LEPAS Ramadhan, dunia pesantren akan kembali kepada kehidupannya
yang "normal Ramadhan memang bukan hanya bulan-bulan lapar
tapi bulan ibadah dan kehidupan pesantren pun mengalami
penyesuaian.
Pondok Krapyak, Yova, misalnya. Pesantren yang didirikan tahun
1909 oleh KHM Moenauwir ini (dan terkenal antara lain
spesialisasinya dalam menghafal Qur'an), di bulan puasa
meliburkan seluruh madrasahnya. Sebagai gantinya diadakan
'pengajian umum'. Tahun ini pengajian umum diikuti separohnya
oleh santri pondok yang tidak pulang, separohnya lagi
olehmasyarakat sekitar, para pendatang dari Gunung Kidul (50
orang, para santri dari pondok lain, misalnya Gontor, kemudian
para tamu dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta.
Tetapi kalau di Pondok Krapyak materi pengajian urllum sudah
ditentukan, di Pondok Pabelan, Muntilan, mereka yang datang
dipersilakan memilih. Karena itu di sini disediakan lebih banyak
guru untuk acara Ramadhan -- 52 orang, sementara di Krapyak
cukup 10 orang.
Qiraat Sab'ah
Adapun yang tidak meliburkan sekolahnya adalah Pesantren
Suryalaya--5 km dari Tasikmalaya. Sekolah di sini terdiri dari
SMP, SMA, PGA, Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), di samping TK.
"Bulan puasa belajar bukan problim," kata Zainal Abidin Anwar,
Ketua Majelis Harian di situ. "Malah kalau libur sekolah,
kegiatan di sini lebih menonjol." Hanya saja, akhirnya toh
diny,atakannya bahwa anak-anak di bulan puasa ternyata kurang
kenakalannya di banding waktu lain. "Mungkin karena mereka
lapar. Kita sendiri juga mengajar santai-santai saja."
Pesantren Suryalaya didirikan oleh Abah Sepuh alias Abdullah
Mubarok bin Nur Muhammad tahun 1905, dikenal dekat dengan para
pejabat. Anak-anak pejabat banyak dikirim ke sini sewaktu-waktu,
dan juga mereka yang morfinis. Karena tak adanya liburan puasa,
anak-anak dari kota sudah menyerbu ke sini pada liburan sebelum
Ramadhan - meski hanya tercatat 200 orang. Toh menyambut
puasa ada pengajian khusus--pengajian soragun dari orang luar
yang membutuhkan, baik untuk kitab tertentu, Qur'an maupun
Hadis. Bahkan di bulan puasa ada tambahan ekstra pelajaran
Qiraat Sab'ab tujuh aliran bacaan Qur'an.
Tetapi agaknya tak ada yang lebih semarak dalam mengisi bulan
ibadah dibanding Pesantren Tebuireng Jombang, salah satu yang
terhitung paling tua dan berwibawa. Di sini, meskipun suasana
rentu sudah jauh berubah sejak didirikannya pesantren oleh KH
Hasyim Asyari di tahun 189, tapi khusus untul bulan puasa
masih diteruskan tradisi lama membaca berbagai kitab oleh
berbagai kyai. Sukseskah acara itu?
"Aneh", komentar Abdul Rahmau Ismall, Phnpinan Majlis Tarbiah
Watta' Jim Pesantren. "Jumlah santri yang datang justru lebih
banyak dari tahun lalu. Tahun lalu S00-an, tahun ini hampir
seribu." Mengapa? "Kami belum meneliti -- tapi mungkin, antara
lain, karena program Ramadhan ini sudah kami edarkan scbulan
sebelum puasa." Dalam jadwal itu sudah tercantum nama S kyai dan
33 ustaz yang akan "membaca" 42 jenis kitab. Itulah barangkali
sebabnya mengapa banyak juga anak sekolah wllum datang -- sampai
kira-kira 10% atau 100-an orang padahal seharusnya mereka
tidak libur.
Acara pasan ini, yang tahun ini dirohah dari sistim wetor
seperti tahun-tahun lalu, memang khas. Akan terlihat pemandangan
seorang kyai duduk di masjid, membaca kitab standar dengan cara
seakan-akan sedang mengulang seluruh pelajaran. Di hadapannya
puluhan atau ratusan orang duduk bersebar seenaknya, kadang
dengan bantal di bawah slku atau pada dagu, mendengar sambil
memberi catatan pada kitab.
Suasananya khusyu', setengah mengantuk, tapi bekas. Karena
santri bisa memilih kitab tapi yang akan "dibaca" (dan berarti
juga memilih gurunya), maka ada pembacaan kitab yang hanya
diikuti 20-an orang. Tapi ada yang sampai tahun, seperti di
aula madrasah di Islam KH Samsuri Badawi, yang terkenal dengan
ilmu hadisnya membaca himpunan hadis Bukhari.
Suasana itu agak berbeda dengan di luar Jawa. Di Pesantren
Darul Ma'arif, di Desa Ateuk Kecamatan Aceh Besar, pengajian
umum diadakan lepas tarawih dan berlangsung sampai subuh. Dan
biayanya pilihan mereka, di pesantren milik Tengku Muhammad
Zamzami (41 tahun) yang baru berdiri 1968 ini--adalah Ilmu
Manthiq (Logika). Tapi tahun ini pengunjung tidak sebanvak
sebelumnya. "Ini jelas pengaruh tidak liburnya anak-anak sekolah
umum," kata Tgk Muhammad Amin Afti (32 tahun), pengurus pondok.
Dan akhirnya ia berkata: "Tapi sebenarnya kita yang terlambat
menyesuaikan jadwal."
Suasana lengang juga tampak di pesantren Tengku Daoed di Desa
Darul Iman dengan 400 santri. Walaupun hari sudah siang, para
santri toh belum keluar dari bilik asrama yang berdinding
pelepah rumbia dan berlantai papan pohon pinang.
Juga di Sulawesi Selatan. Pesantren DDI (Darul Da'wah wal
Irsyad) di Ujung Lare, Pare-Pare, yang tahun-tahun sebelumnya
ramai dikunjungi di bulan puasa, kini sunyi seperti dikatakan
drs.Abd Muiz Kabry, Sekjennya, itu disebabkan karena tah adanya
liburan sekolah umum -- sedang acara di bulan puasa hampir
seluruhnya murid DDI ke daerah-daerah yang membutuhkan. DDI,
yang berpusat di sini, punya 140 cabang dan 560 pesantren kecil.
Muridnya kebanyakan dari Masalembu (Pangkalan, Madura), Jambi,
Riau, Sul-Teng, KalTim, Ujung Pandang, dan Pare-Pare sendiri.
Didirikan 1947.
Dalam alam tradisional, Ramadhan memang hampir merupakan bulan
pembalikan waktu kerja dari siang ke malam--sementara orang
tidur di siang hari. Suasana ini masih terasa lebih-lebih di
luar Jawa, di berbagai pesantren yang umumnya kecil-kecil dan
selalu berusia muda. Di Pesantren Al Falah misalnya, terletak di
Km 23 Banjarmasin, dari 250 santri yang belajar di situ iulan
puasa kemarin tinggal 4 orang. "Semua pulang kampung," kata
Sapuani (18) yang hampir sendirian di kampus yang didirikan di
tahun 1976 itu. Jadi mengapa Sapuani tak mau pulang? "Karena
ingin di sini, sambil mendaras pelajaran." Lagi pula puasa di
kota menurutnya kurang afdol. "Bisa rusak oleh pemandangan,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini