Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya dililit urusan pulsa, PT Telkom mesti juga menyelesaikan masalah dana airtime, yakni biaya penggunaan frekuensi yang harus dibayar pelanggan seluler setiap kali melakukan panggilan atau pelanggan telepon tetap kalau memanggil telepon seluler. Kalangan pengusaha warung telekomunikasi (wartel) mampu mengumpulkan duit yang amat besar dari jasa ini, mencapai Rp 17 triliun yang disetor sejak 2002. Tapi mereka tidak bisa mendapat bagian sesuai yang diharapkan.
Kini kalangan pengusaha wartel yang jumlahnya mencapai 400 ribu mulai meributkannya. Dasarnya adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 46/2002 tentang Warung Telekomunikasi. Di situ dinyatakan 10 persen dari dana airtime menjadi hak pengusaha wartel. Aturan ini merevisi Kepmenhub Nomor KM 46 /1998 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi, yang menyatakan tagihan airtime sepenuhnya milik operator seluler.
Prakteknya, operator seluler baru sepakat membagi dana airtime pada Oktober 2004. Setahun kemudian, duit itu benar-benar dibagikan. Kalau dihitung-hitung, semestinya kalangan pengusaha wartel memperoleh bagian sekitar Rp 1,7 triliun. Ternyata mereka hanya menerima Rp 104,65 miliar yang dibagikan untuk sekitar 128 ribu wartel.
Rupanya tidak semua wartel mendapat bagian duit airtime. ”Data itu hasil pendataan resmi yang diakui,” kata Rasyid Mapparenta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) periode 2002–2005. Hitungannya berdasarkan jumlah perjanjian kerja sama antara Telkom dan pengusaha wartel berkualifikasi A atau memiliki minimal empat kamar bicara umum. Pendataan dilakukan oleh sebuah lembaga pemeringkat yang telah disetujui oleh APWI, operator seluler, dan Telkom.
Dana airtime kemudian dikirim dengan wesel pos ke alamat masing-masing wartel. Ternyata jumlahnya sudah dipotong oleh APWI. Pengusaha wartel seharusnya memperoleh 10 persen duit airtime yang pernah disetornya, tapi yang mereka terima jauh dari itu. Martias Dawi, misalnya, hanya mendapat dana airtime Rp 625 ribu dari APWI. Padahal, dia telah menyetor sekurang-kurangnya 30 juta selama tiga tahun. ”Potongannya tidak jelas. Tak ada penjelasan maupun perincian. Ini kan aneh,” kata pengusaha wartel di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, ini.
Itu sebabnya, kalangan pengusaha wartel berang. Sebuah asosiasi di luar APWI lalu mengadukan pengurus APWI, Telkom, dan sejumlah operator seluler ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Desember lalu. Tuduhannya: melakukan kongkalikong untuk menyunat dana pengusaha wartel.
Kalau tuduhan itu benar, bukan hanya pengurus APWI yang terjerat, tapi juga pejabat Telkom dan sejumlah operator seluler. Apalagi, Telkom hanya mengajak APWI sebagai wakil pengusaha wartel. Padahal, pada 2002, APWI sudah ditolak oleh Menteri Perhubungan Agum Gumelar sebagai satu-satunya wakil pengusaha wartel.
Namun, APWI juga mempunyai alasan untuk berperan. ”Kami diajak karena waktu itu kami yang menuntut pembagian dana airtime. Selain itu, kami juga organisasi pertama pengusaha wartel,” kata Rasyid. Dalam anggaran dasar APWI memang disebutkan bahwa setiap pengusaha wartel yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Telkom otomatis menjadi anggotanya.
Menurut Rasyid, posisi pengusaha wartel sebenarnya lemah. ”Dalam perjanjian kerja sama tidak disebut hak atas dana airtime,” katanya. Itu sebabnya, APWI kemudian menggalang demonstrasi di Telkom dan Departemen Perhubungan, menuntut pembagian dana airtime. ”Semua biaya berjuang itulah yang kini diganti dengan memotong jatah dana airtime,” ujar pengusaha wartel di kapal-kapal penumpang itu. Dia pun mengatakan, diperlukan pula biaya untuk pengumpulan data airtime yang dilakukan orang Telkom. ”Kalau Telkom tak dibayar, apa mereka mau jalan?” kata Rasyid.
Telkom sendiri lepas tangan. Menurut Muhammad Awaluddin, Kepala Bagian Komunikasi Perusahaan PT Telkom, seluruh tagihan sudah beralih kepada operator seluler sejak 1998. ”Kalau sekarang ada sangkaan korupsi, itu tanggung jawab APWI, ” ujarnya.
Kini Komisi Pemberantasan Korupsi sedang menelaah kasus ini. ”Ya, saya sendiri memang yang menerima pengaduan,” kata Wakil Ketua KPK Amin Sunaryadi. Menurut dia, kasus ini menarik karena menyangkut dana besar. Sejumlah saksi pun sudah diperiksa. ”Kami juga sedang mengumpulkan informasi dari masyarakat mengenai masalah ini,” kata Direktur Penyelidikan KPK Iswan Helmi.
Arif A. Kuswardono, Olivia Sinaga, Dewi Rahmarini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo