Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sosialisme Yang Datang Naik Sepeda

Kita harus mengakui bahwa sistem yang kita anut pada saat ini adalah sistem kapitalis. sistem kapitalis itu melanda kaum entrepreneur maupun pejabat negara. Mereka memupuk kekayaan dan konsumtif.

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EL socialismo peude Ilegar solo en bicicleta," demikian ucapan seorang Chile yang dikutip oleh Ivan Illich yang kemudian dikutip lagi oleh TEMPO (10 Juni 1978). Sosialisme hanya akan tiba dengan berkenderaan sepeda. Kemudian Illich, melukiskan bagaimana energi dibuang-buang dalam masyarakat kontemporer, dipakai secara berkelebihan sementara sebagian besar orang-orang lainnya hidup dalam keadaan sangat berkekurangan, kalau masih bisa hidup sama sekali. Seperti juga tulisan Ivan Illich yang lainnya, dia lebih pandai memberikan diagnosa dan prognosa dari pada terapi. "Saya hanya memberikan proskripsi, bukan preskripsi," katanya dalam suatu ceramah di Universitas Harvard beberapa tahun yang lalu. Posisinya yang tanggung ini membuat dia diserang dari dua jurusan. Oleh orang konservatip dia dianggap terlalu radikal, oleh orang radikal dia dianggap terlalu konservatip. Ivan Illich sebenarnya adalah seorang liberal pengikut setia dari Max Weber, bapak sosiologi liberal yang berusaha menandingi Marx. Illich percaya bahwa pokok permasalahan dunia modern adalah birokrasi yang menjadi besar dan terlepas dari pengendalian manusia. Kedua bukunya yang terkenal, Deschooling Society dan Medical Memesis didasarkan pada teori birokrasi ini, yang sumbernya adalah teori birokrasi dari Weber. Birokrasi sekolah modern sudah begitu binal sampai dia menciptakan kurikulum yang tidak ada hubungannya dengan hidup manusia yang konkrit. Birokrasi atau profesi kedokteran juga sudah begitu binal sampai dia membuat orang sehat jadi sakit demi supaya birokrasi terebut bisa berkembang subur berdasarkan keuntungan yang dikeruknya. Semua ini tentu saja merupakan pengamatan yang cermat, seperti juga pengamatan Club of Rome yang mengatakan bahwa kita sekarang hidup dalam dasawarsa keemasan, karena dalam beberapa dasawarsa lagi, mungkin dunia akan kekurangan energi untuk manusia yang makin banyak. Dan orang mulai bicara soal lingkungan kehidupan manusia upaya idak boleh terlalu serakah dalam hidupnya dan supaya hidup dengan memperhatikan keseimbangan dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Nathan Keyfitz menganjurkan supaya klas menengah membatasi konsumsinya. Bagi Keyfitz, seorang ahli kependudukan, persoalan dunia hanyalah bagaimana mencegah berkembangnya penduduk yang terlalu cepat dan bagaimana meningkatkan teknologi untuk meningkatkan produksi. Bagaimana Mencegah? Tapi bagaimana mencegah keserakahan, itulah tampaknya persoalan kuncinya. Para ahli ilmu sosial liberal, yang pada umumnya percaya bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pola kebudayaan dan sistim nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut, hanya bisa menunjuk kepada pendidikan. Pendidikan harus dapat menciptakan suatu pola budaya yang tidak menekankan pada pola konsumsi yang tinggi. Tapi karena yang jadi persoalan adalah the top 5% seperti yang dikatakan Emil Salim dalam persoalan kampaye hidup sederhana, maka apa yang bisa dilakukan hanyalah anjuran. "Sebab dalam masyarakat yang masih paternalistis, peri kehidupan panutan itulah yang menjadi teladan bagi orang banyak." Demikian Emil. Demikianlah, sejak dari zaman Sukarno sampai zaman Suharto, para pencinta keadilan sosial tidak berhenti-hentiya menganjurkan the top 5% untuk hidup sederhana tanpa ada hasilnya yang nyata. Para ahli ilrnu sosial penganut teori kebudayaan, menghadapi kenyataan ini, tidak mau menyerah kalah. "Kebudayaan tradisionil masin terlalu kuat. Mari kita lebih intensipkan usaha kita melalui anjuran dan pendidikan untuk menciptakan kebudayaan baru yang menekankan kesederhanaan," kata mereka. Mereka tidak sendirian. Bantuan keuangan mengalir dari lembaga dunia dan yayasan internasional untuk menciptakan pola budaya sama-rata-sama-rasa ini. Segala cara diusahakan, kecuali satu. Yang satu ini adalah keraguan, barangkali soalnya tidak terletak pada pola budaya, tapi pada sistim sosial-ekonomi yang ada sekarang. Tanpa usah jadi seorang komunis, kita harus mengakui bahwa sistim yang kita anut pada saat ini adalah sistim kapitalis. Kita, atau para perencana pembangunan ekonomi kita, percaya, bahwa yang bisa membangun ekonomi kita adalah kaum entrepreneur yang akan bekerja lebih giat bila dipancing dengan insentip kekayaan. Kalau mereka berproduksi, mereka boleh menikmati keuntungan yang mereka peroleh secara pribadi. Untuk ini, negara melindungi dengan undang-undang hak-hak pribadi ini. Ini artinya, negara sebagai bagian dari sistim sosial-ekonomi yang ada, menciptakan "kebudayaan" yang menganjurkan supaya orang bekerja giat untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Kaum entrepreneur ini ternyata merupakan produk yang meyakinkan dari sistim sosial-ekonomi yang ada. Dengan sigap mereka bekerja, dengan hanya satu hal yang mereka lihat: keuntungan dan keuntungan yang lebih banyak. Mereka tidak peduli kepada yang lainnya. Terjadi distorsi produksi, daripada membanjiri pasaran Indonesia dengan pakaian dan makanan murah, mereka lebih senang memproduksikan mobil mewah dan TV berwarna. Daripada mendirikan pabrik yang membutuhkan investasi besar dan keuntungan baru akan diperolah dalam waktu yang lama, mereka lebih senang bekerja dengan pabrik asing yang sudah ada dan bertindak hanya sekedar sebagai agen yang setia. "Kebudayaan" ini tidak hanya menjangkiti kaum entrepreneur, tapi juga orang-orang di sektor lainnya, terutama pejabat negara yang punya kekuasaan administratip. Para petugas pajak akan lebih senang berkompromi dengan wajib pajak (dan mendapatkan sekedar "keuntungan") daripada menjadi hamba negara yang mengikuti peraturan. Demikian juga halnya dengan polisi, petugas bea-cukai, petugas imigrasi, dan sebagainya. Mereka bukanlah orang yang jahat dan serakah pada dasarnya, karena kalau kita bicara dengan mereka secara pribadi, kita akan melihat bahwa idealisme, betapa sedikit pun, masih hidup di dalam diri mereka. Mereka cuma kurban dari suatu sistim sosial-ekonomi yang ada. Maka, kekayaan pun menumpuklah. lalu apa? Dengan kekayaan yang ada, mereka menjadi subjek bagi suatu pasar yang potensiel. Uang itu tidak boleh dibiarkan berjamur di lemari besi mereka. Maka, entrepreneur yang lihai ini segera memproduksikan barang-barang yang akan menarik bagi mereka. Tentu saja bukan barang kebutuhan pokok, karena ini sudah lama terpenuhi bagi mereka. Barang tersebut adalah barang luks. Mereka tidak segan-segan untuk membayar mahal lmtuk ini. Iklan-iklan, majalah-majalah luar negeri dan majalah dalam negeri membantu membuat barang-barang ini jadi lebih menarik, sehingga menciptakan kebutuhan pada the top 5%, bahkan pada the top 20% untuk mengkonsumsikan barang-barang ini. "El socialismo puede Ilegar solo en bicicleta." Tapi siapa yang mau beli bicicleta, kalau mobil mewah banyak dan kita punya uang yang lebih dari cukup untuk membelinya? Sosialisme harus datang dulu, baru sepeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus