Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Sandiaga Uno dan Tuduhan Penggelapan Lahan Itu

Fransiska Kumalawati Susilo menyebut Sandiaga Uno telah melakukan penipuan dan penggelapan lahan di kawasan Curug, Tangerang.

15 Januari 2018 | 07.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKIL Gubernur DKI Sandiaga Uno kembali dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Rabu pekan lalu, sang pelapor, Fransiska Kumalawati Susilo, menyebut Sandiaga telah melakukan penipuan dan penggelapan lahan di kawasan Curug, Tangerang. Nilainya tak kurang dari Rp 12 miliar.

Menurut Fransiska, Sandiaga dan rekan bisnisnya, Andreas Tjahyadi, menjual lahan yang luasnya sekitar satu hektare itu senilai Rp 12 miliar setelah sebelumnya melikuidasi PT Japirex, perusahaan milik Edward Soeryadjaya. Andreas telah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGAR  setinggi sekitar tiga meter menutup bangunan yang berdiri di Jalan Curug, Tangerang, Banten. Pintu gerbang pagar terbuat dari besi tertutup rapat. Ada sebuah pos satuan pengamanan (satpam) berdiri di sisi pintu masuk itu. Mereka yang melintas di tempat yang berlokasi di kilometer 3,5 Jalan Curug itu bisa melihat samar-samar hijau dinding bangunan yang tersembunyi di balik pagar itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa waktu lalu, ketika Tempo mendatangi tempat itu, tak terlihat aktivitas apa pun di sana. Pos satpam kosong melompong. 

Sebelumnya, warga mengenal gedung itu sebagai kantor sekaligus gudang dan pembuatan kerajinan rotan yang diekspor ke mancanegara. Pemiliknya Edward Seky Soeryadjaya, anak salah satu taipan yang pernah sangat terkenal di negeri ini, William Soeryadjaya, pendiri Astra Internasional.

Edward Soeryadjaya. Dok. TEMPO/Seto Wardhana

Edward mendirikan PT Japirex—perusahaan yang bergerak di bidang ekspor kerajinan rotan—pada 1977. Tercatat sebagai pemilik saham Japirex, Edward 25 persen, sang istri, Happy Herawati, 60 persen, dan sisanya dipegang Husni Hakim yang menjabat sebagai direktur ekspor.

Soal Japirex itulah yang kini menyulut perseteruan antara Edward dan Sandiaga Uno. Sandiaga yang pernah bekerja pada Edward dituduh mengambil saham Japirex secara tidak sah. Ujung pengambilan itu: penjualan tiga aset tanah milik Japirex yang terletak di Curug sekitar Rp 12 miliar. Penjualan dilakukan setelah Sandiaga “naik” menjadi komisaris utama Japirex, lalu melikuidasi Japirex.

Edward membawa kasus ini ke polisi. Pengusaha ini meminta Fransiska Kumalawati Susilo, mantan istrinya, mengurus kasus tersebut serta menuntut Sandiaga mempertanggungjawabkan penjualan aset Japirex. “Saya tidak tahu kenapa Sandiaga bisa melakukan itu. Padahal, dia itu dulu bahkan sering tidur di rumah saya,” kata Fransiska.

Fransiska Kumalawati Susilo. Tribunnews/Dennis Destryawan

Pada Maret lalu, Fransiska melaporkan Sandiaga ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kemudian, pada Juli lalu, giliran salah satu bekas pemilik saham Japirex, John Nainggolan, juga melaporkan Sandiaga karena merasa dirinya tidak pernah menjual saham miliknya di PT Japirex. Dan pekan lalu, Fransiska kembali melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya. “Kami ingin menuntut hak kami,” tuturnya.

***

SEMUA berawal ketika Happy dinyatakan dokter, pada awal 1990, terkena kanker. Berbulan-bulan didera penyakit ini dan harus bolak-balik berobat ke Singapura, Edward dan Happy sepakat mengalihkan saham Japirex ke orang-orang yang mereka percaya, yang selama ini setia bekerja kepada mereka.  

Pengalihan pertama terjadi pada 1992. Edward mengalihkan sahamnya yang totalnya mencapai 400 lembar itu kepada Andreas Tjahjadi. Adapun saham Happy sebanyak 1.200 lembar dialihkan ke Iwan Muchidin. Baik Andreas maupun Iwan merupakan orang-orang dekat Edward.

Pada 1998, kembali terjadi perubahan komposisi pemegang saham. Ketika itu, Happy baru meninggal. Edward meminta saham Happy pada Japirex yang sebelumnya “dipegang” Iwan diserahkan kepada dua orang. Sebesar 40 persen (setara seribu lembar) untuk John serta 20 persennya diberikan kepada Andreas. John, seperti yang lain-lain, juga orang dekat Edward. Dengan penyerahan saham itu, Andreas memegang total 60 persen saham Japirex atau 1.500 lembar.

Pada masa inilah, Sandiaga yang selama itu bekerja pada keluarga William masuk dalam jajaran komisaris. Ketika itu, John pemegang 40 persen saham menjadi komisaris utamanya. Adapun direktur utama Andreas yang didampingi Djoni Hidayat sebagai direktur. Japirex berupaya “mengepakkan” sayap bisnis. Tak hanya mengurus kerajinan rotan, tapi juga merambah bidang lain, termasuk  properti.

Tiga tahun kemudian, terjadilah pergantian pada jajaran Japirex yang membuat perseteruan Edward-Sandiaga meledak. Sandiaga melejit naik menjadi komisaris utama menggantikan posisi John. Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, pergantian itu berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RPSLB) pada 22 November 2001.

Naiknya posisi Sandiaga tak lepas dari 40 persen saham Japirex yang dimiliknya, yang sebelumnya milik John. Sandiaga mendapat saham itu melalui perjanjian “Jual Beli Saham”, demikian tertulis dalam dokumen perjanjian pada 17 Mei 2001 itu, yang di atasnya tertera tanda tangan Sandiaga dan John. Dalam surat perjanjian tersebut, tertulis John melepaskan semua sahamnya, yaitu sebanyak seribu lembar senilai Rp 100 juta.

Selain menetapkan Sandiaga sebagai komisaris utama, RUPS menetapkan Effendi Pasaribu sebagai komisaris, Andreas sebagai direktur utama, serta Djoni dan Liana Christiana Naba sebagai direktur. Akta penetapan hasil rapat itu dibuat notaris Henny Singgih yang kemudian mendaftarkannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada akta itu pula, disebut John mengundurkan diri sebagai komisaris.

Sewindu berjalan, perusahaan ini bukannya moncer, tapi justru makin mundur. Akhirnya pada 11 Februari 2009, para pengurusnya memutuskan melikuidasi Japirex dan membentuk “tim penjual aset” yang diketuai Andreas. Lewat kesepakatan pada 22 November 2012, diputuskan semua hasil penjualan aset masuk ke rekening Andreas.

Ketika itu, Japirex memiliki aset berupa tiga lahan tanah seluas masing-masing sekitar 3.000 meter persegi di Curug. Semuanya dibeli Edward antara 1994-2004. Dua atas nama Japirex, satu diatasnamakan Djoni. Tim penjual aset menjual tanah itu ke PT Sinar Semesta Perkasa milik Ho Ing Hing.

Berdasarkan dokumen yang dimiliki Tempo, Ho Ing Hing mentransfer uang sebanyak dua kali ke Andreas. Jumlah yang ditransfer masing-masing sebesar Rp 1,334 miliar dan Rp 10 miliar. Ho Ing Hing membuat kuitansi penyerahan duit Rp 3,4 miliar kepada Djoni. Tanggal yang tertera pada kuitansi itu adalah 30 Desember 2012. Kuitansi tersebut diteken di atas materai oleh Djoni.

Djoni sendiri mengaku tak pernah menerima uang serta menandatangani kuitansi yang ada namanya itu. Merasa dirinya diperdaya, ia membuat surat pernyataan yang tidak saja menerangkan tanah itu milik Edward, tapi juga tak pernah menerima uang pembelian tanah. Berdasarkan pengakuan  Djoni itu pula, Fransiska mengadukan Sandiaga dan Andreas ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Tak ada sepeser pun uang yang masuk ke kantung Edward, sebaliknya ia merasa kecewa telah ditelikung Sandiaga. Edward, menurut Fransika, sebenarnya menginginkan kasus ini diselesaikan baik-baik. Sebab, bagi dia, Sandi bukan orang lain. “Tapi tanggapannya lain. Iktikadnya tidak ada,” ujar Fransiska.

Sejumlah bukti telah dikantungi pihak Edward perihal bagaimana Sandiaga mengambil saham Japirex. Bukti yang bisa jadi paling menohok Sandi adalah perjanjian jual-beli saham antara John dan Sandiaga—pengalihan saham yang membuat Sandiaga memiliki saham Japirex 40 persen.

John menyatakan tak pernah menjual saham miliknya ke Sandiaga. Kuasa hukum John, Arnol Sinaga, menduga dokumen jual-beli itu palsu. “Di situ, ditulis John bertindak untuk diri sendiri atas persetujuan istri. Padahal, baik John maupun istrinya, tidak pernah melakukan jual-beli saham itu,” katanya. Atas bukti itulah, John melaporkan Sandiaga dan Andreas ke polisi dengan tuduhan melakukan penggelapan serta pemalsuan dokumen.

Kepada Tempo yang mendatangi kantornya, Henny Singgih, notaris yang membuat akta perubahan direksi Japirex, mengaku saat pembuatan akta pergantian direksi Japirex, ia tidak bertemu dengan Sandiaga ataupun Andreas Tjahjadi. Henny sudah diperiksa polisi.

Djoni, yang namanya dipakai Edward untuk membeli tanah, juga mengaku ditipu karena seolah-olah ia menerima uang penjualan tanah milik Edward. “Ada kuitansi tertulis ia menerima uang pembayaran tanah, kami duga itu dipalsukan,” tutur Fransiska.

Sandiaga Uno sudah dipanggil  kepolisian. Adapun Andreas sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ketika diperiksa polisi Maret lalu, Sandiaga menegaskan dirinya tak terlibat penggelapan seperti dituduhkan Fransiska. "Sangat hakul-yakin, 100 persen yakin tak terlibat," ucap Sandiaga. Kepada wartawan, Rabu pekan lalu di Balai Kota DKI, Sandiaga menyebut pelaporan dirinya ke polisi merupakan siklus yang berulang terjadi. “Saya tidak akan menanggapi masalah hukum dan ini sudah menjadi siklus. Temen-teman sendiri (tahu), begitu saya memulai sesuatu yang…sudah tidak usah diterusin," ujar Sandiaga.

Adapun Fransiska yakin Sandiaga telah melakukan serangkaian penipuan dan penggelapan. “Semua bukti yang kami miliki kuat,” katanya.

Lestantya R. Baskoro, Purwanto

 

 

 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus