EL socialismo peude Ilegar solo en bicicleta," demikian ucapan
seorang Chile yang dikutip oleh Ivan Illich yang kemudian
dikutip lagi oleh TEMPO (10 Juni 1978). Sosialisme hanya akan
tiba dengan berkenderaan sepeda. Kemudian Illich, melukiskan
bagaimana energi dibuang-buang dalam masyarakat kontemporer,
dipakai secara berkelebihan sementara sebagian besar orang-orang
lainnya hidup dalam keadaan sangat berkekurangan, kalau masih
bisa hidup sama sekali.
Seperti juga tulisan Ivan Illich yang lainnya, dia lebih pandai
memberikan diagnosa dan prognosa dari pada terapi. "Saya hanya
memberikan proskripsi, bukan preskripsi," katanya dalam suatu
ceramah di Universitas Harvard beberapa tahun yang lalu.
Posisinya yang tanggung ini membuat dia diserang dari dua
jurusan. Oleh orang konservatip dia dianggap terlalu radikal,
oleh orang radikal dia dianggap terlalu konservatip.
Ivan Illich sebenarnya adalah seorang liberal pengikut setia
dari Max Weber, bapak sosiologi liberal yang berusaha
menandingi Marx. Illich percaya bahwa pokok permasalahan dunia
modern adalah birokrasi yang menjadi besar dan terlepas dari
pengendalian manusia. Kedua bukunya yang terkenal, Deschooling
Society dan Medical Memesis didasarkan pada teori birokrasi
ini, yang sumbernya adalah teori birokrasi dari Weber. Birokrasi
sekolah modern sudah begitu binal sampai dia menciptakan
kurikulum yang tidak ada hubungannya dengan hidup manusia yang
konkrit. Birokrasi atau profesi kedokteran juga sudah begitu
binal sampai dia membuat orang sehat jadi sakit demi supaya
birokrasi terebut bisa berkembang subur berdasarkan keuntungan
yang dikeruknya.
Semua ini tentu saja merupakan pengamatan yang cermat, seperti
juga pengamatan Club of Rome yang mengatakan bahwa kita
sekarang hidup dalam dasawarsa keemasan, karena dalam beberapa
dasawarsa lagi, mungkin dunia akan kekurangan energi untuk
manusia yang makin banyak. Dan orang mulai bicara soal
lingkungan kehidupan manusia upaya idak boleh terlalu serakah
dalam hidupnya dan supaya hidup dengan memperhatikan
keseimbangan dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Nathan
Keyfitz menganjurkan supaya klas menengah membatasi konsumsinya.
Bagi Keyfitz, seorang ahli kependudukan, persoalan dunia
hanyalah bagaimana mencegah berkembangnya penduduk yang terlalu
cepat dan bagaimana meningkatkan teknologi untuk meningkatkan
produksi.
Bagaimana Mencegah?
Tapi bagaimana mencegah keserakahan, itulah tampaknya persoalan
kuncinya. Para ahli ilmu sosial liberal, yang pada umumnya
percaya bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pola
kebudayaan dan sistim nilai yang hidup dalam masyarakat
tersebut, hanya bisa menunjuk kepada pendidikan. Pendidikan
harus dapat menciptakan suatu pola budaya yang tidak menekankan
pada pola konsumsi yang tinggi. Tapi karena yang jadi persoalan
adalah the top 5% seperti yang dikatakan Emil Salim dalam
persoalan kampaye hidup sederhana, maka apa yang bisa dilakukan
hanyalah anjuran. "Sebab dalam masyarakat yang masih
paternalistis, peri kehidupan panutan itulah yang menjadi
teladan bagi orang banyak." Demikian Emil.
Demikianlah, sejak dari zaman Sukarno sampai zaman Suharto, para
pencinta keadilan sosial tidak berhenti-hentiya menganjurkan the
top 5% untuk hidup sederhana tanpa ada hasilnya yang nyata.
Para ahli ilrnu sosial penganut teori kebudayaan, menghadapi
kenyataan ini, tidak mau menyerah kalah. "Kebudayaan tradisionil
masin terlalu kuat. Mari kita lebih intensipkan usaha kita
melalui anjuran dan pendidikan untuk menciptakan kebudayaan baru
yang menekankan kesederhanaan," kata mereka. Mereka tidak
sendirian. Bantuan keuangan mengalir dari lembaga dunia dan
yayasan internasional untuk menciptakan pola budaya
sama-rata-sama-rasa ini. Segala cara diusahakan, kecuali satu.
Yang satu ini adalah keraguan, barangkali soalnya tidak terletak
pada pola budaya, tapi pada sistim sosial-ekonomi yang ada
sekarang.
Tanpa usah jadi seorang komunis, kita harus mengakui bahwa
sistim yang kita anut pada saat ini adalah sistim kapitalis.
Kita, atau para perencana pembangunan ekonomi kita, percaya,
bahwa yang bisa membangun ekonomi kita adalah kaum entrepreneur
yang akan bekerja lebih giat bila dipancing dengan insentip
kekayaan. Kalau mereka berproduksi, mereka boleh menikmati
keuntungan yang mereka peroleh secara pribadi. Untuk ini, negara
melindungi dengan undang-undang hak-hak pribadi ini. Ini
artinya, negara sebagai bagian dari sistim sosial-ekonomi yang
ada, menciptakan "kebudayaan" yang menganjurkan supaya orang
bekerja giat untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya.
Kaum entrepreneur ini ternyata merupakan produk yang meyakinkan
dari sistim sosial-ekonomi yang ada. Dengan sigap mereka
bekerja, dengan hanya satu hal yang mereka lihat: keuntungan dan
keuntungan yang lebih banyak. Mereka tidak peduli kepada yang
lainnya. Terjadi distorsi produksi, daripada membanjiri pasaran
Indonesia dengan pakaian dan makanan murah, mereka lebih senang
memproduksikan mobil mewah dan TV berwarna. Daripada mendirikan
pabrik yang membutuhkan investasi besar dan keuntungan baru akan
diperolah dalam waktu yang lama, mereka lebih senang bekerja
dengan pabrik asing yang sudah ada dan bertindak hanya sekedar
sebagai agen yang setia.
"Kebudayaan" ini tidak hanya menjangkiti kaum entrepreneur, tapi
juga orang-orang di sektor lainnya, terutama pejabat negara yang
punya kekuasaan administratip. Para petugas pajak akan lebih
senang berkompromi dengan wajib pajak (dan mendapatkan sekedar
"keuntungan") daripada menjadi hamba negara yang mengikuti
peraturan. Demikian juga halnya dengan polisi, petugas
bea-cukai, petugas imigrasi, dan sebagainya. Mereka bukanlah
orang yang jahat dan serakah pada dasarnya, karena kalau kita
bicara dengan mereka secara pribadi, kita akan melihat bahwa
idealisme, betapa sedikit pun, masih hidup di dalam diri mereka.
Mereka cuma kurban dari suatu sistim sosial-ekonomi yang ada.
Maka, kekayaan pun menumpuklah. lalu apa? Dengan kekayaan yang
ada, mereka menjadi subjek bagi suatu pasar yang potensiel. Uang
itu tidak boleh dibiarkan berjamur di lemari besi mereka. Maka,
entrepreneur yang lihai ini segera memproduksikan barang-barang
yang akan menarik bagi mereka. Tentu saja bukan barang kebutuhan
pokok, karena ini sudah lama terpenuhi bagi mereka. Barang
tersebut adalah barang luks.
Mereka tidak segan-segan untuk membayar mahal lmtuk ini.
Iklan-iklan, majalah-majalah luar negeri dan majalah dalam
negeri membantu membuat barang-barang ini jadi lebih menarik,
sehingga menciptakan kebutuhan pada the top 5%, bahkan pada the
top 20% untuk mengkonsumsikan barang-barang ini.
"El socialismo puede Ilegar solo en bicicleta." Tapi siapa yang
mau beli bicicleta, kalau mobil mewah banyak dan kita punya uang
yang lebih dari cukup untuk membelinya? Sosialisme harus datang
dulu, baru sepeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini