Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ganti acara, supaya afdol

Bulan ramadhan tahun ini sekolah umum tidak libur. acara ramadhan di pesantren yang biasa diramaikan oleh murid sekolah umum tetap berjalan. (ag)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEPAS Ramadhan, dunia pesantren akan kembali kepada kehidupannya yang "normal Ramadhan memang bukan hanya bulan-bulan lapar tapi bulan ibadah dan kehidupan pesantren pun mengalami penyesuaian. Pondok Krapyak, Yova, misalnya. Pesantren yang didirikan tahun 1909 oleh KHM Moenauwir ini (dan terkenal antara lain spesialisasinya dalam menghafal Qur'an), di bulan puasa meliburkan seluruh madrasahnya. Sebagai gantinya diadakan 'pengajian umum'. Tahun ini pengajian umum diikuti separohnya oleh santri pondok yang tidak pulang, separohnya lagi olehmasyarakat sekitar, para pendatang dari Gunung Kidul (50 orang, para santri dari pondok lain, misalnya Gontor, kemudian para tamu dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta. Tetapi kalau di Pondok Krapyak materi pengajian urllum sudah ditentukan, di Pondok Pabelan, Muntilan, mereka yang datang dipersilakan memilih. Karena itu di sini disediakan lebih banyak guru untuk acara Ramadhan -- 52 orang, sementara di Krapyak cukup 10 orang. Qiraat Sab'ah Adapun yang tidak meliburkan sekolahnya adalah Pesantren Suryalaya--5 km dari Tasikmalaya. Sekolah di sini terdiri dari SMP, SMA, PGA, Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), di samping TK. "Bulan puasa belajar bukan problim," kata Zainal Abidin Anwar, Ketua Majelis Harian di situ. "Malah kalau libur sekolah, kegiatan di sini lebih menonjol." Hanya saja, akhirnya toh diny,atakannya bahwa anak-anak di bulan puasa ternyata kurang kenakalannya di banding waktu lain. "Mungkin karena mereka lapar. Kita sendiri juga mengajar santai-santai saja." Pesantren Suryalaya didirikan oleh Abah Sepuh alias Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad tahun 1905, dikenal dekat dengan para pejabat. Anak-anak pejabat banyak dikirim ke sini sewaktu-waktu, dan juga mereka yang morfinis. Karena tak adanya liburan puasa, anak-anak dari kota sudah menyerbu ke sini pada liburan sebelum Ramadhan - meski hanya tercatat 200 orang. Toh menyambut puasa ada pengajian khusus--pengajian soragun dari orang luar yang membutuhkan, baik untuk kitab tertentu, Qur'an maupun Hadis. Bahkan di bulan puasa ada tambahan ekstra pelajaran Qiraat Sab'ab tujuh aliran bacaan Qur'an. Tetapi agaknya tak ada yang lebih semarak dalam mengisi bulan ibadah dibanding Pesantren Tebuireng Jombang, salah satu yang terhitung paling tua dan berwibawa. Di sini, meskipun suasana rentu sudah jauh berubah sejak didirikannya pesantren oleh KH Hasyim Asyari di tahun 189, tapi khusus untul bulan puasa masih diteruskan tradisi lama membaca berbagai kitab oleh berbagai kyai. Sukseskah acara itu? "Aneh", komentar Abdul Rahmau Ismall, Phnpinan Majlis Tarbiah Watta' Jim Pesantren. "Jumlah santri yang datang justru lebih banyak dari tahun lalu. Tahun lalu S00-an, tahun ini hampir seribu." Mengapa? "Kami belum meneliti -- tapi mungkin, antara lain, karena program Ramadhan ini sudah kami edarkan scbulan sebelum puasa." Dalam jadwal itu sudah tercantum nama S kyai dan 33 ustaz yang akan "membaca" 42 jenis kitab. Itulah barangkali sebabnya mengapa banyak juga anak sekolah wllum datang -- sampai kira-kira 10% atau 100-an orang padahal seharusnya mereka tidak libur. Acara pasan ini, yang tahun ini dirohah dari sistim wetor seperti tahun-tahun lalu, memang khas. Akan terlihat pemandangan seorang kyai duduk di masjid, membaca kitab standar dengan cara seakan-akan sedang mengulang seluruh pelajaran. Di hadapannya puluhan atau ratusan orang duduk bersebar seenaknya, kadang dengan bantal di bawah slku atau pada dagu, mendengar sambil memberi catatan pada kitab. Suasananya khusyu', setengah mengantuk, tapi bekas. Karena santri bisa memilih kitab tapi yang akan "dibaca" (dan berarti juga memilih gurunya), maka ada pembacaan kitab yang hanya diikuti 20-an orang. Tapi ada yang sampai tahun, seperti di aula madrasah di Islam KH Samsuri Badawi, yang terkenal dengan ilmu hadisnya membaca himpunan hadis Bukhari. Suasana itu agak berbeda dengan di luar Jawa. Di Pesantren Darul Ma'arif, di Desa Ateuk Kecamatan Aceh Besar, pengajian umum diadakan lepas tarawih dan berlangsung sampai subuh. Dan biayanya pilihan mereka, di pesantren milik Tengku Muhammad Zamzami (41 tahun) yang baru berdiri 1968 ini--adalah Ilmu Manthiq (Logika). Tapi tahun ini pengunjung tidak sebanvak sebelumnya. "Ini jelas pengaruh tidak liburnya anak-anak sekolah umum," kata Tgk Muhammad Amin Afti (32 tahun), pengurus pondok. Dan akhirnya ia berkata: "Tapi sebenarnya kita yang terlambat menyesuaikan jadwal." Suasana lengang juga tampak di pesantren Tengku Daoed di Desa Darul Iman dengan 400 santri. Walaupun hari sudah siang, para santri toh belum keluar dari bilik asrama yang berdinding pelepah rumbia dan berlantai papan pohon pinang. Juga di Sulawesi Selatan. Pesantren DDI (Darul Da'wah wal Irsyad) di Ujung Lare, Pare-Pare, yang tahun-tahun sebelumnya ramai dikunjungi di bulan puasa, kini sunyi seperti dikatakan drs.Abd Muiz Kabry, Sekjennya, itu disebabkan karena tah adanya liburan sekolah umum -- sedang acara di bulan puasa hampir seluruhnya murid DDI ke daerah-daerah yang membutuhkan. DDI, yang berpusat di sini, punya 140 cabang dan 560 pesantren kecil. Muridnya kebanyakan dari Masalembu (Pangkalan, Madura), Jambi, Riau, Sul-Teng, KalTim, Ujung Pandang, dan Pare-Pare sendiri. Didirikan 1947. Dalam alam tradisional, Ramadhan memang hampir merupakan bulan pembalikan waktu kerja dari siang ke malam--sementara orang tidur di siang hari. Suasana ini masih terasa lebih-lebih di luar Jawa, di berbagai pesantren yang umumnya kecil-kecil dan selalu berusia muda. Di Pesantren Al Falah misalnya, terletak di Km 23 Banjarmasin, dari 250 santri yang belajar di situ iulan puasa kemarin tinggal 4 orang. "Semua pulang kampung," kata Sapuani (18) yang hampir sendirian di kampus yang didirikan di tahun 1976 itu. Jadi mengapa Sapuani tak mau pulang? "Karena ingin di sini, sambil mendaras pelajaran." Lagi pula puasa di kota menurutnya kurang afdol. "Bisa rusak oleh pemandangan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus