Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanayak 78 dari 90 pegawai yang dinyatakan melanggar etik mendapat sanksi berat.
Mereka harus meminta maaf secara terbuka dan akan ditayangkan di stasiun televisi KPK.
Sanksi ini diyakini bisa memberikan rasa malu.
JAKARTA – Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan 90 pegawai yang bertugas di rumah tahanan (rutan) komisi antirasuah bersalah dalam perkara pungutan liar. Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan 78 di antaranya diberi sanksi berat. Tapi mereka hanya diharuskan meminta maaf tanpa ada skors setelah perbuatannya terbukti. “Sanksi berat berupa permohonan maaf secara terbuka langsung,” ujar Tumpak di gedung KPK, Kamis, 15 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan bahwa hukuman sanksi tersebut sudah paling berat. Pemberian hukuman merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, serta Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 6 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Status 90 orang itu adalah pegawai negeri atau aparatur sipil negara (ASN). Kategori hukuman berupa permintaan maaf, kata Tumpak, juga ada secara terbuka, tapi tidak langsung. Adapun 78 orang di antaranya mesti meminta maaf secara terbuka dan direkomendasikan kepada Sekretariat Jenderal KPK agar dikenai pelanggaran disiplin untuk diberhentikan. “Jadi jangan salahkan Dewas. Memang sudah berubah begitulah kalau sudah ASN,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan 12 orang lainnya diputuskan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal untuk diadili selanjutnya. Dewas KPK beralasan mereka melakukan pungli lebih dulu sebelum Dewas KPK dibentuk pada 2019. “Kami tidak berwenang untuk (mengadili) mundur ke belakang sebelum ada kami,” kata Tumpak.
Ketua Majelis Sidang Etik Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menggelar sidang pembacaan surat putusan pelanggaran etik 93 pegawai Rutan KPK di gedung ACLC KPK, Jakarta, 15 Februari 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengatakan sanksi untuk para pelaku adalah membacakan permohonan maaf di depan Pejabat Pembina Kepegawaian di Sekretariat Jenderal. Permintaan maaf para pelaku akan direkam, lalu disiarkan melalui stasiun televisi milik KPK. Sanksi itu diklaim untuk memberikan efek jera, termasuk kepada para pegawai lainnya agar tidak berbuat hal serupa. Dia mengklaim cara seperti itu dilakukan untuk membiasakan budaya malu. “Kita malu untuk melakukan pelanggaran karena nanti seperti itu,” ucapnya.
Tumpak berpendapat bahwa cara seperti itu mungkin tidak memberikan efek jera. Namun setidaknya ada rasa malu yang timbul bagi pelaku karena perbuatannya diumumkan.
Aksi pungli di dalam Rutan KPK diduga terjadi sejak 2016, tapi belum terstruktur. Permainan mulai rapi pada 2018 dengan adanya berbagai rentang tarif dan "pengurus" pungli. Tumpak menyebutkan ada sosok Hengki yang diduga sebagai inisiator pungli terstruktur di Rutan KPK. Hengki merupakan pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dulu Hengki bekerja sebagai koordinator keamanan dan ketertiban Rutan KPK. Lalu dia mulai menunjuk para "lurah" di tahanan, yang berasal dari kalangan pegawai tahanan juga, untuk melakukan pungli.
Jumlah lurah dalam kasus ini sembilan orang. Uang dari para tahanan dikumpulkan oleh korting atau koordinator tempat tinggal dari kalangan tahanan yang dianggap dituakan. “Setelah terkumpul, uang itu diserahkan kepada lurah,” ucap Tumpak.
Setelah uang terkumpul, para lurah setiap bulan bertugas membagikan uang hasil pungli kepada pegawai tahanan melalui komandan regu sipir atau diberikan secara langsung. Pendapatan pungli pegawai tahanan KPK selama kurang-lebih 4-5 tahun adalah Rp 1 juta hingga Rp 425.500.000.
Mereka menarik tarif untuk berbagai kepentingan tahanan, seperti penggunaan ponsel. Untuk memasukkan ponsel tahanan pertama kalinya, para sipir menerima Rp 10-20 juta. Padahal alat komunikasi itu dilarang masuk untuk digunakan oleh tahanan KPK. “Setelah itu setiap bulan harus turun Rp 5 juta supaya bebas memakai ponsel,” ucap Tumpak.
Albertina Ho mengatakan penegakan kode etik KPK tidak bisa dilakukan terhadap Hengki karena dia sudah pindah penugasan kerja. KPK pun sedang menyelidiki sisi pidana yang dilakukan oleh para pelaku pungli.
Berdasarkan pemeriksaan selama ini, Albertina menyebutkan hampir semua tahanan KPK pernah memberikan uang kepada para pegawai di rumah tahanan. Dari 90 persen lebih, hanya beberapa tahanan yang tidak memberikan karena tidak mampu. “Misalnya hanya yang sebagai ajudan, pegawai outsourcing,” katanya.
Jumlah pungli yang tercatat oleh Dewas KPK mencapai Rp 6 miliar lebih. Angka itu didasarkan pada bukti-bukti yang dianggap valid dan pengakuan pelaku saja.
Albertina mengatakan saat ini ada tiga orang lain yang belum menjalani sidang etik. Mereka adalah bekas pelaksana kepala rumah tahanan, kepala rumah tahanan sekarang, serta satu orang dari instansi Polri.
Dia menuturkan mereka yang terlibat pungli, yang berasal dari Kementerian Hukum dan HAM ataupun Polri, tidak secepatnya dikembalikan ke instansi asal. “Masih ada proses yang harus dijalani di KPK,” tuturnya.
Suasana sidang pembacaan surat putusan pelanggaran etik 93 pegawai Rutan KPK di gedung ACLC KPK, Jakarta, 15 Februari 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Ketua IM57+ M. Praswad Nugraha menuturkan alasan Dewas KPK hanya memberikan sanksi permintaan maaf secara terbuka kepada para pelanggar tidak masuk akal. Semestinya mereka bisa langsung ditindak dari sisi pidana tanpa harus terbatas pada peraturan yang mengikat ASN karena dapat merujuk pada Undang-Undang KPK.
Dia menilai perbuatan pelaku memenuhi semua unsur dalam Pasal 12 huruf a atau huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi KPK semestinya menjadi lembaga yang memberi contoh dengan memberikan sanksi lebih serius.
“Sanksi permintaan maaf secara terbuka tidak akan mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” tutur Praswad saat dihubungi, Kamis lalu.
Alasan keterbatasan pemberian sanksi dianggap sebagai ketidakjelasan fungsi Dewas KPK. Pemidanaan mesti dipertimbangkan dengan melihat nilai suap yang diterima pelaku demi rasa keadilan.
Menurut Praswad, tanpa ada tindak pidana, akan menjadi suatu cerminan betapa rapuhnya KPK. Apalagi ada korupsi di dalamnya dan hanya diberi sanksi harus meminta maaf.
Pimpinan KPK pun patut dimintai pertanggungjawaban atas masalah ini. “Perlu dipertimbangkan untuk meminta pertanggungjawaban pimpinan atas kegagalan pencegahan korupsi,” ucapnya.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan kasus ini masih diusut dari sisi pidana. Terlebih sudah ada putusan dari Dewas KPK terhadap 90-an orang yang bermasalah tersebut. “Perkembangannya pasti akan kami sampaikan lebih lanjut,” katanya.
M. FAIZ ZAKI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo