SEHARI sebelum HUT Bhayangkara diperingati, terjadi perampokan
di Jalan Simolawang Baru No. 47, Surabaya. Yang menjadi sasaran
adalah rumah keluarga Gunawan Pratomo, pemilik sebuah toko di
Jalan Kapasan.
Peristiwanya terjadi jam 02.00 dinihari 30 Juni lalu. Keluarga
Gunawan tentu sedang tidur lelap dan rumah bertingkat dua itu
kelihatan sepi. Gunawan tidur di kamar kerjanya di lantai 2
bagian belakang. Sang isteri di kamar bawah, sendirian. Kedua
anak perempuannya, Erni (12) dan Erna (19) tidur di kamar atas
tak jauh dari kamar sang ayah. Sedangkan kedua anak laki-laki
kembarnya berada di kamar yang berhadapan dengan kamar Erni dan
Erna. Dua anak Gunawan yang lain sedang belajar di luar negeri.
Di depan kamar Erna ada teras terbuka. Di sini biasanya tidur
pula mahluk jantan bernama Ferger von Bimasakti anjing herder
kesayangan Erna. Tapi karena belakangan ini Bimasakti sering
buang kotoran seenaknya, ia dimutasikan di ruang bawah.
Barangkali jika herder ini masih ada di ruang atas, malapetaka
malam itu tak akan begitu parah menimpa keluarga Gunawan.
Erni adalah penghuni rumah itu yang pertama-tama terbangun dan
langsung melihat seorang laki-laki bercelana hitam, berkaos
strip-strip dengan kelewang di tangannya muncul dari jendela
kamarnya. Erni menjerit sambil berusaha bangun. Tapi kelewang
dengan cepat menyambar perutnya. Ia tak berdaya karena
luka-lukanya. Tapi Erna yang segera terbangun rupanya cepat
menguasai diri. Gadis pelajar SMA Sancta Maria kelas III ini
mencoba berkompromi dengan laki-laki berkelewang itu. "Saya
kalah judi, saya perlu uang Rp 1 juta," kata laki-laki itu. Erna
setuju untuk memberinya, tapi harus menghubungi ayahnya dulu.
Sebab dia sendiri waktu itu hanya memiliki uang Rp 5.000 berikut
kalung emas 15 gram. Semuanya direnggut oleh laki-laki tadi.
Maka dengan diiringi sang perampok Erna keluar kamar untuk
menghubungi Gunawan. Erni juga mengikuti dari belakang sambil
memegang perutnya yang luka parah.
Sampai di luar kamar, Erna akan memegang intelkom dengan maksud
hendak berbicara dengan bapaknya di kamar sebelah. (Rumah itu
memang dilengkapi dengan intelkom yang menghubungkan
kamar-kamar). Di saat-saat bapaknya sedang di dalam kamar, Erna
biasanya hanya berani menghubungi ayahnya dengan alat itu.
Tapi perampok tadi rupanya menyangka Erna akan menelepon polisi.
Ketika tangan gadis itu baru saja menggapai gagang intelkom itu,
lelaki tak dikenal tadi mengayunkan kelewangnya ke arah tangan
Erna. Tangan kiri gadis itu putus tepat di atas bagian
pergelangan. Dada dan pahanya juga luka, telapak tangan kanannya
sobek.
Erna menjerit. Perampok membuka pintu yang berhubungan dengan
teras. Dari pintu itu masuk lagi seorang berpakaian hitam-hitam,
juga membawa kelewang.
Mendengar jeritan itu Gunawan bangun. Demikian pula Bimasakti,
turunan anjing pelacak yang baru berusia 14 bulan. Ny Gunawan
juga bangun. Bimasakti langsung naik tangga dan menerkam
perampok itu. Perkelahian seru terjadi antara perampok yang
berkaos strip-strip dengan herder kesayangan Erna. Sementara itu
seorang perampok lainnya hanya berdiri terpaku di dekat tangga.
Perampok yang agresip itu berusaha menghindar dari anjing dan
mengejar Ny Gunawan yang akan naik tangga. "Melihat tingkah
perampok itu saya cepat lari ke kamar dan mengunci pintu," ujar
Ny. Gunawan pada TEMPO. Bimasakti segera pula mengejar perampok
yang menuruni tangga. Duel pun beralih di lantai bawah. Perampok
lainnya tetap terpaku bingung di ruang atas dengan hanya
mengacung-acungkan kelewangnya.
Sementara itu Gunawan dan Endri-adik kembar lelaki Erna yang
muda setelah menyembunyikan Erna dan Erni yang sudah lemas dalam
kamar, berusaha menelepon polisi. "Satu satu nol, pap!" teriak
Erna mengingatkan nomor telepon polisi kepada bapaknya. Gunawan
memutar nomor itu. Tak ada jawaban. Diputar lagi. Masih belum
diangkat. "Sampai lima kali saya memutar nomor itu," katanya
kepada TEMPO. "tapi tidak berhasil juga." Di bawah masih terjadi
duel seru antara perampok dan anjing.
Gunawan kemudian memutar nomor telepon seorang relasinya yang
tinggal dekat kantor polisi. Tapi sampai perampok itu lolos,
belum ada polisi datang. Celakanya tidak ada Hansip pula.
"Padahal kami membayar Rp 2000 tiap bulan," kata Gunawan yang
oleh tetangganya memang dikenal baik hati itu.
Baru sekitar 1 jam kemudian polisi yang rupanya dihubungi relasi
Gunawan tadi datang. Perampok itu, setelah ducl di lantai bawah
dan berhasil mengunci Bimasakti di ruang tengah, naik lagi dan
lolos lewat pintu atas bersama temannya. Diduga mereka lari
lewat atap rumah sebelah.
Membela Tuannya
Malam itu juga Erna dan Erni dibawa ke rumah sakit. Dua hari
kemudian, keadaan kedua gadis itu sudah bertambah baik. Kepada
bapaknya Erna sering menanyakan bagaimana keadaan Bimasakti
kesayangannya. "Tidak apa-apa," jawab bapaknya menyenangkan hati
anaknya.
Bimasakti sebenarnya bukan tidak apa-apa. Akibat luka parah di
bagian kepala dan tubuhnya, anjing itu hanya bisa hidup sampai
siang harinya saja. Ia mati membela tuannya, terutama Erna yang
kini menanti tangan plastik pengganti tangan kirinya yang putus.
"Perampok itu pasti tertangkap," begitu ucapan polisi yang
memeriksa tempat kejadian itu. Petunjuk memang ada. Dua pasang
sandal jepit tertinggal di samping rumah tetangga. Rupanya dari
situlah perampok naik atap. Selembar sarung juga tercecer di
situ. Wajah dan bentuk tubuh penjahat itu juga sempat dikenali
Erna, karena saat kejadian berlangsung lampu kamar terang
benderang.
Sarung itu dikenali Sohib, penjual es yang rumahnya di samping
rumah Gunawan. Sohib malam itu keluar rumah setelah sembahyang
tahajud, sekitar jam 1 malam. Begitu ia berdiri di halaman
depan, ada seorang yang minta api rokok. Setelah asap mengepul,
orang tadi permisi dan Sohib pun masuk rumahnya kembali. Orang
yang minta api itulah yang mengenakan sarung tadi menurut Sohib.
Di atas atap juga terdapat petunjuk. Ada genting yang pecah dan
ada pula yang berubah posisi. Teras depan kamar Erna yang
terbuka itu memang mudah dijangkau dari atap rumah sebelah.
Diperkirakan perampok itu naik dari atap tetangga lalu meloncat
ke teras depan kamar Erna, lalu menyusup jeruji besi jendela
yang dipasang agak jarang.
Barangkali Gunawan dan umumnya warga Surabaya tak faham bahwa
nomor telepon 110 (pengaduan kepada polisi di Komtabes Surabaya)
sudah lama tak berfungsi lagi. "Saya sendiri tak pernah sambung
kalau memutar nomor itu," tutur Mayor Pol. dra. Zuraida B
Mangantar, Kapentabes Surabaya. Apa sebabnya? "Wah, saya kurang
mengerti," jawab Mayor Zuraida. Yang jelas dari 5 pesawat yang
ada di pos penjagaan Komtabes Surabaya, "hanya satu yang bisa
dipakai, yaitu nomor 26011," sahut seorang sumber di Komtabes.
Lebih dari itu, kelancaran hubungan telepon agaknya belum
menjamin pihak polisi akan datang tepat pada saat gawat. Sebab
"kita lihat dulu situasinya," tutur sumber TEMPO di Komtabes.
Artinya, apakah waktu itu kendaraan siap dan ada. Sebab, sampai
sekarang fasilitas kendaraan polisi terbatas. Bidang Pentabes
misalnya, tak kebagian mobil dinas. Sedang mobil patroli baru
tersedia 3 unit -- jauh dari memadai. Kalaupun mobil siap,
adakah situasi jalan tidak penuh sesak dan macet. Dan
sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini