecahkan masalah kemiskinan di kantornya masing-masing. Kiranya tidak sia-sia mereka jadi pembesar. Pada berbagai perusahaan begitu banyak kasus upah minimum yang rendah yang masih di bawah kebutuhan fisik minimum tapi toh tidak dipenuhi oleh pengusaha. Dan begitu banyak diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Dewi Susilastuti melaporkan bahwa upah pekerja wanita dalam sebuah industri kulit cukup rendah di Daerah Istimewa Yogyakarta (survei 1992). Pendapatan pekerja perempuan per hari rata-rata Rp 976, sedikit di bawah upah harian minimum yang ditetapkan pemerintah, sebesar Rp 1.000. Upah terendah Rp 500 sehari, tertinggi Rp 2.500. Pada suatu ''Pagi yang Biasa'' ada berita tentang sebuah kasus di DI Yogyakarta: ''Masih Ada Perusahaan di Sleman yang Beri Upah Buruh Percobaan Rp 250 per Hari''. Jadi, kurang dari 15 sen dolar Amerika sehari. Sama dengan sekali naik bus kota. Sumber informasi adalah Dwi Siswanto, anggota DPRD Tk II Sleman. Berita tersebut dimuat di harian Berita Nasional tanggal 2 Agustus 1993, ketika orang sudah mulai latihan baris- berbaris menyongsong Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-48. Upah pegawai tetap hanya Rp 750 sehari di situ dengan kenaikan Rp 200 tiap tahun. Keselamatan kerja juga kurang memenuhi persyaratan. Makoto Nakamura sang, cerita kami sampai di sini. Kisah-kisah kehidupan ekonomi yang sukses juga banyak di Indonesia, dan terdapat sederetan orang yang kayanya luar biasa, tapi cerita ini lain kali saja. Semoga Anda selamat kembali pulang ke Jepang. Kami sungguh menikmati karya-karya Anda yang memanfaatkan Konsep Tesselation itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus