Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana mendung menyelimuti kantor pusat PT Telkom di Jalan Japati, Bandung, Jumat pekan lalu. Tak seperti biasa, banyak karyawan bergerombol, berbincang dengan mimik serius. Tak ada senda-gurau. Satu eksemplar Koran Tempo dibaca secara bergantian hingga kusam. ”Wah, Pak John Welly akhirnya ditahan polisi,” ujar seorang karyawan Telkom. Hari itu, ratusan karyawan kantor pusat BUMN itu sibuk membicarakan nasib direksi mereka. Kantor bertingkat delapan yang megah itu terasa muram.
Ya, John Welly, Direktur Sumber Daya Manusia dan Pengembangan PT Telkom, Rabu pekan lalu akhirnya ditahan polisi. John Welly meringkuk di sel tahanan Kepolisian Daerah Jawa Barat. Menurut Ajun Komisaris Besar Polisi Suwarto dari Direktorat Reserse dan Kriminal, penahanan ini terkait dengan dugaan korupsi di PT Telkom senilai ratusan miliar rupiah. ”Ada manipulasi pulsa yang dilakukan Telkom dengan teknologi voice over Internet protocol (VoIP),” ujar Suwarto. Aksi tipu-tipu ini melibatkan PT Mobisel, salah satu perusahaan rekanan Telkom yang mendapat izin sebagai penyelenggara koneksi telepon seluler, dan sebuah operator VoIP dari Singapura bernama Globalcom.
Dua pekan lalu, polisi mencokok Komarudin Sastra K. (bekas Direktur Operasional dan Pemasaran PT Telkom), Dodi Sudjani (bekas Kepala Divisi Network PT Telkom), Endi Prijanto (bekas Kepala Probis VoIP), Johan Sudibyo (Direktur Utama PT Mobisel), dan Rudy Martinez (Direktur Keuangan PT Mobisel).
Menurut Kepala Polda Jawa Barat, Inspektur Jenderal Polisi Edi Darnadi, kasus ini terungkap lewat penyelidikan selama enam bulan. Dari investigasi polisi plus informasi dari ”orang dalam”, terungkaplah adanya pencurian pulsa sambungan langsung internasional (SLI) dan sambungan langsung jarak jauh (SLJJ).
Para tersangka dari PT Telkom sesungguhnya mengetahui hal ini. Mereka juga tahu adanya anomali lonjakan trafik lokal Mobisel. ”Anehnya, tidak ada tindakan apa pun dari PT Telkom,” kata Edi.
Kejahatan itu terjadi pada 1999-2002. Ketika itu PT Telkom melakukan kerja sama dengan Mobisel tentang interkoneksi untuk VoIP. Dalam prakteknya, Telkom dan Mobisel melakukan kongkalikong dalam memanipulasi sambungan langsung internasional (SLI) menjadi tarif lokal. Edi Darnadi memperkirakan, negara rugi ratusan miliar rupiah akibat penyelewengan ini.
Kini polisi juga tengah membidik Globalcom. Operator VoIP dari Singapura ini dinilai ikut menggangsir pendapatan Telkom dengan merekayasa pulsa VoIP. Globalcom diduga kuat menggunakan E1, sebuah perangkat transmisi data, suara, dan visual, untuk memanipulasi pulsa Telkom. Aksi ini mencurigakan karena saat itu, 1999-2002, Globalcom tak mendapat lisensi sebagai operator VoIP dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
Pada Februari lalu, Tempo mendapat dokumen audit investigasi kerja sama Telkom dengan Globalcom. Dalam dokumen yang ditandatangani CT Manager Wholesale dan VAS Telkom, Agus F. Abdillah, dan General Manager Sub-Divisi VoIP Telkom, Bambang Lusmiadi, disebutkan ada lima penyimpangan. Aksi tersebut berlangsung pada periode 2001-2003. Polisi juga memanfaatkan dokumen tersebut sebagai basis penyidikan mereka.
Dalam dokumen itu diungkapkan, antara lain, Globalcom telah melakukan koneksi langsung dengan gerbang trunk Jakarta-3 Telkom. Ini berarti Globalcom memasuki jaringan public switch telephone network (PSTN). Padahal pemerintah melarang koneksi telepon Internet melalui jaringan PSTN.
Penyimpangan lain terjadi dalam penetapan tarif. Pihak Telkom sebenarnya menemukan adanya pola sewa E1 yang jauh lebih rendah dari tarif resmi Telkom. Pelanggaran pun sering dilakukan. Ketentuan internal Telkom menyebutkan, keterlambatan membayar tagihan akan didenda sebesar 0,1 persen per hari. Telkom juga berhak menutup trafik Globalcom bila tidak membayar sampai batas waktu yang ditetapkan. Dalam prakteknya, pasal ini tidak pernah dilaksanakan oleh Proyek Bisnis VoIP Telkom, meskipun telah terjadi tunggakan melebihi batas waktu yang ditetapkan.
Masih dalam dokumen tersebut, disebutkan berdasarkan nota dinas internal 30 September 2002 seharusnya 18 E1 bekas Globalcom harus dicabut karena Globalcom merupakan operator VoIP ilegal. Namun, lewat nota dinas Kepala Probis VoIP, kepemilikan 18 E1 bekas Globalcom dialihkan ke Proyek Bisnis VoIP Telkom untuk kebutuhan internal. Persoalannya, E1 yang sudah tersambung ke perangkat distribusi digital Probis VoIP itu tidak dikoneksikan ke gerbang Probis VoIP, melainkan dihubungkan langsung ke gerbang telepon Internet Globalcom.
Direktur Utama PT Telkom saat itu, Kristiono, membantah tudingan bahwa Telkom menderita kerugian dalam kerja sama VoIP dengan Globalcom. ”Kami hanya melakukan penyesuaian harga trafik VoIP dengan tarif pasar,” katanya, Februari 2005 silam.
Kristiono, yang kini menjadi Komisaris Bursa Efek Jakarta, mengatakan keputusan itu diambil karena harga pasar ketika itu sedang turun. ”Ini justru mencegah hilangnya pendapatan trafik yang lebih besar,” tuturnya. Kristiono juga tidak membantah adanya pembelokan E1 milik Globalcom. Tapi pembelokan tersebut semata-mata adalah ”deviasi di lapangan”. Kebetulan suatu saat kualitas telepon Internet di satu titik tidak bagus sehingga dipindahkan ke titik lain.
Toh, polisi berkukuh bahwa kongkalikong antara Telkom, Mobisel, dan Globalcom telah merugikan negara ratusan miliar. Menurut Edi Darnadi, para tersangka akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Keputusan Menteri Nomor 4 Tahun 2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 Pembangunan Telekomunikasi Nasional.
Melalui kuasa hukumnya, Adnan Buyung Nasution, PT Telkom membantah telah melakukan korupsi pulsa ini. ”Ini terkait dengan teknologi baru yang berkembang sejak tahun 1999 yang disebut VoIP,” ujar Adnan Buyung. Menurut dia, saat Telkom mulai merintis bisnis VoIP pada 1999, belum ada produk hukum yang mengaturnya. ”Aturan mengenai VoIP baru ditetapkan Menteri Perhubungan pada 2002,” katanya.
Buyung juga mengatakan, jika Telkom tidak berkecimpung dalam bisnis VoIP, Telkom akan kehilangan sumber pendapatan baru. Buyung menyayangkan keputusan berbisnis ini justru telah ”dikriminalisasi” dengan menetapkan kliennya sebagai tersangka. Dia pun meragukan kemampuan polisi dalam menyidik kasus VoIP. ”Meskipun jenderal atau kolonel, belum tentu mereka memahami bisnis VoIP ini,” katanya.
Andi Kelana, pengacara Mobisel, juga membantah tudingan polisi. Menurut dia, saat Mobisel melakukan bisnis VoIP dengan Telkom pada 1999, tak ada regulasi soal teknologi tersebut. ”Bagaimana mungkin Mobisel dianggap melakukan korupsi,” ujarnya. Andi juga meminta polisi tak langsung menyatakan Mobisel melanggar aturan Menteri Perhubungan soal VoIP. Apalagi, Ditjen Pos dan Telekomunikasi, pihak yang dianggap Andi paling mengerti soal VoIP, tak dilibatkan dalam penyidikan ini.
Namun, Kapolda Jawa Barat Edi Darnadi membantah anggapan anak buahnya ”gaptek” alias gagap teknologi soal VoIP. ”Yang saya tahu, justru dengan teknologi itulah mereka memanipulasi pulsa,” katanya. Edi juga menegaskan, polisi bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan dalam mengevaluasi kerugian negara dalam proyek ini.
Bola panas korupsi VoIP masih bergerak liar. John Welly bisa jadi bukan tersangka terakhir yang dicokok polisi. Beberapa nama lain di Telkom kemungkinan akan menyusul. Begitu pula deretan petinggi Globalcom, yang hingga kini masih nyaman di negeri jiran Singapura. Edi Darnadi telah berjanji tak akan pilih bulu. ”Kami akan menyeret semua pihak yang terlibat.”
Setiyardi, Efri Ritonga (Jakarta), Rana Akbari dan Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo