SETELAH berbagai kasus manipulasi pajak lolos dari jerat hukum, kesangsian muncul di kalangan penegak hukum: Mungkinkah penggelap pajak dituduh korupsi? Sebab itu, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin pekan lalu, seperti menegaskan bahwa manipulasi pajak juga korupsi. Majelis hakim yang diketuai Setiawan itu menghukum tiga orang direksi PT Chubb Lips I sampai 5 tahun penjara, di samping denda masing-masing Rp 30 juta, karena terbukti dianggap korupsi. Ketiga direksi pabrik lemari besi itu, John Alan O'Hare, Rudolf Pangemanan, dan Isman Hartono, menurut Hakim, menggelapkan pajak perusahaan sebanyak Rp 950 juta, sejak 1978 sampai 1981. Cara yang dilakukan mereka tergolong kuno: membuat pembukuan ganda. Sebuah buku, yang diaudit Akuntan Publik Utomo, dipakai untuk laporan ke pusat Chubb Lips di London. Dan sebuah lagi yang diaudit Akuntan Hamdani M. Syah, diserahkan ke kantor pajak. Keputusan majelis Setiawan itu sebenarnya tidak baru. Sebelumnya sudah ada yuris prudensi Mahkamah Agung mengenai buku ganda. Majelis Hakim Agung yang diketuai H. Soerjono, Oktober 1982, menjatuhkan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara kepada direktur akunting PT Tobu Indonesia Steel (Tobusco), Yoyiro Kitajama. Perusahaan pabrik baja PMA itu, menurut Hakim Agung, terbukti melakukan korupsi sebanyak Rp 811 juta, sejak 1975 sampai 1980. Seperti juga direksi Chubb Lips, Kitajama, menurut Majelis, terbukti telah melaporkan bukubuku palsu, yang diaudit Akuntan Budi Utomo, ke dinas pajak. Ketika itu Kitajama dihukum 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 3C juta oleh Mahkamah Agung, sama dengan yang diputuskan Pengadilan Tinggi Jakarta Tapi setelah membayar denda dan ongko perkara Rp 12 ribu, Kitajama tak langsun masuk penlara karena la meminta grasl kepada presiden (TEMPO, 19 November 1983). Hanya saja, yurisprudensi itu, Maret lalu seolah-olah "dibekukan" oleh putusan jaks agung, waktu itu, Ismail Saleh pengusuta terhadap kasus manipulasi pajak oleh direk tur Grup Harapan, Hendra Rahardja, dihentikan. Pemilik perakitan motor Yamaha dan Gajah Mada Plaza tersebut, ketika itu, dituduh membuat buku ganda sehingga merugikan negara Rp 17 milyar. Angka itu didapat pemeriksa, menurut sumber di kejaksaan, setelah tim pemeriksa menggerebek kantor Hendra dan menemukan buku "asli" perusahaan itu Ismail Saleh membantah telah mendeponir perkara itu. Katanya, kejaksaan memakai pendekatan "represif administratif", karena kurang kuatnya unsur-unsur pidana untuk menyeret Hendra ke pengadilan. Tindakan kejaksaan hanyalah mewajibkan Hendra membayar kembali kekurangan pembayaran pajaknya. "Pemerintah sebenarnya tidak ingin banyak jatuh korban. Sebab itu, kasus itu diselesaikan sebaik-baiknya," ujar Ismail Saleh, yang kini menjadi menteri kehakiman (TEMPO, 14 April). Tapi, berbeda dengan tindakannya terhadap Hendra, kali ini Ismail Saleh menolah permohonan direksi PT Chubb Lips untuh juga membayar semua kewajibannya pad negara. Juga surat dewan direksi Chubb Lip yang berisi permintaan ampun dan Janii tidak akan mengulangi perbuatannya, 7 Desember 1983, tidak mempengaruhi keputusan Ismail Saleh. O'Hare, Rudolf Pangemanan, dan Isma Hartono tetap diadili. Tidak seorang pun dari mereka itu yang lolos dari tuntutan hukum. "Sebab, semua direksi itu sepakat melakukan manipulasi dengan buku ganda," ujar sebuah sumber di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Direktur Utama Chubb Lips, O' Hare, yang dihukum 5 tahun penjara, menyatakan kekagetannya atas putusan itu. "Sebab, kami merasa yakin tidak bersalah," ujar O'Hare, kelahiran Inggris dan ayah tiga anak itu. Pengacaranya, Soenarto Soerodibroto, juga berkeyakinan begitu. Sebab, menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang bisa dimintai pertanggungjawaban dalam hal pembukuan adalah direktur keuangan. "Tidak seorang pun dari direksi itu yang berstatus direktur keuangan," ujar Soenarto. Direktur keuangan perusahaan itu, katanya, sudah kembali ke London sebelum perkara itu terbongkar. Alasan Soenarto pernah dipakai Pengadilan Tini Takarta dalam memutuskan perkara korupsi pajak PT Kallmantan Steel (Kalisco). Agustus tahun lalu, peradilan banding itu membebaskan presiden dan wakil presiden direktur PT Kalisco, Thomas Wibowo dan Hirosutgu Murai. Kedua pimpinan puncak perusahaan pabrik baja PMA itu, sebelumnya, dihukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menggelapkan pajak Rp 887 Juta. Tapi, menurut peradilan banding, Wibowo dan Murai tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, karena mereka bukan orang yang ditunjuk KUHD sebagai penanggung jawab keuangan. Padahal, ke| dua orang itu jelas-jelas mennandatangani Surat Pemberitahuan Pajak Perseroan (SPT-PPS) palsu (TEMPO, 3 September 1983). "Kami akan melampirkan putusan itu dalam permohonan banding," ujar Soenarto. Siapa tahu, hukum 'kan bisa berubah-ubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini