Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sama Banditnya Lain Gayanya

Beberapa profil pelarian kelas berat Salemba dengan modus operandi kejahatan berbeda-beda. Gaya hidup mereka sebelum ditahan, ada yang suka berfoya-foya, ada juga yang berlagak budiman. (krim)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK sekitar RW 007/05 Kuningan, Jakarta Selatan, sering tersenak menahan napas, menyaksikan seorang wanita muda belajar menyetir mobil di jalan kecil di lingkungan itu. Betapa tidak. Honda Civic yang masih baru dan mulus seenaknya dikemudikan: tersentak-sentak menerobos lubang-lubang berlumpur, lalu menyeruduk pepohonan di tepi jalan. Wanita itu, tak lain, istri Hendro Sucipto alias Edy Gombloh, gembong komplotan perampok Jalan Kwini, yang kabur dari rumah tahanan Salemba. Hendro, yang bertubuh tinggi kekar itu, akhirnya mati tertembak polisi, Minggu malam lalu, persis seminggu setelah dia menjadi orang buron. Kisah di awal cerita tentulah terjadi sebelum Hendro ditangkap, Agustus tahun lalu. Ketika itu, penduduk mengenal Hendro sebagai pengusaha ekspedisi angkutan darat, yang kelihatan rezekinya sedang murah. Tentang mobil tadi, misalnya, tak jadi soal karena tak lama kemudian keluarga itu sudah berganti mobil yang lebih keren, merk BMW. Dan bila malam, suasana di rumah itu seperti pesta, banyak orang tak dikenal berdatangan, lalu terdengar musik berdentam-dentum dengan kuatnya dari tape recorder. Ada lagi perangai Hendro yang terbilang aneh. Bila masuk rumah dari bepergian, ia tidak pernah menggunakan anak kunci. Dengan obeng, ia cukup mencongkel pintu atau jendela. "Lihat saja, kaca nakonya berantakan," kata penghuni baru di situ. Para tetangga itu memang tidak pernah tahu jelas, siapa yang kerap berkumpul di rumah Hendro. Tetapi, dalam penggerebekan yang dilakukan polisi kemudian, sebagian besar komplotan mereka sudah tergulung, misalnya Supriyanto, Rudi Ambon, dan Bambang Heru Santoso. Sebagaimana lazimnya penjahat, Bambang Heru Santoso, 30, punya beberapa nama. Istrinya, Tuti Murniati, 21, memanggilnya dengan Mas Sastro, sedangkan teman-temannya sekomplotan menamakannya Taufan. Tapi sikapnya yang sopan kalau omong tak pernah menatap mata lawan bicaranya - selalu bicara pendek dan seadanya, tak mencurigakan Nyonya Saroh pemilik rumah yang dikontrak Bambang di Jalan Murdai, Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. Begitu mengontrak rumah itu, seharga Rp 1,3 juta untuk satu setengah tahun, Juni tahun lalu, Bambang segera menjejali rumahnya dengan perabot yang serba baru. "Tampaknya pada baru dibeli dari toko," ujar Nyonya Saroh. Selain itu, mobil yang dipakainya pun berganti-ganti terus. Nyonya itu memang tak memperhatikan bahwa, selain suka berganti mobil, ternyata bila malam seperti temannya, Hendro, Bambang di rumah itu selalu membikin pesta mabuk-mabukan dengan kawan-kawannya, dengan ditemani perempuan-perempuan nakal. Salah seorang dari perempuan itulah kemudian yang memberi info pada polisi, sehingga polisi berhasil menggerebek rumah itu, Agustus 1984. Bambang segera tertangkap bersama Tuti, istrinya - ketika itu lagi hamil muda - yang baru dinikahi selama setahun. Dan setelah itu enam teman komplotannya segera terjaring. Bambang ternyata adalah salah satu dari pentolan kawanan garong yang sempat membuat polisi begitu sibuknya. Di Jakarta saja, setidaknya, mereka sudah terlibat dalam lima kasus perampokan besar, termasuk peristiwa Jalan Kwini. Setelah mendekam di rumah tahanan Salemba, sementara perkara-perkaranya disidangkan pengadilan, kiranya, Bambang dipercayai petugas sebagai voorman, tahanan yang ditugasi membantu pegawai rumah tahanan. Dia memegang kunci sel sejumlah tahanan lain, karena itu bebas berkeliaran di dalam tembok penjara tersebut. Dengan kemudahan itu, tampaknya, Bambang Heru turut merencanakan pelarian dan Salemba. Selain Hendro Sucipto dan Bambang Heru Santoso, adalah Rudi Ambon alias Rudi Siyaranamual, kawanan perampok Jalan Kwini, yang juga meloloskan diri hari itu dari Salemba. Rudi, yang tertangkap Agustus tahun lalu di Magelang, adalah otak berbagai perampokan bersenjata api di seputar Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Sesekali Rudi menyelonong ke Jakarta dan bergabung dengan kawanan Bambang Heru, lalu mereka beraksi di Jakarta, Bandung, dan berbagai kota di Jawa Tengah, malah sampai ke Jawa Timur. Berbagai aksi mereka yang sempat disebut polisi adalah menggasak Rp 22 juta uang kontan milik PT Adi Kombinasi Yogyakarta, dan menggarong Rp 9 juta uang PT Samudera Indonesia Semarang yang baru diambil dari bank. Di Jakarta, mereka menyikat Rp 67 juta dari seorang pengusaha, selain merampok dan menembak mati Nyonya Lamria di Jalan Kwini itu. Padahal, di kampungnya, Desa Dogol, Kecamatan Grabag, Magelang, Rudi dikenal sebagai seorang budiman. "la raiin ke masjid, dan selalu menyumbang dalam jumlah besar untuk keperluan kampung," kata Sarono, tetangganya di desa. Bertubuh kekar, gemar memakai celana jin dan bertopi laken, Rudi Ambon, 37, tingkah lakunya selalu berkenan bagi masyarakat setempat. Meski duitnya banyak, lagi dermawan, kehidupan Rudi sehari-hari jauh dari kemewahan - malah cenderung prihatin. Misalnya, rumah yang ditempatinya berdinding papan dan reot, berlantai tanah, tanpa perabot rumah yang berharga. Istrinya, Netty, seharian terpaksa meninggalkan anaknya yang masih berumur tiga tahun, berdagang jamu keliling sejak dua tahun lalu, setelah mereka menetap di desa itu. Dengan demikian, profil keluarga ini yang sebenarnya terselimuti dengan baik. Orang kampung baru mengenal Rudi yang sebenarnya setelah dia ditangkap polisi. "Kami tak menyangka dia itu bajingan," ujar Sarono. Bobolnya Salemba, tak ayal lagi, cukup merepotkan polisi Jakarta. "Karena di antara mereka terdapat penjahat kelas berat yang dapat membuat keresahan pada masyarakat," kata Mayor Zyaeri, komandan Satgas Buru Sergap 32, tim yang dibentuk kepala Polda Jakarta untuk menguber pelarian itu. Selain perampok Kwini, di antara yang lari, terdapat Peng An alias Ya'qub, 23, yang di kalangan dunia hitam di sini dijuluki "Raja Kunci Palsu". Berbeda dengan kelompok Kwini, yang suka merampok dan mnyiksa korban, Peng An sama sekali antikekerasan. Modus operandinya: dengan sabar dan telaten mengintai dan mempelajari obyeknya. Misalnya, mencari tahu selukbeluk rumah korban berikut kapan kebiasaan korban meninggalkan rumah. Begitu suatu kali rumah itu kosong, Peng An pun beraksi, membawa 50 anak kuncinya. Dengan cara itulah Si Raja Kunci Palsu menyikat uang dan perhiasan yang seluruhnya bernilai Rp 150 juta dari sebuah rumah di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, Januari tahun lalu. Dari rumah yang lain di Jalan Taman Sari, Jakarta Barat, Desember tahun yang sama, ia mencuri senilai Rp 20 juta. Memang, tak semua pelarian itu kelas kakap. Ada Wiwi yang cuma seorang pencuri sebuah tape recorder dan cuma dihukum 4,5 bulan. "Saya lari karena ikut-ikutan saja," kata Wiwi Solihin, 19, setelah menyerahkan diri pada polisi dengan diantarkan orangtuanya dan kepala RT. Tapi ada pula Martin Kasenda, 28, bekas satpam PT Wijaya Karya, yang belakangan jadi sopir keluarga seorang Belanda di Jakarta. Martin dihukum 2 tahun penjara karena menabrak seseorang bersepeda motor, Januari yang lalu, di Cililitan, Jakarta Timur. Dia menganggap hukuman itu teramat berat, lalu naik banding, mengingat korbannya tak sampai meninggal dunia. Lebih berat lagi, ujar Nonce Kasenda, kakak Martin, di Salemba sopir itu diselkan bersama perampok dan pembunuh. Meski Martin adalah pelatih kempo diJakarta Timur, malah pernah mewakili Manado, kota asalnya, di Kejurnas Kempo 1980 dan 1981 di Yogyakarta, satu sel dengan para bandit itu membuat dia litak juga. "Dia sering menangis ketika dijenguk," kata Nonce. Ketika lari dari Salemba, Minggu siang itu, Martin yang menyambar sebuah bajaj yang lagi diparkir, bersama para perampok Kwini, Supriyanto, Bambang Heru Santoso, dan Hendro Sucipto. Sedangkan bagi Husni alias Yono bin Rebu, 35, lari seakan satu-satunya jalan untuk memperpanjang umur. Penyelundup 700 gram heroin ini, akhir tahun lalu, dijatuhi hukuman mati dan sedang dalam proses kasasi. Husni, penduduk Medan yang lahir di Aceh itu, pernah lama bekerja sebagai nelayan, dan karenanya amat mengenal perairan di sepanjang pantai timur Sumatera Utara. Oleh karena itu, dia pernah dipakai oleh polisi Sumatera Utara sebagai penunjuk jalan mengintai penyelundup di sana. Entah mengapa, sejak 1981, dia jadi imigran gelap di Penang, Malaysia, dan dari sanala dia membawa heroin k Medan. Di Medan di bergabung dengan Yan Munar, lalu bersama-sama berangkat ke Jakarta. Di Jakarta, ada pula teman mereka, bernama Singkek Efendi. Dan Mei tahun lalu, ketika mereka akan mengadakan transaksi 700 gram heroin itu dengan calon pembeli di Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta Utara, kena sergap petugas Polda Jakarta. Pengadilan di Jakarta kemudian memvonisnya mati, sedangkan temannya Yan Munar (suami seorang pamen Polwan di Medan) dihukum seumur hidup, dan Singkek kena 15 tahun penjara. Cuma, kedua teman Husni tak turut lari. Tampaknya, polisi cukup rumit mencari Husni. Karena - meski belum terungkap jelas di pengadilan - diduga kuat Husni tergabung di dalam suatu sindikat narkotik. Sejak tertangkap, Husni memang selalu mencoba lari. Paling tidak, seperti diceritakan seorang petugas narkotik Polda Jakarta, Husni selalu menawarkan jasa untuk menunjukkan teman-temannya yang belum tertangkap, suatu hal yang tak lazim untuk orang-orang yang terlibat perkara narkotik. Pernah Husni mengungkapkan beberapa nama pada petugas Interpol yang menemuinya di sel polisi, dan siap membantu mencari mereka. "Itu hanya taktiknya saja untuk mencari kesempatan lari," ujar perwira polisi itu. Ternyata, setelah masuk Salemba, Husni diangkat menjadi voorman yang memperoleh banyak keleluasaan. Bagaimana dia tak lari? Amran Nst Laporan Biro Jakarta dan Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus