SETELAH hampir satu setengah tahun disidangkan, Freddy Lengkong alias Effendi S. Lismanto alias Lie Kha Seng, 40, akhirnya dijatuhi vonis juga. Majelis hakim pimpinan Hasan Mahmud dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat berkeyakinan, Freddy terbukti membunuh Hendrik Benyamin, dengan motif ingin mendapat santunan asuransi sebesar US$ 1 juta atau sekitar Rp 1 milyar. Dalam sidang dua pekan lalu itu, pria yang sering disebut-sebut sebagai otak kejahatan asuransi terbesar selama ini di Indonesia itu juga terbukti menguasai senjata api tanpa hak. Pistol gelap, FN kaliber 6 mm, itulah yang digunakan menghabisi korban dinihari 1 September 1981. Malam 12 September, Hendrik diketahui naik mobil Honda Civic sewaan menuju Surabaya dari rumahnya di Petojo Sabangan, Jakarta Pusat, untuk urusan bisnis. Ternyata, ia pergi bersama Freddy. Di perjalanan, begitu menurut Hakim, Freddy segera menembak suami bibinya itu sampai mati. Mayat korban ditemukan di dekat Desa Sambirejo, Kendal, Jawa Tengah, tiga hari kemudian dalam keadaan hampir membusuk. Polisi curiga ketika di kaus kaki korban ditemukan secarik kertas bertuliskan: "Saya dirampok oleh tiga orang laki-laki bersenjata, satu di antaranya bersenjata api dengan tato angkar di lengan kanan dan berkumis tebal." Pengusutan pun dilakukan dan akhirnya Freddy, bersama Nyonya Tantia Sandora, istri korban, ditangkap. Tapi belakangan, Tantia, yang semula diduga berkomplot dengan Freddy, dilepaskan kembali. Konon, tak cukup bukti untuk menjaringnya. Kecuriaan terhadap Freddy, ketika itu, memang cukup beralasan. Pada 1976, adik kandungnya, Jeffri Shinoaki, dan pamannya, Robert Kalalo, mati tertabrak truk di Surabaya. Keduanya ternyata telah diasuransikan ke dua perusahaan asuransi, Tjahaya dan Independent, masing-masing sebesar Rp 50 juta. Kalalo, tak lain suami Nyonya Tantia. Setelah dua tahun menjanda, pada 1978 barulah ia kawin dengan Hendrik. Penyidik swasta yang disewa pihak asuransi ketika itu curiga kepada Freddy. Kematian kedua orang itu meragukan sebagai korban kecelakaan. Tapi, sebelum sempat diusut lebih lanjut, Freddy sudah memerintahkan agar mayat diperabukan. Kecurigaan bertambah ketika pada tahun 1978 Soehanto Kawilarang dipertanggungkan sebesar Rp 175 juta ke Asuransi Ramayana, Indrapura, dan Royal Indrapura. Tapi belum empat bulan berjalan, Soehanto mati tabrakan di Solo. Dan lagi-lagi, mayatnya segera diperabukan, dan Freddy - lewat adiknya Soehandi yang ditunjuk sebagai ahli waris mengurus klaim asuransi. Pihak asuransi ketika itu menolak membayar santunan. Karena itu, Soehandi menggugat lewat pengadilan. Dan dia dimenangkan, baik di pengadilan pertama maupun di tingkat banding. Putusan kasasilah yang kini sedang ditunggu. Kalau Soehandi menang juga, apa beleh buat, perusahaan asuransi harus membayar Rp 175 juta. Tapi dengan jatuhnya vonis terhadap Freddy, yang menyebut motif pembunuhan, pihak asuransi memang agak gembira. Khususnya, Periscope Insurane Company Ltd. di Jakarta, yang menanggung asuransi sebesar US$ 1 juta itu atas nama Hendrik Benyamin. Menurut kabar, sejak Freddy di tangkap dan kemudian diadili, memang takada pihak keluarga atau temannya yang mencoba mengajukan klaim terhadap perusahaan asuransi itu. Freddy sebenarnya sudah lama mengenal Hendrik. Yang terakhir itu pernah menjadi sopir dan bekerja di toko milik orangtua Freddy di Ujungpandang. Ia kawin dengan Tanti, atas jasa baik Freddy. Kepada para kenalannya, Hendrik terus terang mengaku bahwa belanja dapur rumah tangganya dibiayai Freddy. Ia juga menyatakan telah diasuransikan sebesar US$ 500 ribu, yang kemudian dinaikkan menjadi US$ 1 juta oleh Freddy. Ketika itu Hendrik juga mengatakan kepada salah seorang temannya, hendak menipu pihak perusahaan asuransi. "Saya mau dilaporkan pura-pura hilang di laut, kecebur sungai, atau kecelakaan. Setelah klaim dibayarkan, baru saya akan muncul lagi," begitu antara lain pernah dikatakan Hendrik kepada kenalannya, Lucas Liem, Salim alias Aceng, dan Tingkui. Rupanya, saat itu Hendrik tak sadar bakal dihabisi, karena sepengetahuannya yang bakal dikorbankan bukan dirinya, melainkan orang lain. Ternyata, dia akhirnya mati tertembak oleh Freddy sendiri. "Bagi Freddy, nyawa orang tidak ada harganya. Sama dengan nyawa ayam," begitu kata salah seorang kerabatnya yang mengaku tahu persis sepak terjang pria berwajah dingin itu. TAPI di LP Cipinang, Jakarta, Senin pekan ini Freddy membantah semua tudingan terhadap dirinya. Ia, juga selama persidangan, selalu menyangkal telah membunuh Hendrik. Pada malam 12 September 1981, katanya, ia memang bersama Hendrik. Tapi dalam mobil itu ada orang lain, Wowor, bekas anggota ABRI yang lari dari tahanan (ia ditahan karena kasus pembunuhan). Wowor itulah, menurut Freddy, yang menembak korban. Bekas informan dan rekanan polisi itu sekaligus membantah seolah dialah yang menghendaki kematian Jeffri, Kalalo, dan Soehanto. "Kematian mereka yang beruntun itu bagi saya tidak aneh. Itu suatu kebetulan saja. Pokoknya, saya siap menerima hukum karma kalau betul saya pelakunya," katanya sengit. Karena merasa tak bersalah, ia pun segera mengajukan banding. Jaksa sendiri, yang semula menuntut hukuman 8 tahun penjara - tanpa menyebut motif ingin memperoleh santunan asuransi -- menerima putusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini