"MAAF," itulah oleholeh yang dibawa oleh PM Jepang Miyazawa dalam kunjungannya ke Korea Selatan pekan lalu. Dan, ini adalah maaf untuk kesekian kalinya dari pihak Tokyo pada Seoul. September 1984, ketika Chun Doohwan melawat ke Jepang, adalah Kaisar Hirohito pribadi yang menyatakan maaf, walaupun tak dikatakannya secara langsung. Kata Kaisar, "Bagaimanapun, sangat disesalkan bahwa di belakang kita terbentang suatu masa silam yang tak menyenangkan." Tujuan utama Chun pada waktu itu, memang menagih kata maaf itu. Enam tahun kemudian, 1990, ketika Presiden Roh Taewoo datang ke Tokyo, Kaisar Akihito mengatakan, "Tak dapat menahan rasa penyesalan sangat mendalam mengingat kesukaran yang dialami bangsa Korea pada masa silam, yang diakibatkan oleh negeri kami." Menjelang kunjungan Miyazawa ke Korea Selatan, pihak tuan rumah getol mengungkit-ungkit kembali soal 36 tahun penjajahan Jepang atas Korea. Awal bulan silam, 35 orang dari 15 ribu anggota Perhimpunan Korban Perang Pasifik Korea Selatan, menggugat pemerintah Jepang di pengadilan daerah Tokyo. Mereka menuntut kompensasi sebesar 700 juta yen untuk ke35 orang itu. Dalam gugatan setebal 130 halaman itu, ada pengakuan tiga wanita yang dipaksa menjadi jugun ianfu alias "pelacur khusus untuk tentara Jepang". Untuk itu, mereka dibawa sampai ke Cina dan bahkan Rabaul, pangkalan militer di Papua Nugini sekarang. Pada waktu itu, wanita-wanita itu berusia antara 15 dan 18 tahun. Kim Hak-sun, 67 tahun, salah satu dari ketiga wanita itu, mengatakan dalam sebuah konperensi pers, ketika ia berusia 17 tahun ditipu tentara Jepang dan dibawa dari Pyongyang ke Cina Utara. Ia dipaksa melayani 300 tentara, dan diancam akan dibunuh kalau berani kabur. Ia berhasil lari, kawin dengan seorang pedagang, dan usai perang kembali ke Korea. Yang menyakitkannya, katanya, kalau suaminya mabuk selalu mengutik-utik soal ianfu itu. Baru setelah suami dan kedua anaknya meninggal, ia berani membukakan rahasianya pada masyarakat. "Karena itu, baru sekarang saya menggugat pemerintah Jepang," katanya. Pada mulanya pemerintah Jepang bersikap masa bodoh terhadap tuntutan itu. Tapi, harian Asahi Shinbun membuktikan adanya dokumen keterlibatan pemerintah Jepang dengan urusan ianfu. Menurut dokumen itu, paling tidak ada sekitar 80-200 ribu wanita Korea yang dipaksa melakukan pekerjaan terkutuk itu. Bahasa resminya mereka disebut teishintai alias "barisan sukarela penyumbang badan". "Di Mongolia, sekali setiap tiga bulan datang kereta api yang khusus mengangkut para ianfu. Begitu datang, langsung saja kereta api itu menjadi tempat pelacuran," kata seorang bekas tentara Jepang. Setelah ada pengakuan dari pihak bekas tentara, sikap pemerintah Miyazawa berubah. Dua hari sebelum ia bertolak ke Korea, dalam jumpa pers dengan para wartawan Korea Selatan, ia mengakui skandal itu. Dan, di Seoul, selain minta maaf dari lubuk hati terdalam, ia juga mengatakan akan melaksanakan keputusan pengadilan atas gugatan bangsa Korea. Kim Hak-sun, salah seorang wanita yang jadi korban itu, mengatakan di muka parlemen Korea Selatan, kehadiran Miyazawa tak berarti apa-apa kalau hanya menyatakan maaf. Soalnya kini, banyak negara di Asia yang mengalami nasib serupa. Adakah Indonesia, misalnya, akan mengajukan tuntutan juga? Seiichi Okawa (Tokyo) dan ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini